PENATARAN hagi ke-23 calon pegawai Dinas Pendapatan Daerah
(Dipenda) Jawa Tengah sudah berlangsung hampir sebulan. Tapi
ketika para peserta sedang tekun mengikuti salah satu mata
pelajaran, penataran di Balai Latihan Kerja Industri (BLKI)
Semarang itu, 9 November lalu digerebck polisi--karena ternyata
penipuan.
Ke-23 peserta penataran itu pun dibawa ke kantor polisi untuk
dimintai keterangan. Berikut empat orang yang disangka sebagai
dalang sekaligus pelaku penipuan itu. Yaitu Budiharto, 31 tahun,
Sungkono, 52 tahun, Subroto, 30 tahun dan Sumarmo, 40 tahun.
Ketika polisi menggerebek, ke-4 orang ini, yang kini dalam
tahanan, sedang mengawasi penataran yang berlangsung saat itu.
Padahal proses penerimaan para calon pegawai itu berjalan wajar
dan meyakinkan. Para pelamar membaca pengumuman adanya lowongan
di kantor pemerintah daerah itu tertempel di Kantor Kwarda
Gerakan Pramuka Semarang. Pengumuman itu berasal dari "Panitia
Penerimaan Pegawai Dipenda. Dan di kantor pramuka itu pula
puluhan calon mengikuti ujian saringan.
Hasilnya, 45 orang calon yang rata-rata tamatan SLTA dinyatakan
lulus. Masih lumrah tiap yang lulus memberikan uang "pelicin"
antara Rp 400 ribu sampai Rp 600 ribu.
Mereka yang lulus dibagi dua kelompok untuk mengikuti pendidikan
di BLKI Ditjen Bina Guna Depnaker, Ja-Teng, selama 3 bulan (480
jam). Sejak 13 Oktober lalu, kelompok peruma, 23 orang,
mengikuti pendidikan di sana. Sampai akhirnya tcrjadi
penggerebekan tadi.
"Rasanya dendam saya begitu mengendap . . . ," ujar Khalim, 21
tahun, salah seorang korban penipuan, sambil mengepalkan
tangannya. Ia datang dari Magelang dengan harapan besar akan
menjadi pegawai negeri. Apalagi ia telah mengeluarkan uang
"pelicin" sebanyak Rp 600 ribu. Setelah kasus penggerebekan itu,
Khalim selalu murung di rumah kosnya di Desa Gemah, Semarang
Timur. Tekadnya tetap tinggal di Semarang, sebab malu pada
keluarga dan tetangga jika pulang tanpa jadi pegawai. "Saya akan
cari kerja apa saja, jadi tukang becak pun jadi," kata Khalim.
Kebanyakan korban memang berasal dari luar Semarang: Demak,
Salatiga, Yogya dan Sragen. Agar bisa membayar uang pelicin
supaya lolos dari seleksi, mereka sudah berkorban cukup besar.
"Saya mendapatkan uang dari ayah setelah ayal, menjual sawah ,"
ujar Maryono, 20 tahun dari Yogya. Ia bersama temannya Mursidi
mengaku mengeluarkan uang masing-masing Rp 500 ribu agar lolos
dari ujian saringan. Kata Maryono, ia memang yakin akan menjadi
pegawai Dipenda karena sudah membayar uang pelicin.
Polisi baru mengetahui penipuan yang diatur rapi itu, setelah
seorang korban, Slamet, melapor ke Dipenda Slamet merasa ada
yang tidak beres pada penerimaan pegawai Dipenda itu. Dalam
pengumuman semula disebutkan calon yang lulus ujian akan
ditempatkan di pemondokan selama pendidikan. Ternyata setelah
lulus, mereka harus mencari tempat kos masing-masing.
Laporan Slamet ini tentu membuat pejabat Dipenda kaget, karena
tidak merasa ada penerimaan pegawai baru. Dari situlah, kata
Kasi Pendak IX, Jawa Tengah, Mayor Pol. Haryono, polisi
mengetahui penipuan itu. Penggerebekan di tempat latihan itu
menghasilkan empat tersangka ditangkap, termasuk yang diduga
otaknya, Budiharto. Berikut pelaku, disita pula barang bukti
berupa setumpuk berkas lamaran, stempel Dipenda yang dipalsukan,
kwitansi, enam setel baju dinas Dipenda dan uang tunai sebesar
Rp 1,9 juta.
Hingga kini polisi Semarang masih sibuk mengusut kasus itu
sampai tuntas. Sebab ada kecurigaan "permainan" itu bisa
berjalan lancar berkat kerja sama dengan oknum-oknum pemerintah
daerah sendiri. Di tempat latihan, polisi menemukan juga blangko
penerimaan pegawai baru yang biasa digunakan pemerintah daerah.
Bahkan, "panitia" gadungan itu juga memiliki petikan surat
keputusan gubernur tentang pengangkatan pegawai negeri. Paling
tidak, ada dua kantor instansi resmi yang digunakan para penipu,
yaitu kantor Pramuka dan BLKI, tempat mendidik para korban.
KEPALA Rumah Tangga Kantor Kwarda Gerakan Pramuka Semarang,
Rasiman Hadipranoto, mengakui telah memberikan izin kepada
Budiharto menggunakan kantor itu berikut fasilitasnya. Ia juga
ikut membantu memperlancar urusan Budiharto dengan korban-korban
penipuan. Bahkan ketika "calon-calon pegawai" itu dididik di
BLKI, Rasiman ikut dimintakan memberikan ceramah tentang Korpri.
"Benar saya yang salah dalam hal ini, karena terlalu percaya
kepada Budiharto," kata Rasiman.
Tapi Rasiman, pensiunan Kepala Protokol Pemda Ja-Teng itu,
membantah terlibat dalam penipuan. "Mana mungkin saya terlibat,
malah saya ikut kena tipu," ujarnya. Seorang cucunya, katanya,
ikut menjadi korban Budiharto. Tapi Rasiman tidak bisa
memastikan berapa besar cucunya itu membayar uang pelicin itu.
"Saya kira sama dengan yang lain," katanya.
Seperti juga Rasiman, Kepala BLKI, Umar Harahap, membantah ikut
komplotan penipu itu, walau lembaganya digunakan untuk mendidik
para korban. "Saya justru kecolongan," kata Umar. Ia mengaku mau
menerima calon-calon pegawai itu untuk dididik, karenaBudiharto
mengaku sebagai petugas Dipenda. Apalagi, katanya, Budiharto
membawa surat dari Kepala Bidang Khusus Dipenda, Drs. Memet
Santoso. "Jadi saya tidak curiga lagi," kilah Umar. Walau ia
mengaku tidak mengecek langsung ke Dipenda.
Lembaga pendidikan yang dipimpin. Umar memang untuk melatih
pemuda-pemuda putus sekolah. Beberapa-orang staf pengajar
disiapkan di lembaga itu, untuk mendidik orang-orang yang
dititipkan oleh instansi pemerintah atau swasta. Biasanya,
instansi yang meminta jasa lembaga itu diwajibkan membayar honor
pengajar sebanyak Rp 1.000 setiap iam pelajaran. Semua kebutuhan
barang untuk praktek disediakan lembaga.
Tapi Umar membenarkan, perlakuan untuk Budiharto lain dari
biasanya. Budi diwajibkan membayar Rp 1 juta untuk pembelian
alat-alat latihan. Selain itu, ia membayar Rp 480 ribu untuk
honor pengajar dan Rp 400 ribu sebagai uang pembinaan. "Saya
akui itu melanggar peraturan, tapi Budi mau kok," alasan Umar
lagi.
Polisi memang belum memastikan adanya orang-orang BLKI dan
Pramuka yang terlibat. "Tunggu saja hasil pemeriksaan nanti,"
ujar Haryono. Perwira penerangan polisi ini memperkirakan kasus
Budiharto bukan hanya di Semarang, tapi sudah meluas di seluruh
Jawa Tengah .
Dalam pemeriksaan, Budi ternyata seorang residivis. Ketika
ditangkap, orang itu mempunyai pakaian seragam ABRI dengan
pangkat Letnan Satu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini