Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Penataran Dan Penipuan

23 orang pencari kerja menjadi korban penipuan, mereka dipungut ratusan ribu tiap orang dengan janji akan diangkat menjadi pegawai dinas pendapatan daerah (dipenda), jawa tengah.(krim)

27 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENATARAN hagi ke-23 calon pegawai Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Jawa Tengah sudah berlangsung hampir sebulan. Tapi ketika para peserta sedang tekun mengikuti salah satu mata pelajaran, penataran di Balai Latihan Kerja Industri (BLKI) Semarang itu, 9 November lalu digerebck polisi--karena ternyata penipuan. Ke-23 peserta penataran itu pun dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan. Berikut empat orang yang disangka sebagai dalang sekaligus pelaku penipuan itu. Yaitu Budiharto, 31 tahun, Sungkono, 52 tahun, Subroto, 30 tahun dan Sumarmo, 40 tahun. Ketika polisi menggerebek, ke-4 orang ini, yang kini dalam tahanan, sedang mengawasi penataran yang berlangsung saat itu. Padahal proses penerimaan para calon pegawai itu berjalan wajar dan meyakinkan. Para pelamar membaca pengumuman adanya lowongan di kantor pemerintah daerah itu tertempel di Kantor Kwarda Gerakan Pramuka Semarang. Pengumuman itu berasal dari "Panitia Penerimaan Pegawai Dipenda. Dan di kantor pramuka itu pula puluhan calon mengikuti ujian saringan. Hasilnya, 45 orang calon yang rata-rata tamatan SLTA dinyatakan lulus. Masih lumrah tiap yang lulus memberikan uang "pelicin" antara Rp 400 ribu sampai Rp 600 ribu. Mereka yang lulus dibagi dua kelompok untuk mengikuti pendidikan di BLKI Ditjen Bina Guna Depnaker, Ja-Teng, selama 3 bulan (480 jam). Sejak 13 Oktober lalu, kelompok peruma, 23 orang, mengikuti pendidikan di sana. Sampai akhirnya tcrjadi penggerebekan tadi. "Rasanya dendam saya begitu mengendap . . . ," ujar Khalim, 21 tahun, salah seorang korban penipuan, sambil mengepalkan tangannya. Ia datang dari Magelang dengan harapan besar akan menjadi pegawai negeri. Apalagi ia telah mengeluarkan uang "pelicin" sebanyak Rp 600 ribu. Setelah kasus penggerebekan itu, Khalim selalu murung di rumah kosnya di Desa Gemah, Semarang Timur. Tekadnya tetap tinggal di Semarang, sebab malu pada keluarga dan tetangga jika pulang tanpa jadi pegawai. "Saya akan cari kerja apa saja, jadi tukang becak pun jadi," kata Khalim. Kebanyakan korban memang berasal dari luar Semarang: Demak, Salatiga, Yogya dan Sragen. Agar bisa membayar uang pelicin supaya lolos dari seleksi, mereka sudah berkorban cukup besar. "Saya mendapatkan uang dari ayah setelah ayal, menjual sawah ," ujar Maryono, 20 tahun dari Yogya. Ia bersama temannya Mursidi mengaku mengeluarkan uang masing-masing Rp 500 ribu agar lolos dari ujian saringan. Kata Maryono, ia memang yakin akan menjadi pegawai Dipenda karena sudah membayar uang pelicin. Polisi baru mengetahui penipuan yang diatur rapi itu, setelah seorang korban, Slamet, melapor ke Dipenda Slamet merasa ada yang tidak beres pada penerimaan pegawai Dipenda itu. Dalam pengumuman semula disebutkan calon yang lulus ujian akan ditempatkan di pemondokan selama pendidikan. Ternyata setelah lulus, mereka harus mencari tempat kos masing-masing. Laporan Slamet ini tentu membuat pejabat Dipenda kaget, karena tidak merasa ada penerimaan pegawai baru. Dari situlah, kata Kasi Pendak IX, Jawa Tengah, Mayor Pol. Haryono, polisi mengetahui penipuan itu. Penggerebekan di tempat latihan itu menghasilkan empat tersangka ditangkap, termasuk yang diduga otaknya, Budiharto. Berikut pelaku, disita pula barang bukti berupa setumpuk berkas lamaran, stempel Dipenda yang dipalsukan, kwitansi, enam setel baju dinas Dipenda dan uang tunai sebesar Rp 1,9 juta. Hingga kini polisi Semarang masih sibuk mengusut kasus itu sampai tuntas. Sebab ada kecurigaan "permainan" itu bisa berjalan lancar berkat kerja sama dengan oknum-oknum pemerintah daerah sendiri. Di tempat latihan, polisi menemukan juga blangko penerimaan pegawai baru yang biasa digunakan pemerintah daerah. Bahkan, "panitia" gadungan itu juga memiliki petikan surat keputusan gubernur tentang pengangkatan pegawai negeri. Paling tidak, ada dua kantor instansi resmi yang digunakan para penipu, yaitu kantor Pramuka dan BLKI, tempat mendidik para korban. KEPALA Rumah Tangga Kantor Kwarda Gerakan Pramuka Semarang, Rasiman Hadipranoto, mengakui telah memberikan izin kepada Budiharto menggunakan kantor itu berikut fasilitasnya. Ia juga ikut membantu memperlancar urusan Budiharto dengan korban-korban penipuan. Bahkan ketika "calon-calon pegawai" itu dididik di BLKI, Rasiman ikut dimintakan memberikan ceramah tentang Korpri. "Benar saya yang salah dalam hal ini, karena terlalu percaya kepada Budiharto," kata Rasiman. Tapi Rasiman, pensiunan Kepala Protokol Pemda Ja-Teng itu, membantah terlibat dalam penipuan. "Mana mungkin saya terlibat, malah saya ikut kena tipu," ujarnya. Seorang cucunya, katanya, ikut menjadi korban Budiharto. Tapi Rasiman tidak bisa memastikan berapa besar cucunya itu membayar uang pelicin itu. "Saya kira sama dengan yang lain," katanya. Seperti juga Rasiman, Kepala BLKI, Umar Harahap, membantah ikut komplotan penipu itu, walau lembaganya digunakan untuk mendidik para korban. "Saya justru kecolongan," kata Umar. Ia mengaku mau menerima calon-calon pegawai itu untuk dididik, karenaBudiharto mengaku sebagai petugas Dipenda. Apalagi, katanya, Budiharto membawa surat dari Kepala Bidang Khusus Dipenda, Drs. Memet Santoso. "Jadi saya tidak curiga lagi," kilah Umar. Walau ia mengaku tidak mengecek langsung ke Dipenda. Lembaga pendidikan yang dipimpin. Umar memang untuk melatih pemuda-pemuda putus sekolah. Beberapa-orang staf pengajar disiapkan di lembaga itu, untuk mendidik orang-orang yang dititipkan oleh instansi pemerintah atau swasta. Biasanya, instansi yang meminta jasa lembaga itu diwajibkan membayar honor pengajar sebanyak Rp 1.000 setiap iam pelajaran. Semua kebutuhan barang untuk praktek disediakan lembaga. Tapi Umar membenarkan, perlakuan untuk Budiharto lain dari biasanya. Budi diwajibkan membayar Rp 1 juta untuk pembelian alat-alat latihan. Selain itu, ia membayar Rp 480 ribu untuk honor pengajar dan Rp 400 ribu sebagai uang pembinaan. "Saya akui itu melanggar peraturan, tapi Budi mau kok," alasan Umar lagi. Polisi memang belum memastikan adanya orang-orang BLKI dan Pramuka yang terlibat. "Tunggu saja hasil pemeriksaan nanti," ujar Haryono. Perwira penerangan polisi ini memperkirakan kasus Budiharto bukan hanya di Semarang, tapi sudah meluas di seluruh Jawa Tengah . Dalam pemeriksaan, Budi ternyata seorang residivis. Ketika ditangkap, orang itu mempunyai pakaian seragam ABRI dengan pangkat Letnan Satu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus