Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panen Raya Film Indonesia

Untuk pertama kali dalam sejarah perfilman Indonesia, tujuh film berhasil menggaet lebih dari sejuta penonton pada semester pertama. Ramuan cerita yang ciamik dan strategi pemasaran yang tepat adalah kuncinya. Biaya marketing bisa sebanding dengan biaya produksi yang miliaran rupiah. Bagaimana kiat promosi mereka?

25 Juli 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Layaknya libur musim panas di Amerika Serikat, libur Lebaran di Indonesia adalah momen bagi para produser untuk menggaet sebanyak mungkin orang untuk masuk ke gedung bioskop. Sejumlah film dengan formula dan biaya khusus disiapkan untuk menyihir penonton di sela-sela silaturahmi dan bermaaf-maafan.

Tahun ini Rudy Habibie (karya Hanung Bramantyo untuk MD Pictures) memulai persaingan. Film tentang mantan presiden B.J. Habibie ini dirilis pada 30 Juni 2016. Seminggu kemudian, pada 5 Juli, empat film Indonesia lainnya dirilis. Keempatnya adalah Sabtu Bersama Bapak (karya Monty Tiwa, Max Pictures), Koala Kumal (Raditya Dika, Starvision), Jilbab Traveler: Love Sparks in Korea (Guntur Soeharjanto, Rapi Film), dan I Love You from 38.000 Feet (Asep Kusdinar, Screenplay Films serta Legacy Pictures).

Hingga artikel ini disusun pekan lalu, tiga dari lima film yang ber­edar pada minggu Lebaran berhasil mengumpulkan lebih dari sejuta penonton. Rudy Habibie meraup 1,5 juta penonton, Koala Kumal 1,2 juta, dan I Love You from 38.000 Feet 1 juta. Sukses tiga film ini melengkapi kejayaan film Indonesia tahun ini. Sebelumnya ada film Ada Apa dengan Cinta? 2 (AADC 2) dan My Stupid Boss (MSB), yang masing-masing mengumpulkan 3,6 juta dan 3,1 juta penonton. Ada juga Comic 8: Casino Kings Part 2 (1,8 juta) dan London Love Story (1,2 juta). Ini adalah untuk pertama kali dalam sejarah, dalam setahun ada tujuh film Indonesia yang masing-masing berhasil mengumpulkan lebih dari sejuta penonton. Pencapaian ini bisa semakin kinclong karena ini semua terjadi pada semester pertama tahun 2016.

Corporate Secretary Cinema 21 Catherine Keng mengatakan 2016 masa subur bagi film nasional. ”Tahun lalu, penonton film nasional di jaringan Cinema 21 saja 14,25 juta. Tahun ini, sampai 13 Juli, sudah mencapai 14,5 juta. Ini pertanda baik karena baru setengah tahun jumlah penonton melampaui pencapaian sepanjang 2015,” katanya.

Menguatkan data Catherine, pengamat film J.B. Kristanto membeberkan, sampai pertengahan Juli, ”Jumlah penonton film Indonesia dari semua jaringan bioskop telah mencapai 17 juta orang.” Sangat mungkin mencapai 25 juta jiwa pada akhir tahun jika produser konsisten menggarap film yang bagus, naskah menarik, kreatif dalam berpromosi, serta memahami pasar.

Kekuatan promosi diyakini sebagai salah satu penyebab suksesnya film-film itu. Koala Kumal, misalnya, dalam 10 hari berhasil menyentuh sejuta penonton. Artinya, karya Raditya Dika ini menyedot perhatian 100 ribu penonton per hari. ”Puncaknya, Senin, 11 Juli kemarin, Koala diapresiasi 140-an ribu orang dalam sehari. Saya optimistis memasuki pekan kedua akan meraih 1,2 juta penonton lebih,” tutur produser Starvision Plus, Chand Parwez Servia.

Pencapaian 100 ribu penonton per hari ini, menurut Parwez, didapat dengan resep khusus, yakni menciptakan histeria bahkan sejak Koala Kumal belum berbentuk film. Dika dan Parwez memoles embrio film itu. Dalam pandangan Parwez, film-film Dika selama ini identik dengan remaja. Tapi kali ini Koala ingin mengambil segmen pasar yang lebih lebar, yakni keluarga. ”Kuncinya, dialog yang diucapkan oleh mama Dika (Cut Mini): ’Jodoh itu jangan ditunggu, tapi dicari.’ Lalu kami mengembangkan skenario mengapa Dika (dimainkan Raditya Dika) memilih menunggu,” kata Parwez.

Membangun histeria dengan membocorkan sedikit cerita juga dilakukan oleh Mira Lesmana dan Riri Riza saat mengembangkan AADC 2. Hanya, mereka harus berhati-hati agar bocoran itu tidak menjadi bumerang yang menghancurkan rasa penasaran penonton yang menunggu sekuel AADC ini selama 14 tahun. ”Pertimbangannya, publik punya ekspektasi tinggi terhadap sekuel AADC 2. Jangan sampai ada salah satu karakter yang bocor dan membuat sebagian dari mereka kecewa,” kata Nauval Yazid dari MediAN Publicist, yang dipercaya produser Miles Films, Mira Lesmana, merancang strategi promosi film AADC 2.

Menurut Nauval, promosi AADC 2 dibangun sembilan bulan sebelum filmnya dirilis. Promosi AADC 2 dibagi menjadi tiga trimester. Trimester pertama pada Agustus-Oktober 2015. Fase ini ditandai oleh pengumuman resmi dibuatnya AADC 2 oleh Mira Lesmana dan Riri Riza di Popcon Asia 2015 di Jakarta Convention Center. Sebulan kemudian muncul pre-teaser AADC 2 bertajuk ”Setelah 14 tahun, masih adakah Cinta?”.

Trimester kedua pada November 2015-Januari 2016. Beberapa materi promosi dari lokasi syuting AADC 2 mulai dipublikasikan. Puncak trimester kedua ditandai oleh teaser resmi AADC 2, 14 Desember 2015. Di kanal YouTube, teaser tersebut diapreasiasi lebih dari 1,3 juta pasang mata. Pada pengujung trimester kedua, berembus kabar Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra melakukan syuting ke New York.

Trimester ketiga terjadi pada Februari-April, ketika AADC 2 diluncurkan. Pada masa ini kampanye lewat media sosial dan televisi dilakukan. Tapi Miles tidak melakukannya sendirian. Mereka dibantu oleh sponsor seperti Aqua dan L’Oréal Paris. Keduanya menerapkan strategi promosi dari dua sisi, yakni media sosial dan televisi.

Product Manager Makeup L’Oréal Paris Indonesia Antania Hanjani, mengatakan sponsor utama memiliki hak memilih aspek mana yang akan dipakai sebagai materi promosi. Beberapa bulan sebelum April tiba, ia berdiskusi dengan pihak Miles Films untuk mencari materi promosi. Diskusi itu mengerucut pada dua aspek cerita Rangga dan Cinta. Pertama, transformasi persahabatan geng Cinta setelah 14 tahun berselang. Kedua, hasil akhir dari hubungan Cinta dan Rangga. L’Oréal memilih tema transformasi geng Cinta. Maka disusunlah strategi promosi berbasis persahabatan Cinta, Maura, Milli, dan Karmen.

”Kita ingat 14 tahun lalu mereka masih berseragam putih-abu-abu. Bagaimana gaya berbusana mereka sekarang? Bagaimana mereka merias diri? Itu tergambar dalam situs yang kami bangun, lorealaadc2.com. Situs ini membantu perempuan Indonesia bertransformasi menggunakan karakter-karakter dalam AADC 2 sebagai role model. Selain itu, kami membuat buku curhat geng Cinta dalam format Instagram. Isinya perjalanan geng Cinta tiap hari dan mengunggah foto-foto eksklusif dari lokasi syuting. Akun ini diikuti puluhan ribu orang dalam waktu kurang dari sebulan,” tutur Tania.

Sementara L’Oréal mempromosikan geng Cinta, perusahaan air kemasan Aqua menyuarakan hubungan Cinta dan Rangga. Kampanye mengutamakan slogan: ”Setelah 14 tahun, masih fokuskah Cinta pada Rangga?”. Iklan itu mengudara di televisi beberapa hari sebelum trailer resmi AADC 2 berdurasi 1 menit 54 detik membombardir bioskop.

Selain menjajah televisi dengan iklan ketidakfokusan Cinta pada Rangga, Aqua bergerilya di dunia maya lewat proyek gift-moji. ”Misalnya, Anda memasang status: Aduh, aku lagi sedih, nih! #adaAqua. Kami akan membalas status Anda dengan memberi gift-moji wajah Dian Sastrowardoyo sebagai Cinta dengan ekspresi sesuai dengan status itu. Kami membuat ratusan emoji yang bisa dibagikan tergantung apa yang Anda rasakan,” ujar Marketing Manager Da­none Aqua Gistang R. Panutur.

Rasa penasaran publik atas bersatu-tidaknya Rangga dan Cinta juga dibangun melalui video bertema tema ”Rangga Mencari Cinta” di YouTube. Video berjudul ”Tonton Pertemuan Rangga dan Cinta” itu mengisahkan Rangga berupaya menemui Cinta di galeri lukisan. Video ini berhasil menyita perhatian lebih dari 4,2 juta penonton.

Tapi, selama itu pula, cerita AADC tidak pernah bocor. Publik tahu bahwa AADC 2 kedatangan sejumlah pemain baru seperti Ariyo Bayu, Christian Sugiono, dan Dimi Cindyastira. Namun publik tidak tahu berperan sebagai siapa mereka dan bagaimana posisi karakter baru ini di antara Rangga dan Cinta.

Strategi pemasaran film Chand Parwez juga direncanakan matang-matang. Selama syuting, Raditya Dika membuat buku harian dalam format vlog (video blog), berisi kegiatan selama proses pembuatan film. Vlog itu diunggah hampir setiap hari di akun media sosial Dika. Bintang Cinta Brontosaurus ini sempat mengaku hampir semua isi vlog-nya enggak penting. ”Tapi pernah saya bikin vlog penting. Ketika syuting Koala Kumal, saya menerangkan di vlog tentang kamera untuk membikin film seperti apa bentuknya, bedah naskah itu bagaimana, track di lokasi syuting itu begini, reading bersama pemain itu begini. Itu penting bagi seniman pemula yang ingin bikin film tapi bingung harus memulai dari mana,” ujar Dika.

l l l

Promosi lewat media sosial memang menjadi pilihan pertama film-film yang sukses menggaet penonton. I Love You from 38.000 Feet (ILY) salah satu yang merasakan dahsyatnya dampak kampanye di media sosial. GM Marketing and Publicity ­Screenplay Films Michel Khatwani bersama tim promosi mengkampanyekan ILY di media sosial melalui beberapa tagar. Pertama, tagar #baperbarbar (terbawa perasaan bareng-bareng) yang diluncurkan bersamaan dengan penayangan trailer resmi ILY di bioskop, dua bulan sebelum 5 Juli tiba. Sebulan sebelum roadshow film, muncul tagar baru #ILYForever. Setelah Lebaran, dimunculkan tagar baru #demamILY.

Promosi ini berhasil. Sejumlah tagar itu menjadi trending topic di Twitter.

Michel mencontohkan, saat ILY menggelar gala premiere di Plaza Senayan XXI pada 28 Juni lalu, tim promosi Screenplay Films menggemakan tagar #premierefilmILY. ”Dua jam sebelum gala dimulai, beberapa fan melapor tagar itu bertengger di peringkat ketujuh trending topic Indonesia. Saat gala premiere dimulai, peringkat tagar ini melonjak ke posisi runner-up,” tutur Michel saat ditemui di kantor Screenplay Films, Jakarta, pekan lalu. Regenerasi tagar selama masa promosi ILY berlangsung cepat. Tagar #premierefilmILY, misalnya, diganti #demamILY dan #ILYForever begitu roadshow dimulai.

Meski media sosial dan dunia maya amat efektif dalam menggaet pemirsa, mereka tetap melakukan promosi di dunia nyata. Salah satunya memanfaatkan kereta listrik yang beroperasi di Jakarta dan sekitarnya. Mereka memasang trailer film di plasma screen di 239 gerbong kereta api yang beroperasi di seputar Jabodetabek selama 14 hari. Promosi di Commuter Line (KRL) juga dilakukan oleh My Stupid Boss. Selama beberapa minggu mereka memasang poster di gerbong-gerbong KRL.

Sementara AADC 2 menggaet Aqua dan L’Oréal untuk promosi di media sosial dan televisi, My Stupid Boss bekerja sama dengan retail association Seven Eleven. Mereka memanfaatkan jutaan orang yang meminum kopi atau Slurpee di Seven Eleven (Sevel). ”Ketika meminum Slurpee, orang melihat poster Comic 8 di gelas mereka. Saat meminum kopi, orang melihat wajah Bossman dan Kepala Kerani dalam cangkir mereka. Momen itu dapat menjadi shock dan membangkitkan awareness. Itulah strategi promosi kami,” kata produser Falcon Pictures, Frederica.

Adapun produser Starvision Plus, Chand Parwez Servia, memasang billboard di sebelas kota besar. ”Yang paling mahal di STC Senayan dan di depan Mall of Indonesia, Jakarta. Mahal karena billboard di MOI itu bisa dilihat bahkan dari jalan tol yang menuju arah Cawang,” tutur Parwez.

l l l

Cara promosi konvensional lain adalah dengan menggelar nonton bareng. Roadshow menjadi ritual wajib yang harus dijalani seluruh kru dan pemain jika ingin film mereka bertengger di daftar film Indonesia terlaris tahun itu. ”Melalui roadshow yang terdiri atas meet and greet dan nonton bareng, pemain bisa merasakan langsung antusiasme masyarakat dalam menyambut filmnya,” kata produser MD Pictures, Manoj Punjabi, yang memproduseri Rudy Habibie. Menurut dia, bagi masyarakat di daerah, bertemu dengan artis itu sesuatu yang luar biasa. Maka perlu dirancang rangkaian gala premiere dan roadshow dimulai dari Jakarta.

Di Jakarta, Manoj membuat gala premiere untuk Rudy Habibie di tiga jaringan bioskop. Jumat, 24 Juni, diselenggarakan di CGV Blitz Grand Indonesia Jakarta. Keesokan harinya, gala premiere bersama Presiden Joko Widodo di Epicentrum XXI Jakarta. Ahad berikutnya, MD Pictures menggelar sesi karpet merah eksklusif di Cinemaxx Maxxbox Lippo Karawaci, Tangerang. Senin, MD Pictures menggelar gala premiere terbatas di Plaza Indonesia Jakarta. ”Setelah itu, kami memindahkan suasana gala premiere ke Hartono Mall Yogyakarta dan Surakarta,” kata Manoj.

Akan halnya Koala Kumal menggelar nonton bareng ke beberapa kota, yakni Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, Bandung, Cirebon, Karawang, Tasikmalaya, Yogyakarta, Solo, dan Surabaya. Lalu My Stupid Boss mengandalkan kejengkelan banyak karyawan kepada bosnya dengan mengkampanyekan tagar #nontonsekantor. Mereka membidik target agar yang menonton mayoritas sekumpulan karyawan kantor.

Roadshow juga digunakan untuk mempromosikan film London Love Story. Ide membuat roadshow tematik ini bermula ketika film perdana mereka, Magic Hour (2015), di luar dugaan beroleh sambutan hangat. Michel Khatwani mengingat pada hari pertama Magic Hour tayang di 60 layar di seluruh Indonesia. Memasuki hari kedua, jumlah layar dilipatgandakan dan mencapai puncaknya menjadi 150 layar. ”Saat melepas film London Love Story pada Februari lalu, kami menggelar The Love Story Roadshow. Kami menciptakan suasana yang membuat para ABG terbawa perasaan. Dimas Anggara memberikan bunga kepada cewek-cewek ABG mengingat London dirilis pada bulan Valentine,” kata Michel.

Promosi, baik di dunia maya maupun di dunia nyata, tentu menelan biaya yang tidak sedikit. Biaya promosi sebuah film, kata Manoj, sangat bervariasi. Untuk Rudy Habibie, misalnya, ia membeli 1.500 iklan spot di layar kaca. Iklan itu ditayangkan pada prime time ataupun non-prime time. ”Bisa Anda bayangkan berapa miliar rupiah yang saya keluarkan untuk rangkaian promosi ini,” kata Manoj, yang mengaku mengeluarkan Rp 10 miliar untuk mempromosikan Rudy Habibie. ”Kalau produser Falcon Pictures bilang menggelontorkan dana promosi Rp 8 miliar, itu masuk akal.”

Di luar belanja iklan, Manoj juga mensinergikan perusahaan-perusahaannya sendiri. Setidaknya ada empat anak perusahaan milik dia: MD Entertainment, MD Music, MD Animasi, dan MD Pictures. Semua anak perusahaan ini bahu-membahu mengkampanyekan Rudy. ”Saya membuat animasi Adit dan Sopo Jarwo. Dalam animasi pendek itu, Adit mengimbau pemirsa untuk menonton Rudy Habibie,” ujar Manoj.

Menguatkan Manoj, Parwez menjabarkan bahwa biaya promosi film bisa berbanding lurus dengan biaya produksi film. Dalam kasus Koala Kumal, Parwez mengatakan biaya promosinya sama dengan biaya produksinya. Apakah biaya promosi yang besar itu setara dengan pendapatan mereka? Manoj meyakininya. ”Dari pengalaman saya, untuk film Surga yang Tak Dirindukan, saya siapkan Rp 6,5 miliar dan balik modal saat film itu mencapai 1 juta penonton. Untuk Rudy Habibie bisa sampai Rp 10 miliar dan akan balik modal di angka 1,8 juta penonton,” kata Manoj.Wayan Diananto, Qaris Tajudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus