Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pantai gading, kisah sukses macan.. pantai gading, kisah sukses macan...

Kehidupan penduduk pantai gading (afrika barat) dengan berbagai upacara ritual seperti upacara "macan tutul" yang diselenggarakan suku we. (sel)

27 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA ekor macan tutul mengendap-endap di atap rumah berjerami, menggeram kepada saya. Enam yang lain mengepung saya di tanah. Salah seekor mengaum, mengaiskan cakarnya pada kamera saya. Saya jatuh ke belakang, tersandar di gubuk. Hati jadi kecut karena teringat, bahwa sebelum datang ke sini saya sudah diberi banyak peringatan: 'upacara macan tutul' itu penuh bahaya, kadang-kadang fatal. Secara refleks saya lindungi muka dengan tangan. Bunyi cambuk menggeletar. Dan tiba-tiba saja beberapa orang lain datang menyelamatkan saya. Mereka mengusir macan tutul ke tanah berpagar rindang.Mereka berteriak: "Tak ada orang awam boleh masuk sini!" Cerita di atas, dimuat dalam National Geographic Magazine Juli yang lalu, datang dari wartawan Michael Kirtley. Bersama istrinya, Aubine, ia tinggal selama empat bulan di Pantai Gading. Dan menghadiri 'upacara macan tutul' yang diadakan Suku We. "Beberapa saat kemudian," katanya, "manusia macan tutul itu mengantari saya makanan. Mereka sudah ramah kini, tak lagi mengenakan pakaian upacara yang penuh tutul. Tapi saya masih gemetar. Saya tahu, masing-masing mereka harus tinggal tujuh bulan di rimba belantara dalam usaha menghayati kehidupan binatang buas. Untuk memuja macan tutul dan tinggal bersamanya. Selagi saya mengajukan pertanyaan, seorang lelaki tiba-iba terkapar di tanah. Menggeliat-geliat dan melolong iba seperti binatang terluka. Sambil menggelepar dan merobek-robek bajunya, ia melompat dalam keadaan telanjang. Yang tampak hanya putih matanya. Bertelekan pada kedua tangan dan kakinya, ia merangkak lari seperti seekor binatang masuk rimba. Saya terpana. "Anda telah mengucapkan perkataan tabu," seseorang berteriak kepada saya. Tapi ia tak memberi penjelasan lebih lanjut. Dan saya pun tak pernah tahu apa perkataan itu." Manusia-macan tutul itu tinggal di dataran tinggi sebelah barat Pantai Gading Sebelum tiba di negeri kecil yang makmur di Afrika Barat itu, Kirtley dan istrinya sudah diberi gambaran akan menemukan suatu negara jajahan baru (neo koloni) yang korup, yang merdeka tahun 1960 dari Prancis Di situ orang kulit putih masih cukup besar kekuasaannya di belakang layar, 'tradisi' cepat sekali jadi 'kesenian rakyat'. Mereka terkejut mendapatkan ibukota Abidjan yang ultramodern itu hanya merupakan tiruan tak sempurna dari Kota Paris. DI seluruh negeri, kelompok-kelompok rahasia dan upacara ritual seperti 'manusia-macan tutul' itu merupakan sesuatu yang lazim. Kedua suami-istri itu mengunjungi para ahli sihir dan istana kepala suku yang ternyata berlapis emas. Mereka ikut bernyanyi dengan orang-orang Kristen fundamentalis dan menari bersama dewa-dewa bertopeng. Terbengong-bengong mereka melihat seseorang dalam suatu upacara ritual menikam perutnya sendiri, menarik . keluar sebagian ususnya, lalu memasukkannya kembali. Luka di perut disembuhkannya dengan menggosok dengan telur, jamu dan kaolin. "Siapa pun yang mencemoohkan atau tak percaya sihir di negeri kami," kata Ambroise Agnero dari Perpustakaan Nasional yang berpendidikan Prancis, "tak memahami apa-apa. Upacara-upacara seperti itu merupakan landasan kehidupan kami sehari-hari." Jiwa Pantai Gading memanglah kehidupan yang serba gaib dan hanya dipahami orang-orang tertentu. Tapi jika seorang warga Pantai Gading ditanya, apa yang diinginkannya dari hidup, jawabannya bisa membuat geleng kepala. Yang dibayangkan adalah villa dengan cir conditioning, dengan mobil Mercedes-Benz, televisi berwarna dan kaset video, ditambah sofa, sampanye tiap kali makan, istri kulit putih, klub eksklusif dan uang untuk dihambur-hamburkan. "Kaki kami masih di Zaman Batu, sementara kepala kami sudah melayang di zaman atom," kata Rene Rabbi, direktur urusan pariwisata. Dari namanya saja kita sudah tahu, Pantai Gading pernah punya banyak gajah. Dan barangkali inilah satu-satunya negara Afrika baru merdeka yang sampai kini belum pernah mengalami kudeta. Juga tak pernah ada kerusuhan sosial atau perang antarsuku. Tingkat hidup warganya paling tinggi di Benua Hitam Afrika. Juga GNP-nya. Manajemen yang sehat menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang sehat pula, tiap tahun, sejak merdeka-dan prestasi ini tak ada taranya di antara negara mana pun di Dunia Ketiga. Sekitar 2,5 juta orang, atau lebih dari seperempat jumlah penduduk, datang ke negara ini untuk bekerja. Dan ini terjadi sebelum ditemukannya sumber minyak--belum lama ini--atau sumber tambang penting lainnya, di tengah lebih dari 60 suku yang masingmasing punya cara hidup sendiri. Pantai Gading adalah produsen cokelat kelas satu di dunia, dan produsen kopi dunia terbesar. Di antara bekas jajahan Prancis di Afrika, ia paling banyak menyediakan lapangan kerja, paling banyak menerima investasi asing dan paling maju perdagangannya. TAPI di negara yang sudah tata tentrem kerta raharja seperti ini toh masih saja ada yang mengeluh. Karena merosotnya harga kopi dan cokelat di pasaran dunia, pemerintah terpaksa menghemat anggaran secara drastis Seorang sopir menggerutu: untuk buku-buku sekolah anaknya, ia harus mengorbankan dua bulan gaji. Ke mana pun orang pergi di negeri itu, penduduk menyalahkan nasib buruk mereka pada hantu la conjuncture atau resesi dunia Hantu tersebut telah mengendurkan semangat, membuat bangkrut banyak perusahaan. Dan untuk pertama kali penduduk mulai menyuarakan kesangsiannya terhadap pemerintah. "Kami memang tak melakukan pilihan yang hebat waktu memerdekakan diri," kata seorang guru. "Kami meniru begitu saja masyarakat konsumen model kolonial, dan kini kami jadi korban karena sangat tergantung pada dunia luar. Kalau dunia menderita, kami pun menderita." Politik Pantai Gading memang condong ke Barat. Presiden Felix Houphouet-Boigny, yang terpilih waktu kemerdekaan dan kini dalam masa jabatannya yang kelima, sangat benci Soviet. Tahun 1969 ia memutuskan hubungan diplomatik dengan Moskow. Di kalangan Dunia Ketiga ia bersuara moderat. Sering disebut sahabat karib Amerika, tapi kini negeri itu merasa tak banyak dapat imbalan dari sikapnya itu. Dan resah akan masa depannya. Rene Amany, Direktur Dana Stabilisasi Nasional, mengeluh. Keuntungan perdagangan kopi yang lima tahun lalu mencapai satu milyar dollar itu pada 1981 merosot hanya 100 juta dollar, setelah terjadi kemerosotan 70% harga pasaran kopi. "Amerika Serikat adalah rekan dagang kami terpenting," kata Rene yang kini diangkat jadi Duta Besar untuk AS. "Celakanya AS memperlakukan kami seperti perusahaan biasa saja. Bagi Amerika, kalau kami bangkrut, tentunya salah kami sendiri, salah urus. Padahal produksi kopi kami dua kali lebih banyak dari yang diperkenankan persetujuan internasional untuk diekspor. Akhirnya kami merasa juga, AS melindungi para petani kopi di Amerika Tengah--yang berdasarkan persetujuan internasional mempunyai kuota lebih tinggi. Sikap AS ini karena ingin menjaga stabilitas politik di kawasannya. Apakah saya harus bilang pada jutaan rakyat kami yang dirugikan, bahwa Paman Sam telah melupakan sahabatnya di Afrika?" Bersama istrinya, Kirtley mengunjungi Suku Senoutos yang tinggal di savanna (padang rumput) sebelah utara-- sekitar Korhogo, kota kelima terbesar di Pantai Gading. Waktu mcreka datang, musim kemarau, sedang berlangsung upacara penguburan bagi orang-orang yang mati selama tahun itu. Salah seorang adalah kepala suku, yang diperkirakan berusia paling sedikit 114 tahun! Ini diketahui, karena mendiang konon semasa hidup dapat mengingat peristiwa-peristiwa yang terjadi di abad ke-19. Di kalangan Suku Senoufos, hidup seorang lelaki dibagi dalam tahap-tahap tujuh tahunan. Yang paling penting antara usia 121 tahun, dan paling ideal usia 126 tahun (6 kali 21 ) di saat "semua ilmu dan kesucian di bumi" diperoleh. WAKTU mereka datang petir menggelegar membelah angkasa. Dalam suasana seperti itu Michael takut membuat foto. "Lihat saja nanti," kata Ousman Coulaby, seorang pemuka setempat yang mendampingi mereka. "Hujan mungkin akan turun, tapi doa pawang hujan kami akan membuat upacara penguburan tak terganggu." Desa itu memang kering. Debu mengambang di udara. Suasana diributkan oleh bunyi petasan, sehingga membingungkan: upacara penguburan atau pesta pora? Seorang wanita tua menyambut kedatangan Kirtley dengan mmukul-mukul kaleng. Beberapa lelaki memainkan alat musik tradisional di hadapan sekelompok wanita yang sedang menggoyang-goyangkan tubuh, dengan bayi tertidur di punggung mereka. Sepanjang tengah hari petir menggelegar dan awan mendung. "Ketika kami berlalu," tulis Kirtley, "angin kencang dan hujan mengguyur kami. Tapi tak setetes pun yang jatuh di desa itu." Suku Senoufos, seperti suku lainnya di Pantai Gading, menjalankan hidup yang penuh disiplin dan mistik. Menurut kepercayaan mereka sejak lahir sampai mati tingkah laku dan pikiran manusia dikendalikan oleh serangkaian tata sosial dan falsafah yang disebut Poro. Peraturannya yang keras dan upacara inisiasinya yang berat hanya bertujuan satu: menciptakan dan memelihara ketertiban. Orang-orang tua dipuja sebagai guru. Membangkang tidak diperbolehkan. "Ketaatan lebih berharga dari kekayaan," demikian diajarkan. "Kalau perlu, persahabatan harus dihormati dengan maut." Pendidikan seumur hidup mencakup seluruh pengetahuan teori dan praktek, mulai dari agama, kosmologi, ilmu sihir, sejarah, etiket, ilmu hitung dan bertani. Inisiasi (upacara lelaki menjadi dewasa) mencakup penggunaan bahasa dan peribadatan rahasia. Michael yang hendak memotret upacara keagamaan yang menarik ini hampir terbentur oleh "peraturan". Pendeta yang memimpin upacara memintanya menghormati dewa-dewa dengan memberikan kurban. "Apa yang mesti saya perbuat?" ia bertanya. "Saya mau menerima 15.000 france (lebih kurang Rp 1,5 juta)," jawab pendeta. "Kok begitu mahal?" "Monsieur, dewata kami pun ikut menderita karena 'la conjuncture'." Tapi dari lebih 60 swku yang kini mendiami Pantai Gading, sebenarnya hanya sedikit yang benar-benar pribumi. Termasuk Suku Senoufos dan Koulangos yang tinggal di utara dan timur sejak kurang lebih seribu tahun lalu. Sekitar tahun 1600, Suku Manlike yang suka berperang merembes kesclatan dari daerah yang kini disebut Mali. Sekitar zaman inilah sekelompok penduduk dari Kerajaan Askanti Besar pindah ke tenggara. Keturunan mereka, kini dikenal sebagai Suku Baoule, merupakan suku terbesar di Pantai Gading yang bertani di daerah padang rumput. Beberapa suku lain juga mencoba hidup baru di daerah itu, sampai datang orang kulit putih pertama yang berdagang, mencari gading, minyak zaitun, dan budak belian. Cote d'Ivoire (nama Prancis u ntu k Pantai Gading) secara resmi dinyatakan sebagai jajahan Prancis tahun 1893.Hasil cokelat dan kopi merangsang pertumbuhan ekonomi. Perkebunan yang dibuka orang Prancis menghimpun tenaga kerja yang datang dari ratusan mil jauhnya. "Awal tahun 1940-an sebenarnya tak seorang pun menginginkan kemerdekaan," kata Coffi Gadeau, Kanselir Besar Pantai Gading. Yang diinginkan hanya diakhirinya ketidakadilan-- misalnya undang-undang yang membolehkan kerja paksa. Tahun 1944 dicapai kemajuan besar -- ketika Jenderal Charles de Gaulle memberi hak kepada rakyat Pantai Gading menempatkan wakilnya dalam Parlemen Prancis. Felix Houphouet terpilih ke Majelis Nasional itu setelah mengadakan kampanye yang getir. Selama 15 tahun berikutnya, bakal presiden dan partainya ikut berusaha melenyapkan ketidakadilan. Tapi setelah tercapai kemerdekaan, Houphouet tidak berusaha mendepak bekas penjajah. Ia malah mendorong Prancis menanam modal di sektor swasta, mendatangkan guru-guru Prancis, dan minta bantuan teknisi Prancis mengurus negara baru itu. Kini lebih 50.000 orang Prancis tinggal di sana--tiga kali lebih hanyak dari sebelum kemerdekaan Houphout menyisihkan 30% anggaran belanja untuk pendidikan, dalam usaha menggantikan tenaga Prancis dengan pribumi. Ke mana pun mereka pergi, tulis Michael, orang Prancis selalu bisa ditemukan. Yang mengetik surat Michael sendiri sekretaris Prancis. Yang memotong rambutnya tukangpangkas Prancis. Bahkan yang bikin duplikat kuncinya orang Prancis juga. KETIKA Michael hendak mewawancarai Emmanuel Dioullo, Walikota Abidjan, ia disuruh menemui pembantunya--orang Prancis. Tak aneh kalau banyak yang merasa, usaha membuka kesempatan bagi pribumi sebenarnya mengalami jalan buntu. Sydou Coulibaly, seorang guru pribumi, bahkan berpendapat: di negeri itu kini tumbuh suatu anggapan, "kulit putih lebih unggul." Ini, pada gilirannya, menumbuhkan penilaian di kalangan majikan, bahwa orang Pantai Gading yang berpendidikan kurang disukai dibanding orang Prancis yang bodoh. Soalnya pemerintah sendiri memberi teladan begitu. Beberapa tahun lalu AS menawarkan bantuan pertanian kepada beberapa negara Afrika Barat, asalkan negara-negara itu mau mengajukan usulan proyek yang bisa diterima. Presiden Houphouet mengirimkan satu tim--terdiri dari orang-orang Prancis--untuk menjelaskan proyek itu. Tentu saja pemerintah AS kaget. Karena Mali, tetang ganya, mengirimkan tim yang terdiri atas pribuminya sendiri. Demikian pula Volta Hulu. Tim Pantai Gading ditolak Nah. Toh secara menyeluruh dapat dikatakan, rasa tidak senang terhadap Prancis minim saja di negeri ini--meski ada keresahan karena lapangan kerja diborong mereka semua, di samping mereka lebih senang hidup menyendiri dan bermewah-mewah. Seorang pejabat pemerintah di Abidjan mengatakan rakyat Pantai Gading masih cukup bersyukur akan keadaan mereka yang lebih baik dibandingkan dengan Ghana atau Guinea yang kacau. Presiden Houphouet merasa, "boneka" (Pantai Gading) itu tak boleh dipisahkan terlalu dini dari induknya. "Kakek Afrika yang Bijak" itu, panggilan kesayangan Houphouet, dalam usia 76 tahun memang punya kharisma yang melampaui batas negaranya. Michael dan Aubine, beberapa waktu sebelum ke Pantai Gading, sempat menonton film berita di bioskop Bamako, Mali. Penonton tak sabaran mengikuti laporan berita konperensi puncak Afrika ketika Presiden Mali sendiri berpidato. Tapi ketika muncul Houphouet di layar, tepuk tangan penonton memekakkan telinga. "Ia seperti bapak kami," seorang penonton Mali berkomentar. "Ia berhasil membuat kehidupan di negaranya berjalan lancar, dan menunjukkan caranya pada kami. Kami bangga." Itu menurut si wartawan. Orang Pantai Gading pun konon ber pendapat sama, meski mereka agak resah karena Houphouet belum juga menunjuk calon pengganti. Mereka juga kurang senang, kenapa Presiden lebih suka berpakaian seperti "orang kulit putih." Michael sendiri bertaruh dengan seoran kawan: ia akan bisa memotret Presiden Houphouet dalam pakaian tradisional. Istana kepala negara itu terletak di kota kelahirannya, Yamoussoukro, 27 kilometer barat laut Abidjan. Bunga adalah tumbuhan paling menyolok di istana yang dihias modern itu, karena Houphouet memang suka bunga. Orang juga menganggap Houphouet semacam dewa. Meski tak diragukan kekuasaannya atau sikapnya yang teguh mempertahankan wibawa, ia dikagumi juga karena kemampuannya berkompromi. Ia bangga akan dirinya, karena tak pernah menumpahkan darah. "Saya lebih suka mengampuni musuh-musuh saya. Mengampuni musuh berarti merontokkan giginya ia tak lagi bisa menggigit anda," demikian ia pernah berkata. Tapi ketika Michael meminta memotretnya dalam pakaian tradisional, Houphouet menolak secara halus. "Sebagai presiden, saya menguasai semua rakyat saya, bukan hanya suku Baoule (suku asalnya). Saya tak ingin mengbarkdn kedengkian, jika tampil dalam pakaian tradisi saya," Presiden itu menjawab. Dan Michael pun kecele. Masalah mengganggu yang dihadapi presiden itu ialah pelestarian alam. Dua puluh lima tahun yang lalu, sepertiga negeri itu diliputi hutan yang padat. Lalu karena meluasnya daerah pertanian dan pengusahaan kayu, kini hutan tinggal 10%. Perburuan binatang tanpa izin dalam pada itu banyak sekali memusnahkan satwa liar. Maka sejak 1975 pemerintah membatasi perburuan, dan menyisihkan 18.500 kilometer persegi tanah untuk taman nasional dan suaka alam. Taman Nasional Tai seluas 3.500 kilometer persegi sudah dicadangkan Unesco sebagai suaka alam. Ia merupakan satu-satunya daerah hutan tropis di Afrika Barat, dan salah satu dari beberapa yang masih tinggal di seluruh dunia. Yang lebih penting: 10% dari species tanamannya tak bisa ditemukan lagi di mana pun di dunia. Taman itu merupakan pula suaka bagi kuda nil jenis kecil, dan beberapa jenis antelop. Di taman itu pula, sejak 1979, sepasang suami-istri Swiss, Christophe dan Hedwige Boesch, meneliti tingkah-laku simpanse. Di situ ditemukan pula bangkai beberapa gajah, paling sedikit lima ekor, termasuk tiga yang masih bayi. Gajah ini dibunuh para pemburu gelap yang hendak - mengambil gadingnya. Pencurian kayu juga merupakan masalah yang memusingkan penjaga kehutanan. "Setiap kali saya memergoki pencuri kayu dan menyita alat-alat mereka, tiga hari kemudian saya menerima perintah dari bos saya untuk membebaskan tahanan saya itu," keluh seorang penjaga hutan. Maklum: sogokan merupakan penyakit pula dalam pemerintahan. Di negeri yang masih muda ini, modernisme dan tardisionalisme merupakan dua kutub yang saling bertentangan, seperti kata seorang pengamat budaya setempat. Dan secara perlahan-lahan Pantai Gading kehilangan landasan budayanya. Di sebuah desa diselenggarakan pesta Dipri. Ini pesta tahun baru, dan saat diadakannya perdamaian, dan dipulihkannya kekuatan gaib. Bagi orang Barat, pesta seperti ini menakutkan-di samping aneh dan menarik. Serombongan orang berbaris di jalan, lalu salah seorang keluar dari barisan sambil berteriak kesakitan. Seorang wanita mulutnya ternganga, matanya berputar-putar, suaranya seperti mengerang, lalu jatuh ke tanah. Seorang lelaki lain dengan pisau terhunus berteriak-teriak kesurupan. "Dan tahu-tahu ia sudah berhadapan dengan saya. Pisaunya diiming-imingkan ke udara, dan tiba-tiba ditikamkannya ke perutnya. Darah yang mengucur membuat saya merasa sakit. Kemudian dengan bangga orang itu mengeluarkan ususnya. Lalu dimasukkannya kembali ke dalam perut. Lalu memecahkan telur. Dengan jamu dan kaolin ia menutup lukanya. Dan, ajaib, luka itu sembuh." Tengah hari, suasana pesta yang terpimpin itu tinggal sisa-sisanya. Yang kelihatan hanya orang berkerumun dalam beberapa kelompok, kesurupan terengah-engah, terbata-bata tanpa peduli dunia sekitar. Ini ujian terakhir untuk kekuatan. Tapi ketegangan itu segera buyar: pesta selesai, suasana normal kembali. Orang yang menusuk perutnya itu sekarang minum bir. "Bir ini membakar semangat saya," katanya. Orang pribumi merasa, misi Kristen telah banyak melemahkan kekuatan pesta Dipri. "Anak-anak muda kami mulai banyak yang menolak acara inisiasi. Mereka takut kesurupan waktu sedang bekerja di kantor," kata seorang tua. Tapi rasa nasionalisme kurang berkembang di sana. Orang rela mati untuk membela kesebelasan sepakbola sukunya, tetapi segan menghormati bendera nasional. Banyak yang beranggapan, kalau Presiden Houphouet meninggal berarti Pantai Gading juga meninggal. Berarti masih hanya mempercayai satu orang. DI ibukota Abidjan, kehidupan bertolak-belakang dengan suasana yang terdapat di desa. Di sini, seperti halnya di kota besar mana pun, uang sama dengan hukum dan kebahagiaan. Gedung-gedung pencakar langit menjulang tinggi. Lalu lintas macet. Tukang copet ikut meramaikan pertumbuhan kota yang modern. Hanya, meski sudah mulai banyak kaum wanita ikut bekerja, kehidupan sehari-hari tetap dikuasai lelaki. Ny. Alexise Gogoua, pegawai pemerintah, bercerita. Katanya, di desa kaum wanita menghabiskan umur dalam kehidupan rutin --mengambil air, menumbuk gandum, mengurus anak, memasak, membersihkan rumah. Karena tak berpendidikan, mereka tak mendapat tempat dalam masyarakat. Lelaki menguasai segala-galanya. Di kota wanita sudah bisa bekerja. "Tapi di kota kita jadi bukan apaapa," katanya. "Kita kehilangan asal-usul kita." Dan, meski sama-sama bekerja, para istri tetap harus pulang ke rumah untuk masak dan mengurus rumah. Tapi memang ada beberapa perubahan. Ada suami yang rela bangun tengah malam untuk memberi susu bayinya, karena tak sampai hati mengganggu istrinya yang telah kerja berat di kantor dan di rumah seharian. Seperti kata Ny. Gogoua, "perubahan memang sedang terjadi, dan lambat laun akan meluas ke seluruh negara. Satu ketika kaum wanita Pantai Gading pasti akan memperoleh persamaan hak." Ukuran di sini memang ukuran Barat. Yang dipusingkan kaum pria lain lagi. Edmond Kouakou, pegawai Kantor Pariwisata, mengatakan: "Kehidupan di Abidjan tidak mudah. Segalanya harus pakai duit, bahkan untuk makan kacang. Saya pergi ke kantor dengan pikiran cemas. Apakah anak saya bisa selamat menyeberangi jalan, di kota yang ramai ini? Apakah mereka akan bisa memahami gaya ke hidupan orangtua saya di desa? Apakah mereka akan bisa tetap ingat pada bahasa Baoule? Di desa tak ada mobil. Tenang tenteram di sana. Saya sebenarnya ingin jadi petani. Tinggal di pertanian, tapi memanfaatkan alat-alat modern yang saya kenal." Seminggu sebelum pulang, Michael dan istrinya diundang penyanyi Pierre Amedee. Ia berkisah tentang salah satu baladanya yang paling populer, mengenai reaksi seekor macan tutul yang meninggalkan hutan tapi hanya jadi cemoohan dari kota. Dengan mata berbinar, Pierre berkata: "Kami orang Pantai Gading bagai macan tutul ketika memasuki peradaban Barat anda yang modern. Tapi dalam kedunguan anda, anda memandang rendah pada kami. Barangkali suatu ketika anda akan memahami kekuatan kami, dan takut akan tindakan pembalasan kami yang adil. "Berdoalah memohon rahmat Tuhan, orang putih!" katanya dengan ketawa cekakakan. Lalu mengulurkan tangan persahabatan pada si wartawan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus