PINTU pagar masih tertutup. Sebentar petang, iringan sapi akan berbondong pulang lewat di situ, setelah sehari suntuk merumput. Namun padang terlampau kering untuk bisa benar-benar memuaskan perut sapi. Rumput, cokelat warnanya, tak mengundang selera. Bahkan bulan-bulan kering telah juga meluruhkan daun-daun pohon kayu Jawa yang berjejer membentuk pagar kandang besar itu, hingga tampak bagai pokok-pokok kayu mati. Ketika matahari makin turun ke balik horison warna cokelat abu-abu pelan-pelan menjadi hitam. Lalu hari gelap sama sekali. Rumput, pohonan pagar berikut pintunya, dan tubuh-tubuh sapi, larut dalam hitam, sampai nanti bulan menampakkan wajahnya di atas padang. Hari ini usai sudah kerja gembala. Luta Lapu, 17, sudah memandikan kudanya dan dirinya sendiri. Sudah itu ia dan seorang kawan gembala lain, yang juga bujang, lelap dalam malam yang sunyi di pondok mereka. Sendiri saja pondok itu - di tengah hamparan rumput yang bagai tak berbatas. Syukurlah masih ada pohon-pohon sekitar rumah yang tidak ditebang, yang melindungi pondok dari hempasan angin. Pohon-pohon itu, juga hutan di aliran sungai dan celah lembah, bagai pulau di tengah padang sabana. Ada desau angin, suara belalang, dan sesekali bunyi burung malam, gonggong anjing, dan, tentu, lenguh sapi. Bila hari cerah dan bulan penuh, padang tampak keperakan menghampar hanya berbataskan pagar, gundukan bukit kecil, lalu batas horison di ujung sana. Suasana seperti itu akan berulang esok malam, esoknya lagi, dan esoknya lagi, kecuali bila hujan mengguyur ranch atau api membakar. Demikian hidup berlangsung. Beratus tahun padang rumput sudah dan masih akan menghidupi sapi, dengan cara yang sedikit saja orang tahu. * * * Padang rumput mungkin seusia peradaban kita atau lebih. Ketika orang perlu sepetak tanah untuk bercocok tanam, hutan ditebang. Ketika tanaman di lahan itu tak lagi sesubur semula, pergilah mereka mencari hutan baru, meninggalkan tanah semula begitu saja. Rumputlah yang kemudian menjarah tanah bebas itu sehingga menjadi padang, menambah luas padang yang sudah ada. Beratus dan beribu tahun padang rumput hanya dijadikan ladang perburuan. Memang ke situlah hewan pemakan rumput datang bergerombol. Lalu hewan pemakan daging datang untuk memangsa si pemakan rumput. Terakhir, orang datang untuk memburu mereka semua - tanpa berbuat lebih. "Sayang, 'kan, kalau padang rumput tidak dimanfaatkan," kata Ir. Suyadi Reksohadiprodjo. Ia direktur utama PT Bina Mulya Ternak, juga seorang rancher pemula - salah seorang yang pertama kali menjadikan padang rumput bebas sebagai ajang penggembalaan ternak secara lebih intensif, yang menurut bahasa bule disebut ranch. Tak mudah melakukan itu. Mula pertama ada survei dari Asian New Zealand Development Consultants (Anzdec) di pulau-pulau timur Indonesia: Bali, Lombok, Timor, Sumba, dan Sulawesi. Hasilnya, lokasi timur itu sangat berpotensi untuk menjadi ranch yang menghasilkan anak-anak sapi - yang kemudian bisa digemukkan dalam kelompok-kelompok kecil di wilayah Indonesia bagian barat, untuk kemudian dipotong bagi konsumsi daerah padat penduduk itu. Atau, masih menjadi mimpi, diekspor ke Hong Kong dan Singapura. Kesungguhan survei bisa diandalkan. Mulai dari jenis dan kesuburan tanah, ketinggian dan kemiringan, curah hujan dan suhu, jenis tumbuhan, hingga cadangan air. Dengan data itu studi kelayakan disusun. Dan dengan studi kelayakan, Bank Dunia rela meminjamkan uang untuk membangun ranch di Sulawesi Selatan dan Sumba, yang perlu modal 3,6 juta US dolar. Syaratnya: harus ada tenaga asing dalam hal ini Australia, yang dianggap lebih berpengalaman - yang mengerjakan pembukaannya. Kita setuju. Perusahaan milik negara, PT Bina Mulya Ternak, dibentuk dan diberi tugas pelaksanaan. Tahun 1973 proyek dimulai. "Waktu itu kita belum tahu apa-apa," kata Suyadi. Belum ada seorang Indonesia pun yang menguasai seluk-beluk ranch. Untuk mudahnya, ikuti saja dulu standar Australia yang dibawa orang bule tadi, kendati akhirnya dicampakkan karena tak sesuai dengan kondisi alam setempat. Pemerintah daerah segera menyerahkan tanah yang ditunjuk, yang anehnya justru bukan - dan hanya bersinggungan dengan - lokasi yang telah disurvei. Akibatnya, pekerjaan seperti meraba-raba. Berhari-hari mereka naik kuda atau berjalan kaki, menapaki padang, belukar, hutan, mengukur areal. Kemudian mematok-matoknya dengan mempertimbangkan letak bukit, celah sungai, hutan, serta lekukan-lekukan yang mungkin dapat menampung air hujan atau air tanah. Ahli atau bukan, buruh atau bukan, semua bekerja kasar. Tonggak-tonggak kayu dipikul. Gulungan kawat berduri dibawa. Gerumbul kecil yang tidak diperlukan ditebas. Bila malam tiba, mereka berkemah di tengah padang yang ribuan hektar luasnya itu, menyalakan lentera, menjerang air, menanak nasi menyedu kopi, lalu berbual kosong atau membicarakan pekerjaan tadi dan esok. "Rasanya seperti di wild west saja." kata Bahron Abas. sekarang direktur Bina Mulya, mengenang masa lalunya. Sesudah patok dipasang, dipagarlah keliling padang. Kemudian dibagi-bagi lagi dalam petak-petak yang dinamai paddock. Setiap paddock mencapai luas ratusan hektar rumput, tempat sapi dilepas bebas, tumbuh besar, kawin, beranak, menyusui, dan - mudah-mudahan - tak keburu mati. Setiap paddock harus mampu menyediakan air - bisa dalam bentuk aliran sungai kecil dan bisa pula dam-dam penampung air hujan dan sumber setempat. Sedang hutan yang tersisa di antara padang rumput terkadang dibiarkan untuk peneduh sapi, di samping untuk menyelamatkan sumber air sendiri. * * * Dua ratus kilometer di utara Ujungpandang, di sisi jalan menuju Toraja, sebuah ranch terletak. Persisnya di Maroangin, Kabupaten Enrekang - merupakan satu dari tujuh unit milik PT Bina Mulya Ternak. Sesampai di kilometer 210 terpampang papan nama. Berbeloklah ke kiri, ada jalan memotong pagar tanpa daun pintu. Hanya ada balok-balok kayu yang dijajar renggang - berjarak 15-20 cm dan menjadi jembatan bagi lekukan tanah yang sengaja dibuat. "Sapi dan kuda tak akan berani lewat grid ini. Takut kejeblos," kata Hardjanto, manajer unit setempat. Itu sudah berfungsi sebagai pintu. Ranch itu berbukit-bukit, dan dibelah sungai kecil Karajae yang di tepinya banyak tumbuh buah bila atau maja. Seluruhnya mencakup luas - seperti tertera dalam Hak Guna Usahanya (HGU) - 5.230 ha. Namun, baru 4.150 ha yang sudah dikelilingi pagar. Dan dari luasan yang terpagar itu hanya 72% yang efektif. Sisanya: hutan, semak, genangan air. Curah hujan memang tinggi - lebih dari 3.000 mm setahun. Akibatnya, banyak dam yang bisa dibikin untuk tempat minum sapi, di musim kemarau sekalipun. Namun, wilayah seluas itu sebenarnya bukan lahan yang baik. Kemiringan dinding bukit-bukitnya kadang terlalu curam. Hutan, semak perdu, berkembang menyaingi rumput alam. Tanah pun terlalu asam - sehingga untuk menjadi tempat tumbuh lamtorogung dengan baik diperlukan pengapuran empat ton sehektar. Dengan tingkat kesuburan terbatas, dan sifat topografinya, tak heran bila 60% tanah wilayah itu dijeniskan kelas lima - satu kelas di atas kelas terburuk. Sedang sisanya kelas empat. Seluruh ranch itu dibagi menjadi 20 paddock besar-kecil, yang kita sebut saja petak. Di setiap petak juga ada rumah gembala - dengan pekarangannya yang mengawasi lingkungan itu. Satu petak dipisahkan dari lainnya dengan pagar yang sama dengan pagar luar - empat jalur kawat berduri setinggi semeter, dicantolkan pada pohon kayu jawa (kedondong lanang) yang ditanam berderetan. Seluruh panjang pagar di unit itu, menurut Hardjanto, mencapai 200 km. Seandainya direntang dan disambung-sambung menjadi satu, kawatnya akan mencapai kepanjangan 800 km - alias jarak Jakarta-Surabaya. Sewaktu kuliah dulu, dosen mengajarkan - sesuatu yang memang diterapkan di Amerika - manfaat petak sebagai sarana agar sapi bisa merumput secara rotasi: mula-mula di petak A, lalu pindah ke petak B dan seterusnya. Ketika sapi kembali ke petak A, rumput yang dulu dimakan diharapkan sudah tumbuh lagi. Itu akan mencegah perumputan berlebih overgrassing- yang bukan saja mematikan rumput unggul tapi juga menumbuhkan jenis yang tidak dikehendaki: gulma. Namun, cara itu tak dilakukan di Maroangin. Menurut Hardjanto, "terlalu berat penanganannya". Pemindahan sapi antar petak kadang memang dilakukan, tapi dasarnya "hanya pandangan mata" rumput masih atau tidak - dan bukan jadwal rutin. Di sini petak lebih dipakai sebagai wadah untuk memisahkan jenis-jenis sapi. Misalnya yang di bagian depan, dekat kantor dan perumahan karyawan, digunakan sebagai tempat darurat. Rumput tumbuh bagus di petak ini, air cukup, dan gembala setiap pagi menaruh dedak, tetes tebu, juga garam. Ke situlah sapi yang sakit dan yang kurus dikumpulkan untuk diperbaiki kondisinya. Bila masa kritis sudah lampau, sapi dikembalikan ke petak asal. Sedikit di belakang, ada petak penampungan. Di sini sapi-sapi yang baru dibeli dari penduduk, untuk menambah populasi di ranch, ditampung - agar bisa beradaptasi sebelum bergabung dengan saudara-saudaranya yang lebih senior. Sedang di belakangnya lagi ada petak khusus untuk para induk dan anak, selain ada pula yang khusus untuk para jantan yang digemukkan. Jenis sapi lokal - sapi Bali Sulawesi, yang garis putihnya di pantat dan "kaus kaki"-nya mulai kabur - dan Brahman persilangan eks impor ditempatkan di petak berbeda. Semua petak itu masih mengandalkan rumput lokal. Beberapa jenis rumput unggul memang dicoba. Misalnya bede - Brachiaria decumbens - yang tahan kering atau Setaria anceps dan rumput gajah (Pennisetum purpureum) yang dipakai sebagai rumput potong, untuk diberikan pada sapi di kandang. Sedangkan kacang-kacangan yang dikombinasikan dengan rumput adalah Calopogonium mucunoides, Centrocema pubescens, Siratro serta berbagai kultivar Stylosanthes. Namun, belum seluruh usaha pengembangan jenis unggul itu berhasil. "Banyak yang tak tahan injak dan tak tahan renggut". Lihat saja di petak depan. Hanya rumput lokal yang tersisa, bersama satu dua leguminosa - kacang-kacangan. Padahal, dulu, kata Hardjanto, jenis unggul tumbuh subur. Setelah hampir seribu sapi dimasukkan ke situ, walau hanya beberapa malam, rumput unggul terenggut habis. Sedang untuk menanam kembali diperlukan pengolahan lagi, dan itu tidak murah. Tentu saja memang diperlukan pengaturan perumputan yang lebih baik, agar penanaman tak sia-sia. Sebab, bila jumlah sapi kurang atau lebih dari kemampuan padang, padang akan rusak. Rumput unggul akan menyingkir. Sapi, sebagaimana manusia, memang pemilih makanan. "Rumput yang enak akan dimakan dulu, sampai habis," kata Hardjanto, lulusan Fakultas Peternakan UGM itu. Bila tak ada rumput bagus yang dari luar itu, rumput lokal pun boleh. Bahkan kalau terpaksa, rumput kering - standing hay - pun mau. Seperti yang sering terjadi di Sumba. Tapi di Maroangin, syukurlah, hujan tak pernah membolehkan rumput menjadi kering sama sekali. Sapi-sapi selalu masih bisa mendapat rumput yang hijau. * * * Hari masih pagi ketika sapi memperdengarkan lenguh mereka. Kokok ayam milik gembala dan kicau burung silih berganti. Beberapa sapi masih teronggok bermalas-malas. Namun, kumpulan yang lebih banyak sudah berdiri, berjalan sedikit-sedikit sambil merumput. Rumput masih basah oleh embun, tapi mereka tak peduli. Sewaktu kabut menipis, dan bunga-bunga menampakkan warna keemasan tertimpa sinar matahari, makin sengitlah sapi makan bergerombol-gerombol. Hanya sesekali perhatian mereka terusik, bahkan mereka lari cerai-berai, sewaktu kuda yang sedang berani berkejaran menerjang kerumunan mereka. Tapi sebentar kemudian sapi-sapi telah merumput kembali dengan khusyuknya. Lalu - saat matahari mulai naik, pukul tujuh mereka meninggalkan perumputan dan berjalan beriring-iring, menuju gubuk di tengah padang. Untuk apa? Sebentar lagi gembala akan datang, dan sapi tahu itu. Mereka menunggu kawan mereka itu menuangkan dedak yang diambil dari gubuk untuk sarapan. "Satu setengah kilogram seekor," kata gembala, menyebut jatah setiap sapi. Mereka juga kebagian tetes tebu, yang rasanya seperti gula-gula, dan garam dapur yang, menurut buku teks, harus diberikan kepada sapi bila tak diinginkan bulu atau kulitnya menjadi kasar. Sedang untuk sapi yang belum tahu bahwa sarapan telah disediakan, gembala akan memanggilnya: ci. . . ci. . . ci. . . ci. . . dan sapi akan datang. Hanya di ranch unit Sidrap para gembala memanggil sapi dengan bobby...bobby.... Sebab, waktu ranch baru dibuka, menurut Hardjanto, lagu-lagu Bobby anak Muchsin-Titik Sandhora - sedang sering-seringnya diputar di radio yang merupakan satu-satunya hiburan para pekerja di situ. Kebetulan pula lokasi ranch tak jauh dari daerah kelahiran Muchsin. Jadilah Bobby sebagai panggilan. Nyatanya, sapi kok menurut. Tapi sudahlah. Kini sapi sudah sarapan. Lalu satu per satu pergi meninggalkan piring betonnya yang sudah tandas dijilat-jilat. Mereka mulai menyebar, merumput lagi, hingga matahari mulai terik pada pukul sepuluh. Setelah itu padang sunyi. Sapi menghilang. Di bawah naungan pohon-pohonan di lembah-lembah, mereka berbaring memamah biak atau minum dari air parit di depan. Kadang sapi malah menceburkan diri di kolam-kolam - yang dulu, sebelum di jadikan kolam, berisi lumpur yang sering menjebak sapi sampai mati. Baru setelah matahari lingsir ke barat dan berkurang panasnya, sapi menampakkan diri lagi ke tengah padang. Sampai sore, petang, dan malam, ketika gelap membalut semua. "Di sini siang-malam sapi di luar," kata Hardjanto. Tampaknya hidup sapi hanya sebatas merumput. Sebenarnya lebih. Ketika dara sapi telah dewasa, sebutlah telah berumur dua tahun, mereka harus dikumpulkan dengan betina dewasa yang lain dan para pejantan dalam satu petak khusus. Biarkan pemacakan terjadi sendiri. Cara ini murah. Inseminasi buatan? "Bisa saja. Tapi menambah pekerjaan." Sebab, harus menyerentakkan berahi lebih dahulu dengan menyuntikkan prostaglandin, ditambah peIaksanaan kawin suntik itu sendiri. Tanpa kawin suntik pun, tanpa biaya dan tenaga, tingkat kelahiran bisa mencapai 60% jumlah induk. Anak-anak sapi lahir di tengah padang tanpa bidan. Bila nasibnya sial, bisa saja ia langsung mati dirobek-robek anjing milik gembala, kala sang induk lengah. Tapi itu jarang. Yang sering, syukurlah, anak selamat, lalu dikumpulkan dengan anak-anak lain dalam satu petak. Dan ... aha! lihatlah pemandangan itu. Anak-anak sapi berkumpul dengan rekan seusianya kala tidak menyusu, melompat-lompat dan belajar merumput. Hanya ada satu induk di antara kerumunan pedet itu, sementara induk lain merumput di tempat yang agak jauh. Selang beberapa waktu seekor induk lain akan datang menggantikan induk pertama, dan begitu selanjutnya. "Itulah aturan sapi". Telinga anak sapi juga ditato, untuk penomoran. Caranya: nomor-nomor terpilih, yang tersusun macam jarum-jarum, dipasang pada semacam tang, lalu dijepitkan pada kuping. Tinta merembes ke luka tusukan itu, dan setelah mengering, jadilah tato. Sekadar itu belum cukup. Anak-anak itu juga memperoleh cap bakar nama perusahaan itu - BMT - dan tahun kelahirannya. Tiga nomor distempelkan: tahun kelahiran, triwulan ke ... dan nomor urut kelahiran pada triwulan itu. Untuk itu anak-anak digiring melalui jalur sempit - yang memaksanya berjalan satu per satu - lalu dipegangi moncongnya hingga tak berkutik, dan cesss . . . besi bernomor yang sedari tadi dibakar ditempelkan pada kulit di atas paha kiri. Asap mengepul, tercium bau sangit, anak sapi meronta sesaat, lalu dibiarkan lari. Bagaimanapun, ada masa berpisah anak-anak dari para induk mereka. Sekitar umur delapan bulan, anak-anak harus dikandangkan, sementara induk tetap di padang. Malam-malam, di saat pemisahan, kandang ingar-bingar. Anak sapi melenguh-lenguh, gelisah mencari induk. Induk pun tak tega, berusaha menuju kandang - bila perlu menerobos pagar dan menggedor-gedor kandang. Seminggu, dua minggu, mereka baru menyerah. Sebenarnya tak apa berpisah. Sebab, kini anak diberi dedak dan tetes sebagai pengganti air susu ibu. Sapi-sapi muda, setelah dipisahkan dari induk, dibiarkan tumbuh dalam petak khusus. Jantan boleh digemukkan agar layak dipotong, kelak. Atau agar bisa dijual sebagai jantan bibit. Atau naik jabatan sebagai pejantan pengganti, yang tugasnya semata-mata berpesta seks memacaki betina-betina induk di ranch itu. Sedang para gadis, bersiaplah kalian untuk juga menjadi ibu rumah tangga alias induk di situ, atau dijual sebagai bibit. Beruntunglah kalian: pemerintah kalian tak mengizinkan sapi betina dipotong, kecuali yang sudah tua atau yang majir. Untuk menjaga populasi, alasannya. Bila saat sapi di jual tiba, entah untuk dipotong atau untuk bibit, mulailah sebuah perjalanan jauh. Gembala dari berbagai petak akan berkumpul di petak tempat sapi akan diangkut. Lalu barisan berkuda itu menggiring sapi menyusur pagar sampai di kandang. Di kandang, sapi masih dihalau lagi, melewati jalur yang makin lama makin sempit, yang seterusnya karena desakan dari belakang - akan membuatnya naik ke bak truk yang telah menanti di ujung. Bersepuluh atau berlima belas mereka diangkut truk yang menggelindingkan bannya menuju Parepare, kota pelabuhan. Dulu, sepuluh tahun lalu, PT United Livestock menggiring sapinya untuk mencapai kota itu dengan menempuh perjalanan 60 kilometer. Satu malam di antaranya dipakai untuk beristirahat di pertengahan jarak. Bahkan di Sumba penggiringan sapi mencapai jarak 90 kilometer sebelum hewan-hewan itu dikapalkan di Waingapu. Mereka menunggu saat larut malam untuk memasuki kota, sementara para gembala menjaga agar 300-an sapi yang digiring tidak cerai-berai. Tapi mari kita kembali ke Parepare. Ada karantina di situ. Juga penampungan, sebelum sapi diangkat dengan tali-tali ke kapal. Bersyukurlah para sapi bila "kota ternak" - kapal berbendera Singapura yang beroperasi di sini - yang mengangkutnya. Sebab, itulah satu-satunya kapal yang menyediakan fasilitas khusus untuk sapi. Kalau bukan kapal itu, sapi harus menahan ketidaknyamanan hingga sampai di Jawa, Sumatera, atau Kalimantan. Sudah itu: selamat mengakhiri hidup di rumah jagal! Kecuali bila nasib baik menimpa: mereka boleh merasakan tangan para petani - yang mendapat bantuan sapi dari berbagai proyek, seperti Banpres, IFAD, atau ADB - yang akan mempekerjakan mereka di sawah, dan bukan membiarkan mereka bermain-main di padang liar. Namun, sebelum perjalanan terakhir, sapi sempat juga memperoleh berbagai perlakuan - misalnya pengobatan. Vaksinasi penyakit mulut dan kuku dilakukan periodik. Begitu pula terhadap penyakit anthrax, yang memang sangat mengerikan akibatnya bagi manusia. Tapi justru gangguan-gangguan sepele, tampaknya, yang banyak mengganggu hidup sapi. Udara lembap menyuburkan kehidupan kutu dan lalat kecil yang selalu merubung sapi. Makanya, "Setiap sebulan harus dilakukan dipping," kata Hardjanto. Sapi digiring mencebur bak berisi larutan kimia - misalnya Rhodiazit- untuk mematikan kutu dan lalat. Tanpa begitu, hewan itu akan sering gelisah terganggu sewaktu makan. Dan itu, kata pak dosen, akan membuang banyak energi yang seharusnya bisa dipakai untuk mempergemuk sapi. Kadang-kadang ada juga yang luka - karena mencoba menerobos pagar atau kena tanduk temannya atau karena beberapa kemungkinan lain. Untuk itu, inilah cara yang dipakai - yang seratus persen bertolak belakang dengan teori. Ambil Sevin - salah satu merk dagang pestisida untuk menyemprot hama padi - dan timpukkan serbuk itu ke luka sapi. Insya Allah, beberapa lama lagi, kering. Lho, bukankah pestisida akan meracuni sapi lewat aliran darah? "Katanya begitu. Tapi nyatanya tidak," kata Hardjanto. Pestisida, menurut dia, hanya dipakai agar borok tak dikerumuni lalat dan bertambah infeksinya. Jadi, luka kering sendirinya. O, ya. Ada juga penggemukan di unit Maroangin itu. Yakni khusus untuk sapi jantan persilangan Brahman. Mereka ditempatkan dalam petak dengan rumput dan kacang-kacangan yang tumbuh baik. Namun, pada jam-jam tertentu, tanpa harus dipanggil ci. . . ci. . . mereka berkumpul di dekat pintu kandang pembantu. Saat pintu dibuka, berebutlah sapi-sapi itu menuju tempat makanan bermenu khusus: dedak, masing-masing empat kilogram sehari. Sapi kebiri? Ah, di sini tak ada. "Pernah dicoba, memang, tapi hasilnya mengecewakan," kata Hardjanto. Buku - lagi-lagi - menyebut bahwa kastrasi atau pengebirian akan memperjinak sapi jantan serta menambah kegemukannya, sebab energi yang diperolehnya dari makanan tidak berkurang untuk aktivitas seksual. Namun, pengalaman ranch itu menyimpang. Setelah saluran dari testis atau "torpedo" si sapi di jepit dengan tang bordisso, sampai tak dapat mengeluarkan sperma lagi, hewan itu bukannya tambah jinak, melainkan semakin liar dan menyebal dari kelompok. Sedang pertumbuhan berat badannya juga tetap sama dengan jantan-jantan lain yang tidak dikebiri. Apa daya. * * * Hari sudah hujan kini. Kemarin juga. Tak seperti Maroangin yang hampir selalu hijau, di Sumba, tiga kali guyuran air dari langit belum membuat padang rumput hidup. Rumput setinggi kaki itu begitu kering hingga, bila diremas, berhamburan macam serbuk. Hanya di bekas-bekas kebakaran yang hitam mengabu curahan hujan menampakkan hasil: rumput muda tumbuh merata, hijau menghampar. Tapi tak boleh sapi ke situ. "Rumput masih terlalu muda bisa gembung perut sapi nanti," kata Wayan, penanggung jawab ranch di situ. Ranch Sumba ini juga milik PT Bina Mulya Ternak. Kabaru nama lokasinya, diambil dari nama buah setempat. Ranch yang ini lebih tidak ramah. Bila musim penghujan tiba, tanah menjadi liat berlumpur dan dengan mudahnya menggelincirkan roda kendaraan. Rumput pun melebat setinggi bahu, cukup rapat menyembunyikan anak sapi dari pandangan. Bahkan juga menutupi karang-karang yang mencuat tajam, yang bukan saja dapat menyobek kulit kaki tapi juga membuat sapi bersijingkat menahan sakit. Namun, semua itu menciptakan panorama yang menakjubkan. Warna hijau musim penghujan begitu luas, berbatas kaki langit di kejauhan. Sedang matahari dan gumpalan awan menampilkan perubahan-perubahan sinar begitu sering. Kadang hitam pekat, lalu abu-abu, kuning menyilaukan, putih, merah membara, atau biru langit yang cerah. Tapi lihatlah kala kemarau. Hari begitu terik. Dam-dam dan saluran air kering sama sekali, dengan tanah terbelah-belah. Kalaupun air tersisa, hanyalah yang ada dalam lumpur liat yang cuma akan menjebak sapi atau kerbau kurus yang tak akan mampu keluar lagi, bila tidak ditolong. Sudah itu, air di lapisan tipis tanah dengan cepatnya menguap, dan itulah yang membuat rumput kehilangan kesegarannya dan mati. Bukan hanya rumput yang merana. Sapi pun lalu memperlihatkan tulang-tulangnya, juga geraknya yang semakin lambat. "Setahun bisa sampai 200 sapi yang mati," kata Wayan. Bukan karena penyakit, memang. Usai memakan rumput kering - hay - yang tak mengenyangkan itu, tak ada pula air untuk menghilangkan dahaga. Hanya satu sungai tersisa, masih berair sedikit. Itu pun jauh di pinggir ranch dan banyak petak yang tak dilaluinya. Akibatnya, sapi bergeletakan tanpa tenaga. Dan mati. Dam-dam air seperti di Maroangin tak bisa diharapkan di sini. Baru beberapa bulan lalu sebuah tangki dibangun dengan menyedot air dari sungai. Lalu dengan pipa pralon kecil, sepanjang 10 kilometer, bak-bak beton tempat minum sapi diairi. "Pengairan itu memang mengurangi jumlah kematian." Sedang pengairan untuk rumput belum dilakukan. Sementara itu, memberi makanan tambahan berupa dedak, di Sumba - yang hanya punya sedikit padi - terlalu mahal. Pagar di sini tak berbeda dengan yang di Sulawesi. Hanya di sini kayu jawa atau kayu hidup lebih rapat, kendati tampak meranggas tanpa daun. Di saat kemarau beginilah cabang-cabang kayu dipotong, ditancapkan, untuk kemudian tumbuh pada musim penghujan. Pagar bisa juga dibuat dari tumpukan batu dan karang. Beda pagar Sumba dengan lainnya hanyalah pada sisinya. Kiri-kanan pagar di Sumba dibersihkan dari rumput atau tumbuhan lain, masing-masing selebar lima meter. Mereka menyebut tanah terbuka dan memanjang itu sebagai fire break - pemutus api - yang berguna untuk melindungi pagar serta petak berikutnya dari kobaran si jago merah. Api memang mudah berkobar. Cobalah membuang puntung rokok. Dengan rumput kering yang menciptakan fatamorgana seperti uap di atasnya - serta embusan angin, padang akan berkobar cepat. "Percikan bunga api dari knalpot pun bisa membakar," kata Wayan. Bila sudah begitu, apa pun jabatan Anda di ranch dan kapan pun waktunya, Anda wajib turun tangan. Padang jadi ribut. Semua pintu kandang dan pintu pagar dibuka, "Agar sapi bisa lari". Pick-up mendekat ke tempat kebakaran dengan drum-drum berisi air. Semua orang membawa karung-karung goni, mencelupkannya ke dalam drum tadi, dan memukul-mukul pinggiran api sehingga padam. Kadang tiga hari penuh tersita untuk memadamkan api. Hasilnya, tetap, ratusan atau bahkan ribuan hektar padang menghangus. Yang mungkin memang hanya mencegah agar tak seluruh ranch jadi abu. Kadang upaya memadamkan api tampak sudah hampir berhasil. Tapi lihatlah - pusaran angin topan menderu ke tengah kobaran api, lalu mengangkat seonggok nyala ke atas dan melemparkannya sejauh puluhan dan ratusan meter. Jadilah pusat kebakaran baru. "Saya pernah melihat api terbang melompati sungai, karena angin itu," kata Hardjanto, yang sempat lama menjadi manajer unit Kabaru itu. Ranch Sumba ini juga membuat tradisi yang berbeda dengan di tempat lain. Setiap malam, sapi dikandangkan - dan baru dilepas besok, setelah matahari terbit. "Di sini tidak aman," kata Wayan. Selalu ada saja orang yang berusaha mencuri. Kemampuan menangani sapi memang menjadi keahlian tradisional penduduk setempat, turun-temurun. Karenanya, bila cadangan makanan penduduk menipis - jagung tak tumbuh, dan ubi hutan semakin jarang - mulailah mereka menjarah ranch. Saat gembala lengah, atau sapi tersisih jauh dari kelompok, orang bergerak maju mengendarai kuda dan membawa gulungan tali di tangan. Sapi yang lari dikejar, dan... hap! .... Tidak hanya koboi Amerika yang bisa main lasso. Sementara itu, sapi dibiarkan tetap berlari. Jerat di leher sapi itu, yang ujungnya telah diberi besi pengait, justru dilepaskan - dan binatang itu malah diusir agar berlari ke dalam hutan, sehingga pengait nantinya akan tercantol pada karang-karang atau tonggak-tonggak kayu. Barulah nanti, tengah malam, orang-orang itu datang ke hutan, menuntun sapi ke kampung (atau memotongnya di situ), untuk kemudian ramai-ramai menyantap daging bakar. kata Wayan, " Orang sini memang kuat makan daging tanpa pakai apa-apa". Lain Sumba, lain pula Sidrap. Di unit yang masuk kawasan Sulawesi Selatan ini pencurian hampir bukan problem. Kegarangan iklim juga tak dikenal. Rumput tumbuh bagus menghijau. Namun, nah, hampir sebanyak rumput pula jumlah batu yang berserakan di lereng-lereng. Sampai-sampai bisa dimanfaatkan untuk pagar, ditumpuk bersusun-susun. Di sini topografi lebih menantang. Padang membentang dari celah-celah sungai di bawah, dari cadas-cadas batu, hingga puncak bukit Lasiajoa di atas sana, tempat Danau Tempe dan Danau Sidenreng dapat terlihat. Sementara hutan kemiri, yang dari jauh daunnya terlihat keputih-putihan, menutupi dinding-dinding bukit yang teramat terjal. Bagaimanapun, alam seperti itu ramah kepada sapi. Sapi, yang berserak di situ, lebih menampakkan kegemukan dagingnya dibanding yang di unit Maroangin, lebih-lebih yang di Sumba. Lebih dari itu, ketinggian padang dan suhu udaranya yang lebih dingin - tapi tidak lembap - membuat lalat dan kutu pengganggu tidak betah. Akibatnya, jumlah penyakit juga lebih sedikit. Kesulitan utama di situ hanyalah ini: sedikit jumlah kendaraan yang mau mengangkut sapi untuk dipasarkan. Masih di wilayah Sidrap, di bagian timur sebuah ranch lain membentang. Sesampai di Tanrutedong, beloklah ke kiri menyusuri Sungai Bila. Lepas dari perkampungan terakhir nanti akan tampak pagar kawat berduri memanjang, memisahkan jalan dari rerumputan. Di satu petak terpampang papan kayu (dengan bentangan tanduk di atasnya) bergaya western yang menyebut pemilik dan nama ranch itu: PT United Livestock - Bila River Ranch. Ini memang bekas sentuhan tangan United Livestock dari Texas - raja ranching Amerika - sebelum dimiliki PP Berdikari (Bulog) kini. Sejumlah 4.500 ekor sapi besar-kecil menghuni luasan 11 ribu hektar. Bentangan pagar di situ menunjukkan besar modal yang ditanamkannya. Bukan pohon kayu jawa yang dipakai sebagai tonggak pagar, melainkan potongan besi siku yang ditancapkan setiap delapan meter. Sedang kawat yang dipilih adalah kawat jala yang besar, dan hanya bagian atas menggunakan kawat berduri. Di bagian depan, rumput kulon jono tumbuh bagus dan subur: hujan beberapa hari ini memang menyegarkan jenis rumputan itu. Namun, di petak sampingnya, rumput bede yang tahan kering juga tak mau kalah menunjukkan kecantikannya. Tentu para pemotong rumputlah - yang menarik traktor mereka - yang suka keadaan ini, yang bisa menghadiahi sapi di kandang dengan rumput segar. Di sini pengelompokan sapi lebih tegas. Di satu petak, pejantan dikumpulkan - sampai saatnya nanti mereka disatukan dengan betina dewasa, dengan perbandingan 1:10-20. "Sekarang penyatuan jantan-betina hanya berlangsung enam bulan saja," kata Heru, sarjana Unpad yang bekerja di situ. Hitung saja mulai Oktober sampai Maret nanti. Setelah itu mereka dipisahkan lagi. Penyatuan setengah tahun itu ternyata menguntungkan cara pemeliharaan. Dengan begitu, "anak-anak sapi hanya lahir di musim kemarau." Sehingga cacing, yang sering mengumpul di pusar anak sapi, tidak ada. Waktu kelahiran yang hampir seragam itu memudahkan pengelolaan - penyamaan perlakuan. Nanti, enam atau delapan bulan lagi, mereka sudah akan dipisahkan dari induk. Anak perempuan akan dimasukkan petak terpisah, sampai cukup dewasa untuk menjadi induk atau dijual sebagai bibit. Sapi jantan sapihan lalu memasuki program khusus pemuda yakni penggemukan. Tak boleh ia lari-lari lagi di padang, tak boleh kena hujan atau terik matahari. Sebuah kandang sempit menampung mereka, berdesak-desak. Kebutuhan makan-minum terpenuhi dengan cukup. Mereka umumnya menyantap 5 kg rumput sehari, ditambah dedak yang, dalam tahap awal, berjumlah 4 kg untuk tiap sapi dalam sehari. Tahap berikutnya jatah dedak itu naik menjadi 6 kg, malah menjadi 8 kg menjelang akhir 10 bulan. Selama masa itu kenaikan bobot badan 0,8 kg sehari bisa terpenuhi. Penomoran juga efektif. Ketika manajer ranch, T. Tondok Kadang, menjumpai seekor sapi yang sakit di tengah padang, ia hanya mencatat nomornya. Nomor itu yang kemudian diberikan kepada gembala penanggung jawab petak, dan gembala harus mencari sapi yang bersangkutan dan membawanya ke petak khusus sapi yang sakit untuk pengobatan. Bila River Ranch juga bisa membanggakan sebagian sapi piaraannya. Sekumpulan anak sapi begitu putih cemerlang - dibanding lain-lainnya. "Itu hasil embryo transfer," kata Tondok. Darah sapi itu masih murni Brahman, hasil perkawinan induk-jantan di Amerika. Namun, janin itu tidak dibiarkan tumbuh di perut induknya sana, melainkan dibawa ke ranch itu untuk dicangkokkan ke rahim betina lain. Sapi betina itulah nanti yang bertugas membesarkan janin dan kemudian melahirkan sapi yang bukan anaknya sendiri. Sejumlah jantan dan betina itulah yang diharapkan nanti akan memurnikan keturunan sapi Brahman di situ. Sedang perkawinan antar sapi hasil transfer embrio nanti akan menghasilkan populasi Brahman murni. Tondok kini juga sedang mengembangkan satu jenis sapi Bali langka untuk bisa menjadi jenis tersendiri. "Inilah poul Bali from Bila," ujarnya sambil menunjuk sekumpulan sapi Bali yang tak bertanduk. Padahal, sapi Bali selalu bertanduk. Tondok beruntung ketika suatu saat bisa membeli sapi Bali jantan yang tanpa tanduk itu. Ketika dikawinkan, ternyata anaknya ada yang tak bertanduk. Nah, perkawinan antar sapi tak bertanduk itulah yang selalu menghasilkan sejumlah sapi Bali tak bertanduk pula di ranch itu. * * * Sapi dan rumput tak terpisahkan dari gembala. Para penunggang kuda itu, setelah mandi di sungai pagi-pagi benar, menyiapkan kuda mereka untuk mulai bekerja. "Setiap pagi kami keliling," kata Bedu, 41, yang mengendarai kuda besar. Dengan jaket loreng dan topi yang lebar, ia berlindung dari kabut dingin atau terik matahari saat memeriksa pagar sebelah luar. Bila ada kawat yang tercabut dari tiangnya, atau putus, atau ada pokok kayu sebagai tiang pagar yang rubuh, ia harus turun memperbaiki. Sebuah tang tak pernah lepas dari pinggangnya. Hanya bila kerusakan terlalu parah, ia boleh melimpahkan pekerjaannya ke Bagian Umum. Bedu juga harus berkeliling mengontrol sapi. Siapa tahu ada sapi sakit atau mati yang harus ia laporkan. Sementara itu, saat-saat tertentu ia juga bekerja di luar petak tanggung jawabnya, bersama gembala lain. Lihat saja: barisan berkuda itu berderap menggiring sapi ke kandang. Penggiringan itu diperlukan untuk menghitung populasinya, yang ternyata memang tidak mudah. Kadang jumlah sapi yang terhitung kurang puluhan ekor dari angka yang tercatat. Bila begitu, Bedu dan kawan-kawan harus menyelusup ke hutan lagi untuk mencari sapi yang tersisa. Kadang pula jumlah mereka malah berlebih. Itu mungkin karena kesalahan penghitungan sebelumnya, atau karena sapi-sapi yang barangkali dari petak samping menerobos pagar dan bercampur. Maklum, sapi. Gembala juga harus bekerja ramai-ramai untuk tugas yang bukan rutin. Misalnya, menaikkan sapi ke truk. Begitu juga untuk mengadakan vaksinasi atau pengobatan masal, serta penomoran. Untuk pekerjaan menjaga petak wewenang sendiri, mereka melakukannya sorangan - kecuali pada petak-petak besar yang selalu ditangani dua orang. Di petak paling ujung, La Keling, yang baru saja berkeluarga, membantu La Kebe, penanggung jawab petak. Keduanya dibikinkan rumah di petak itu, berikut pekarangannya. Tapi Bedu, tidak seperti mereka, tak tinggal dalam ranch. Ia memilih berdiam di kampung terdekat kendati tetap bermaksud menekuni pekerjaannya sebagai gembala "entah sampai kapan". Pekerjaan itu memang telah digelutinya lima belas tahun, sejak PT Bina Mulya Ternak membuka ranch di situ. Gembala kelahiran Rappang, sekitar 15 kilometer dari Maroangin, itu mendapat imbalan uang dan beras yang bernilai sedikit lebih dari Rp 40 ribu sebulan. Ia tak risau benar, kendati harus menghidupi tujuh anak. Ada sedikit pekarangan, memang, yang membantu ekonominya. Akan hal anak-anaknya, seorang bersekolah di SMP Kota Kabupaten Enrekang. "Yang tertua sudah merantau ke Malaysia," kata Bedu, bangga. Kekayaan yang dimilikinya memang berlebih bila dibanding dengan gembala lain. Ada motor Honda tahun 1968 yang 90 cc itu, ada juga radio dua band merk Conio, hasil kemenangannya dalam pacuan kuda 1976. Semangat menekuni kerja memang cukup besar di kalangan gembala. "Saya sudah telanjur suka kepada hewan," kata Amal Saleh, 22, Bugis kelahiran Balikpapan. Ia hanya lulus SD - maklum, keluarga mengalami kesulitan ekonomi setelah Ayah meninggal. Lewat pamannya ia bisa bekerja di ranch itu, dua tahun lalu, di bagian perumputan. Baru kemudian dipindahkan menjadi gembala dengan gaji Rp 23 ribu plus beras 40 kg sebulan. Jumlah itu tak dirasakannya kurang. Sebab, selain masih bujangan, ia juga bisa tinggal gratis di kompleks, "bersama Pak De Ponidi", teman sekerjanya. Bila malam tiba, hiburan juga tak kurang. Bersama pekerja lain dalam kompleks itu, Amal bermain domino atau mengerumuni TV perusahaan. Dari acara TV pulalah ia memberi nama kudanya yang gagah besar dan sanggup melemparkan penunggang lain itu. Waktu kuda itu lahir, kata Amal, sedang masanya TVRI menayangkan film serial "manusia anak serigala", Lucan. "Kuda itu lalu saya beri nama Lucan," ujarnya. Ternyata, kuda itu tumbuh setengah liar, tapi sangat setia. Sampai kapan di ranch, Amal? Jawabnya, "Selama tenaga saya masih dipakai BMT." Dibanding yang di Sulawesi, para gembala di Sumba lebih akrab dengan kehidupan corak asli. Hanya dengan berlilitkan sarung Sumba, mereka menunggang kuda tanpa pelana dan hanya beralaskan karung biasa. Tapi tetap sanggup memacu kuda mereka mengejar sapi - dengan mengaitkan kaki ke perut kuda, sementara bibir memerah oleh buah sirih dan pinang. Para gembala di sini memperoleh tugas tambahan dengan membuka kandang sapi tiap pagi serta menggiringnya kembali kandang nanti sore. Hanya gembala muda yang bercelana - dan meninggalkan sirih lihat Luta Lapu itu, misalnya, yang berada di ujung belakang rombongan sapi. Namun, kehidupannya masih tetap sangat sederhana. Lulus SD dua tahun lalu, ia segera mendaftar kerja di ranch. Pagi, ia - seperti kebiasaan setempat - tak sarapan. Hanya nanti siang ia pulang dari padang untuk makan nasi bergaram. Tanpa lauk. Begitu pula malamnya. Hanya kadang-kadang, dan jarang, ia membeli mi untuk memperlezat nasi. Sudah itu Lapu dan seorang kawannya sesama bujang akan terlelap di rumah yang sangat terpencil itu. Tetapi sesekali para gembala itu malah hanya akan makan daging, dengan sedikit atau tanpa nasi. Dengan anjing-anjing piaraan, mereka sering berburu babi hutan atau rusa di rimba seberang padang. Anjing itu sendiri kadang-kadang membahayakan sapi-sapi di ranch. Bila anak sapi terlepas dari penjagaan induk dan kelompoknya, anjing-anjing gembala itu akan mencabik-cabiknya habis - dan gembala hanya bisa menunggu marah atasan. Pada karyawan tingkat lebih tinggi, hidup di ranch merupakan masalah. Mereka yang bujang hampir tak merasakannya: dengan motor trail mereka menapaki setiap meter padang, ikut memeriksa pagar, mengawasi kerja gembala dan banyak pekerjaan lain. Mereka bisa merasakan suasana lepas alam penggembalaan, melihat cakrawala serta pohon-pohon meranggas di ujung sana, merasakan bau rumput, memandang hamparan hijau, sampai memperhatikan permainan warna di langit - kalau mereka mau. Tapi jangan harap ada hiburan model kota. Bioskop, juga pacaran, hampir tak mereka kenal. "Mau pergi ke mana?" ujar mereka - yang umumnya datang dari Jawa atau Bali - hampir serempak. Para sarjana tentu menuntut yang lain. Imbalan yang tak lebih banyak dari yang diterima pegawai negeri di kota besar, rasa sepi jauh dari kekasih atau tunangan atau apalah, serta kekosongan hiburan selain TV, banyak membuat mereka tak kerasan. "Pernah ada yang baru datang melihat-lihat saja, sudah kabur tanpa pamit," kata Hardjanto di Maroangin. Ada juga yang sudah menjalani tugas sebulan, atau malah setahun atau lebih, yang akhirnya juga pindah mencari kerja lain. Padahal, "kami masih memerlukan tambahan empat-lima sarjana lagi," kata Suyadi. Tapi banyak, ternyata, lulusan fakultas peternakan yang lebih suka menganggur dulu di kota daripada datang ke ranch. "Kalaupun ada, belum-belum sudah menanyakan fasilitas apa yang diberikan. Tentu sulit bagi kami," kata Bahron Abas. Amke, lulusan Fakultas Peternakan IPB 1985, malah menyarankan agar tulisan ini tidak dibikin terlalu baik. "Agar yang datang ke ranch nanti tak kecewa dengan kenyataannya," ujarnya. Bahwa ia bekerja di ranch kini, dan membiarkan kulitnya terbakar hingga cokelat, hanyalah untuk mendapat pengalaman barang lima tahun. Bukan untuk selamanya. Begitu pun, ia berusaha bekerja sungguh-sungguh - dengan melakukan eksperimen yang masih bisa dikerjakannya. Kebingungan karena tinggal di tempat terpencil juga dirasakan Hardjanto, justru setelah tinggal di ranch tak kurang dari delapan tahun. "Anak saya sudah saatnya sekolah," ujarnya. Dan sekolah terdekat berjarak 10 km. Itu pun dia sangsikan kualitasnya. "Biarpun di desa, kalau kualitasnya seperti di Jawa tidak apa-apa," ujarnya. Sementara itu, ada pula pekerja tingkat menengah yang terpaksa meninggalkan istrinya di kampung halaman, Bali. Pernah diajaknya sang istri ke ranch, tapi tak kerasan - tentu. Jarak rumah ke jalan raya setempat saja, di Sumba, 7 km. Jarak ke kota kecamatan 25 km, sedang ke kota kabupaten - Waingapu - 90 km. Brrrrr. Di ranch United Livestock, keterpencilan tidak terlalu terasakan. Sampai di ranch, jalan beraspal hanya terentang sepanjang 11 km dari jalan trans-Sulawesi. Heru tampak bergairah bekerja di situ: selain imbalan yang diterimanya memang lebih baik, juga karena istrinya ada bersama. "Saya senang di sini karena diberi kebebasan melakukan percobaan," ujarnya. Bukan hanya kebebasan yang diberikan, tapi juga dana untuk percobaan itu. Sementara manajer ranch setempat, T. Tondok Kadang, mengatasi kesulitan sekolah anaknya dengan membangun rumah di Kota Parepare, 60 km dari ranch. Semua anaknya, sejak yang masih SD, tinggal di situ . Ia sendiri tetap di ranch, dan hanya sesekali pulang ke rumah. Namun, semua karyawan mengakui: untuk bekerja di tempat seperti itu perlu bakat khusus. Misalnya sedikit kepetualangan, bukan jiwa priayi atau birokrat, dan tidak alergi kepada binatang, tentu. "Tapi kami bukan orang langka Iho ..he he he," kata Suyadi. Hanya, tak usah para istri cemburu bila mereka berulang kali mengatakan "cantik", "putih", atau "montok", kepada sesama. Sebab, itu berarti sapi, meskipun sapi juga bisa wanita. Bagaimanapun, ranch tetap merupakan bisnis. Pada awal 1970-an, minat membuka padang penggembalaan menyebar luas. Berbagai ranch besar-kecil bermunculan. Pertumbuhan dimulai dengan investasi United Livestock Texas-Amerika di Sidrap, bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat. Setelah itu pemerintah pusat membentuk BUMN PT Bina Mulya Ternak untuk usaha yang sama. Di Sumatera Selatan nama Ibnu Sutowo dikaitkan dengan nama Gembala Sriwijaya Ranch, sedang di Timor dengan nama Timor Livestock (Timlico). Di Lampung, milyuner bekas Direktur PT Krakatau Steel mendirikan Jaka Utama untuk ternak sapi dan kambing yang kemudian juga dipakai sebagai nama perusahaan makanan dan klub sepak bola. Sedang di Kalimantan Selatan, bekas gubernur Soebardjo mempunyai Imban Jaya Ranch. Untuk skala menengah, berdiri misalnya Malimpung Livestock di Sulawesi Selatan milik wali kota Makassar dulu, Daeng Patompo. Namun, pertumbuhan usaha itu tak semulus yang diharapkan semula. Hanya tinggal United Livestock dan Bina Mulya Ternak yang disebut-sebut masih berjalan efektif. "Sisanya, hidup segan mati tak mau," tutur salah seorang rancher. Investasi ini memang tak gampang. Selain modalnya besar, perputaran uang juga lambat. Harus ada harta berlebih yang benar-benar tak terpakai untuk bisa menjalankan roda penggembalaan itu. "Kalau hanya mengandalkan kredit bank, tak akan bisa," kata Tondok. Beberapa pihak menghitung, diperlukan waktu 30 tahun untuk bisa mengembalikan modal semula. Itu kalau usaha memang benar-benar ranching murni: menjual sapi hasil produksi sendiri. Untuk itu pun, menurut perhitungan kasar, ranch harus memiliki sekurangnya 2.000 induk sapi. "Kalau ingin uang cepat kembali, ya tak usah berusaha di ternak besar," tambah Tondok. Ayam atau babi lebih memungkinkannya. Malah di masa pertumbuhannya, keuangan Bina Mulya Ternak, yang dibantu Bank Dunia, terseok ketika hanya dibolehkan memproduksi sapi. "Baru setahun ini kami boleh berdagang," kata Suyadi. Padahal, dagang sapi - membeli sapi dari penduduk dan mengirimkannya ke pulau lain - lebih memberi untung. Misalnya, mereka bisa beli sapi Bali berumur dua tahun seharga Rp 125 ribu, dan setelah dipiara beberapa waktu dijual lagi dengan harga rata-rata Rp 190 ribu sampai di kapal. Bila tanggungan penjual sampai Jakarta, bolehlah harga ditambah dengan biaya kapal Rp 38 ribu seekor. Setelah dikurangi biaya makan, transpor, serta risiko kematian, menurut Hardjanto, yang juga membidangi pembelian sapi, "kalau dapat untung Rp 25 ribu seekor sudah baik." United Livestock sudah lebih lama berdagang. Malah dari kegiatan itulah uang terbanyak masuk. Namun, orang-orang perusahaan itu yakin bahwa ranching murni pun tetap menguntungkan, walau tak terlalu banyak. Mari kita ikuti cara Heru menghitung: anak sapi yang akan digemukkan diberi nilai Rp 100 ribu. Biaya hidup anak sapi sebelum itu, bersama seluruh biaya ranch lainnya, nanti dibebankan pada setiap sapi yang sedang digemukkan, bernilai Rp 700 sehari - sudah termasuk biaya karyawan, makanan sapi, dan sebagainya. Bila penggemukan berlangsung 10 bulan - 300 hari - biaya hidup sapi akan berharga Rp 210.000. Dengan peningkatan berat badan 0,8 kg sehari, selama itu sapi akan bertambah 240 kg. Pada tingkat harga Rp 1.200 per bobot hidup sapi menurut prangko se tempat, nilai tambah itu mencapai Rp 288 ribu. Keuntungan per ekor sapi, setidak-tidaknya: - nilai anak = Rp 100.000 - hasil penggemukan = Rp 288.000 - Rp 210.000 = Rp 78.000,jumlah = Rp 178.000. Bila terdapat 2.000 induk, dengan tingkat kelahiran rata-rata 60%, dalam setahun diperoleh 1.200 anak sapi. Dengan peluang kelahiran jantan betina sama besar, akan didapat 600 ekor anak sapi jantan yang bisa digemukkan. Keuntungan perusahaan juga bisa lebih besar dengan masuknya uang dari penjualan sapi induk apkir. Apalagi kalau bisa menjual sapi bibit baik jantan maupun betina - yang harganya terang lebih baik dibanding untuk dipotong. Namun, baik Bina Mulya Ternak maupun United Livestock masih menyimpan kegundahan soal pemasaran sapi. "Pemerintah tidak mau membeli sapi kami," kata Nurendro, direktur pemasaran United Livestock. Begitu pula dari Bina Mulya Ternak. Berbagai proyek bantuan pemerintah kepada petani selalu memakai sapi impor - yang dua-tiga kali lebih mahal. Pemerintah ternyata memilih pinjaman lunak IFAD atau ADB yang mengikat untuk membeli sapi dari Australia, dibanding memberi keuntungan kepada perusahaan dalam negeri itu. Namun, sekali-dua, mereka memang pernah kecipratan rezeki pula. * * * Saudara, berbincang tentang ranch tak sekadar bicara tentang untung-rugi memiara sapi. Atau apakah ranch secara ekonomi memang benar menguntungkam "Di sini, ranch juga berkewajiban membina petani peternak sekitarnya," kata H. Muh. Rapi, Kepala Dinas Peternakan Sulawesi Selatan. Dan itu bukan sekadar ucapan formal. Pertumbuhan populasi sapi di provinsi itu memang mengagumkan. Memang, jumlah sapi milik ranch di sini belum berarti dibanding keseluruhan. "Hanya dua persen," kata Rapi. Tetapi ranch-lah yang mengajar para peternak memperhatikan aspek ekonomis piaraan mereka. Ranch pula yang harus mempertahankan, syukur malah meningkatkan, mutu genetis sapi setempat untuk tetap baik dan menambah rezeki Pada saat provinsi itu ditunjuk menjadi daerah sumber bibit sapi - menggantikan Jawa Timur, yang tidak bebas dari penyakit mulut dan kuku - ranch mengambil peran penting lagi. Dengan padang rumput yang dimilikinya, ia bisa menampung sapi-sapi penduduk sebelum diantarpulaukan. Bagi Suyadi, peran ranch masih lebih dari itu. Ranching itu cara termurah dan termudah untuk menyelamatkan tanah," katanya. Disebutnya, kini ada sekitar 5-8 juta hektar yang merupakan padang, umumnya ajang alang-alang. Kemampuan Departemen Kehutanan untuk menghijaukan padang rumput dan tanah kritis ditaksir hanya 100 ribu hektar setahun - dan angka itu baru sepadan dengan jumlah pertambahan tanah kritis dalam waktu yang sama. Lalu mengapa tidak dibikin ranch? Ditunjukkannya, ranch mampu memperbaiki kondisi tanah. Di Sumba, misalnya, ketika padang gembalaan itu baru dibuka dulu, setiap hektar rumput hanya mampu memberi makan 0,2-0,25 ekor sapi dalam setahun. Tetapi lima tahun sesudahnya, setelah sapi disebarkan, lalu membuang kotoran dan kencing di situ, setelah rumput selalu dipotong teratur secara mekanis maupun dengan renggutan sapi, kondisi tanah membaik. Tanah jadi makin subur, dan mampu menumbuhkan rumput untuk 0,5 ekor sapi di luasan yang sama. Bahkan rerumputan bisa melindungi permukaan tanah, lebih baik dibanding pepohonan, dari pukulan butir-butir hujan. Karenanya, ia yakin beberapa tahun setelah dipakai untuk ranch, suatu areal akan dapat dipergunakan untuk perkebunan yang jelas lebih menguntungkan. Walaupun demikian, belum banyak orang tertarik. "Saya heran, mengapa untuk transmigrasi harus dibukakan hutan," kata Suyadi. Selain mahal, juga sangat riskan. Padahal, menurut dia, sekiranya transmigrasi berorientasi pada rumput dan ternak, hasilnya akan lebih menguntungkan. Tapi itu belum. Belum banyak yang yakin bahwa rumput bisa menghidupi dan memberi nafkah orang. Di sini memang bukan Australia atau Selandia Baru, tempat rumput berperan besar untuk menghasilkan devisa. Belum, semua itu belum. Yang sudah, baru sedikit ranch yang ada, yang masih terus berbenah. Baru para gembala yang, bagaimanapun keadaannya, memasrahkan diri ke tengah padang hingga hari tua mereka. Rumput tumbuh, terpotong, dan tumbuh lagi. Sapi lahir, menjadi dewasa, melahirkan, silih-berganti. Bila magrib menjelang di Sumba, sapi-sapi akan selalu beriringan pulang ke kandang. Dan jauh di ujung belakang, gembala menutup iringan. Begitu setiap hari. Setiap tahun. Berpuluh-puluh tahun. Dan, siapa talu, berabad-abad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini