Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tak hemat pangkal kaya

Suku bunga di bank-bank belum turun, akibat deregulasi, sistem perpajakan & ketidakpastian suku bunga luar negeri. kebijaksanaan pemerintah untuk menghimbau agar konsumen mengurangi tabungan & banyak belanja.

18 Januari 1986 | 00.00 WIB

Tak hemat pangkal kaya
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
SETELAH menabung hampir 15 tahun, dan berhasil mengumpulkan US$ 32.000, barulah Sachiko Fukagawa, 35, karyawati perusahaan swasta, memutuskan untuk membeli rumahnya yang pertama - dan, karena di Jepang, mungkin rumahnya yang terakhir. Tabungannya hanya cukup untuk membayar uang muka dari harga rumah yang US$ 72.000. Sisanya harus dicicil lewat kredit bank. Di seberang Pasifik, Abe Ash, 38, seorang analis sistem dari New Jersey, langsung mengambil kredit rumah setelah dia dan istrinya keluar dari pekerjaan. Andrew Bruner, pensiunan guru, yang sudah mencicil US$ 200 sebulan untuk rumahnya, masih ingin membeli rumah lagi. Teman-temannya, katanya, banyak yang punya lebih dari satu. "Hanya di Amerika orang menganggur berani mengambil kredit rumah," katanya. Sachiko, Abe, dan Andrew merupakan kelompok responden yang diwawancarai Nippon Research Center, yang melakukan riset tentang tingkah laku konsumen Jepang dan Amerika. Sekalipun data yang didapat tidak seluruhnya representatif, setidaknya muncul satu unsur yang sedang mempengaruhi proses pertumbuhan ekonomi Jepang dan Amerika - dengan segala implikasinya untuk ekonomi Dunia Ketiga. Dari survei itu tampaknya bisa disimpulkan: orang Amerika lebih berani berutang dan mengambil risiko daripada orang Jepang. Orang Jepang rata-rata menyisihkan 17% penghasilannya - sesudah pajak - untuk ditabung, sedang orang Amerika rata-rata hanya 6%. Sekarang ini, jumlah tabungan si Jepang di bank-bank dan pasar uang luar negeri sudah mencapai US$ 50 milyar. Dan, ke mana lagi uang itu disimpan, kalau tidak ke Amerika? Siapa lagi yang memanfaatkan tabungan orang Jepang itu kalau bukan pemerintah Amerika untuk membiayai defisit anggaran belanjanya, perusahaan swasta Amerika untuk investasinya, dan orang-orang seperti Abe Ash dan Andrew Bruner untuk melunasi cicilan rumahnya? Tak heran, sekalipun Jepang dan Amerika sama-sama negara industri, pertumbuhan ekonominya lewat jalan berbeda. Ekonomi Jepang ditarik oleh ekspor dan bukan permintaan dalam negeri. Sebaliknya ekonomi Amerika. Inilah yang menyebabkan ketegangan antara Jepang dan negara lain dalam soal dagang selama ini. Di dalam negeri, Jepang terlalu hemat. Karenanya, ia terus didesak negara industri lain untuk melakukan reflasi, meningkatkan permintaan dalam negeri. Itu berarti harus menambah anggaran belanja, kalau perlu dengan defisit, atau mengambil kebijaksanaan moneter yang tidak mendorong masyarakatnya untuk menabung. Pola manakah yang kiranya cocok untuk Indonesia? Ekspor nonminyak kita diharapkan bisa menjadi motor penggerak, tapi itu makan waktu. Sementara itu, sikap konsumen di dalam negeri, yang terlalu hemat dan kurang berani berbelanja, tidak akan mendorong kegiatan bisnis. Apalagi karena harga dana untuk investasi di sini, saat ini, tidak murah. Dari perkembangan moneter di Indonesia sekarang, ciri yang segera terlihat adalah tingginya suku bunga di tengah kelesuan ekonomi - justru di tengah melemahnya permintaan kredit. Sampai Oktober 1985, pertambahan uang beredar yang berasal dari pertambahan kredit kepada sektor pemerintah mencapai Rp 2,5 trilyun, masih lebih rendah dari Rp 3,6 trilyun pada 1984. Usaha menurunkan suku bunga dalam sistem ekonomi yang terbuka, dan dalam sistem lalu lintas modal yang makin bebas, memang harus memperhitungkan tingkat bunga di luar negeri sebab, salah-salah, modal malah lari ke luar. Suku bunga juga belum bisa turun, karena bank-bank tampaknya masih belum sepenuhnya pulih dari beberapa kejutan: deregulasi Juni 1983, kejutan sistem perpajakan yang baru, dan ketidakpastian suku bunga di luar negeri. Dana yang dikumpulkan bank juga kebanyakan dana jangka pendek yang cukup mahal - seperti kredit likuiditas, pinjaman antar bank dan deposito. Dengan sendirinya, bank akan berpikir dua kali sebelum meminjamkan kredit investasi berjangka panjang. Atau mereka bersedia memberi, tapi dengan bunga yang tinggi - karena risiko dan biaya yang besar. Maka, menjadi sepilah kegiatan investasi. Lalu, di manakah peranan kesediaan konsumen dalam negeri untuk berbelanja? Faktor lain yang cukup menonjol di bidang perbankan adalah terus meningkatnya jumlah deposito berjangka. Sebagai faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar, kontraksi uang beredar yang berasal dari deposito berjangka pada 1982 baru mencapai Rp 0,7 trilyun - tapi pada Oktober 1985 sudah mencapai Rp 3 trilyun. Dari kenyataan itu tentunya orang belum bisa bilang bahwa rakyat Indonesia sudah gemar menabung. Melonjaknya deposito berjangka sebagian besar merupakan hasil kalkulasi bisnis semata: dewasa ini tak ada investasi yang lebih menarik dari deposito berjangka. Bunganya bebas pajak. Bunga riilnya justru meningkat, karena sekalipun suku bunga nominalnya sudah turun sekitar 2 poin, inflasi anjlok dari 11,4% pada 1984 menjadi hanya 3,4% pada Januari-November tahun silam. Masalahnya, sampai kapan bank-bank kuat memberi bunga deposito yang tinggi. Kalau keadaan tetap begini, satu saat mereka akan bilang, "Sori, bunga terpaksa kami turunkan: beban sudah terlalu berat." Saat itulah pemerintah, mungkin, akan mengeluarkan kebijaksanaan baru yang seolah mengandung imbauan, "Kurangilah tabungan dan, demi mencegah kelesuan bisnis, belanjakan uang kalian"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus