Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Di bawah kebesaran pulitzer

Ke-4 jurupotret yang memenangkan hadiah pulitzer: eddie adams, dallas kinney, jerry gay & john filo, membeberkan sisi lain hadiah tersebut. mereka merasa tertekan/berdosa atas cara memperoleh hadiah tersebut.(sel)

27 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMOTRET bukan pekerjaan sulit. Setidak-tidaknya begitulah yang dikatakan Eddie Adams kepada Liz Nakahara, wartawan Washington Post. Tidak percaya? Hatta pada suatu ketika, seorang tahanan Vietcong sedang digiring polisi di jalan raya Kota Saigon -- kini Ho Chi Minh. Eddie Adams, jurupotret Associted Press, membuntuti dengan sikap waspada. Tatkala Kepala Polisi Nasional Vietnam Seiatan--Nguyen Noc Loan van kesohor itu--membidikkan pistolnya ke jidat sang tahanan, Adams membidikkan kameranya. Ngoc Loan menarik picu, Adams memen jet shutter. Sang tahanan bergeming sedikit, kemudian terhempas ke jalanan berdebu, dengan sebuah lubang menghiasi kepala. "Setiap orang bego yang hadir di sana waktu itu dapat memotret adegan tersebut," ujar Adams kemudian. Tapi memenangkan sebuah hadiah penghargaan, apalagi' yang bermutu internasional, bukan perkara gampang. Potret yang diambil Eddie Adams itu menggondol hadiah hampir pada setiap lomba foto jurnalistik 1969 --termasuk Hadiah Pulitzer. Dan, anehnya, Adams tak sampai bersorak. "Saya telah mengeduk rezeki dari menyaksikan pembunuhan antara anak manusia," ujar Adams, setelah ia resmi dinyatakan berhak menerima Pulitzer Itulah rupanya yang menjadi sebab. "Dua manusia kehilangan nilai, dan aku dibayar untuk kesaksianku. Aku telah menjadi 'pahlawan'," katanya pahit. Tak ayal lagi, setiap jurupotret memendam cita-cita untuk sekali waktu menggondol Pulitzer. Tapi beberapa di antara mereka--rupanya termasuk Eddie Adams--tak mau diingatkan kembali pada cara memperoleh hadiah itu, kata Liz Nakahara dalam tulisannya yang dimuat International Herald Tribune. Mereka mafhum, sebuah potret yang istimewa bisa terjadi oleh faktor untung-untungan, atau oleh sentuhan seorang jenius. Ia bisa hasil keringat tak kenal lelah seorang profesional, tapi mungkin juga faktor kebetulan seorang amatir yang menekan shutter tanpa perhitungan pelik. Batas yang membedakannya memang sangat tipis--mungkin hanya bisa diukur dalam mikrosekon. Begitu pula akibat yang ditimbulkan sebuah potret terhadap kreatornya. Dengan sedikit guncangan) sebuah potret dapat mengubah - - bahkan merusakkan--jalan hidup si pembuat. Dalam peristiwa Eddie Adams, dua tahun jurupotret profcsional ini tak sanggup melihat foto pembunuhan di jalan raya Saigon itu, yang telah dibuatnya sendiri. Malah secara terbuka ia berusaha membela Nguyen Ngoc Loan, sang kepala polisi yang jadi eksekutor itu. Lho? Alasannya, mungkin: sejak foto itu tersiar, Ngoc Loan menjadi bulan-bulanan caci-maki seluruh dunia. Itu membuat Eddie Adams tak betah tidur. Ia lalu minta maaf kepada Ngoc Loan. Ia juga mencari kesempatan "menebus dosa" dengan menampilkan potret Ngoc Loan yang manusiawi, yang kira-kira bisa mengubah citra kepala polisi itu di mata dunia. Susahnya, kesempatan tersebut tampaknya langka. Perasaan yang hampir sama dirasakan pula oleh Dallas Kinney, jurupotret The Polm Bech Post, Florida, yang memenangkan Pulitzer 1970. Kinney merebut hadiah melalui sebuah foto yang menggambarkan petani emigran, "yang semata-mata memuji era liberal yang elok." Ia merasa berdosa karena "menerima hadiah dari menjual kemelaratan dan penderitaan orang lain". "Mengerikan," katanya, "betapa rasa sangsi dan bersalah telah menghancurkan hidup saya." Jerry Gay dalam pada itu memenangkan Pulitzer 1975. Bertahun-tahun ia mengorbankan kehidupan pribadinya demi mencapai "kemampuan psikis menciptakan imajinasi." Berulang kali ia memenangkan lomba foto tingkat nasional. Tapi tatkala fotonya tentang para pemadam kebakaran yang dimuat The Seottle Times dinyatakan berhak menerima Pulitzer, ia malah bingung. "Pulitzer mestinya lebih dari sekedar hadiah besar," katanya. "Aku harus berbuat lebih banyak untuk memuaskan hatiku." Ia dirasuk kegelisahan batin, dan menyangsikan pertanyaannya sendiri. Kadang-kadang ia berkonsultasi dengan psikiater. Pada saat yang lain ia memencilkan diri: Pemenang Pulitzer 1971, John Filo, membidikkan kamera dan memencet shutter-nya ke arah seorang wanita yang meratap di samping mayat seorang mahasiswa Universitas Kent State, Ohio. Belakangan ia sadar, dengan tindakan itu ia telah meledek musibah yang menimpa sesamanya: si mahasiswa yang, tertembak mati, dan wanita muda yang meratapi nasib. Tap apa lacur, foto itu sempat tersebar-bahkan mendatangkan rezeki yang lumayan bagi si pemotret. Sementara itu Filo tak kunjung selesai menjawab pertanyaan hati nuraninya. Keempat jurupotret di atas belakangan menarik perhatian, karera mereka berbicara mengenai sisi lain Hadiah Pulitzer. Selama ini, dengan menjanjikan uang US$ 1.000, Hadiah Pulitzer sering dianggap "yang paling prestisius dalam dunia jurnalistik Amerika Serikat." Agaknya kini banyak pertimbangan lain yang perlu diambil, setelah empat dari pemenang hadiah yang menggiurkan itu 'buka kartu' lantaran tak tahan memendam rasa. Cerita pertama datang dari Edward Thomas Adams, nama lengkap pemount adegan maut di Saigon tadi. Konon, begitu ceritanya,.Eddie tak menyangka Kepala Polisi Nguyen Ngoc Loan itu mau menembak betulan. Ia menduga Ngoc Loan sekedar menakut-nakuti si tahanan Vietcong yang kedua tangannya diikat ke punggung. Masa' mau menembak betul--dari jarak begitu dekat! Tidak dinyana, peluru berdentam. "Bayangkan," kata Eddie, "bagaimana rasanya menyaksikan orang lain dipistol sampai mati." Eddie sendiri tadinya tidak begitu peduli ketika menyerahkan filmnya ke kantor AP di Saigon. Tapi 24 jam kemudian, "berdatanganlah pesan dari seluruh penjuru dunia." Potret yang satu itu saja membangkitkan kebencian dan amarah terhadap perang. Masyarakat bersatu dalam opini, bahwa yang terjadi di Vietnam adalah perang saudara, dan bahwa "Amerika sesungguhnya tidak patut hadir di situ." Unt uk sebagian pembaca media massa, Kepala Polisi Saigon itu langsung tampil sebagai monster pembunuh. Para editor sendiri sih menerimanya sebagai bahan berita yang sangat hangat, dan--tentu saja--sangat laku dijual. Karena itulah, berlawanan dengan saran beberapa rekan, Eddie Adams lantas datang ke kantor Ngoc Loan. Yang terakhir ini menerimanya dengan sikap dingin. Si pejabat menceritakan, betapa istrinya mengamuk karena ia tak berusaha merampas film adegan yang menjijikkan itu. Setelah itu Eddie terus-menerus mengikuti Ngoc Loan --selama dua minggu. Ternyata, kata si Mat Kodak, "banyak juga yang mencintai orang ini." Rasa bersalah Eddie terhadap Ngoc Loan tak pernah susut. "Aku merasa bertanggung jawab, karena akulah yang membuat potret itu." Jadi, kapokkah dia? "Kalau peristiwa seperti itu terjadi lagi besok, umpamanya, mungkin aku akan memotretnya kembali " Lho? "Aku terpaksa mengatakan ini, karena aku melakukan hal yang menyebabkan aku dibayar. Tapi aku benci melihat penderitaan orang lain yang diakibatkan perbuatanku." Pusing jadinya. Ada saat-saat ketika rasa bersalah itu mcmberikan pukulan lebih keras. Pada 1969, misalnya, Adams tiba di Negeri Belanda untuk menghadiri Lomba Foto Pers Dunia. Di sana ia ditanya seorang reporter Belanda: "Mengapa anda tak berusaha mencegah polisi itu membunuh korbannya?" Adams bergidik. "Aungkin ini pertanyaan paling bego yang pernah kudengar," katanya kemudian. "Perang sedang hangat-hangatnya, dan anda berusaha mencegah orang saling berbunuh?" Tapi ia mengaku, pertanyaan itu membuat perasaannya haru-biru. TAK kurang dari 10 hadiah lomba foto yang telah dimenangkan Adams. "Tapi aku selalu dikenang dalam potret Saigon jahanam itu," katanya kesal. "Aku merasa tertekan, dan berusaha menampilkan hasil pemotretanku lainnya yang bisa mengubah citra pembaca. Sebuah potret nonberita, barangkali, yang bisa membuat orang ketawa atau menangis, pendeknya yang menggugah perasaan." Kini, Eddie Adams, 49 tahun, bekerja sebagai jurupotret freelance dan banyak membantu Time Inc. dan majalah Parade. Ia senantiasa berusaha "membuat imbangan". Pada 1977, ia nyaris mendapat peluang. Tahun itu Eddie Adams mengikuti 48 pengungsi Vietnam di sebuah perahu sepanjang sembilan meter, yang berlayar menuju Muangthai. Terjadilah, Angkatan Laut Thai kemudian menghalau perahu itu kembali ke tengah laut. "Kami mengirim gambar dan cerita orang perahu itu ke Kongres AS," katanya. "Dan (kesaksian) itu membantu meyakinkan Presiden Carter untuk menerima para pengungsi Vietnam di Amerika." Adams kemudian menambahkan, "aku sebenarnya ingin menerima Pulitzer untukhal-hal seperti itu, di mana tak seorang pun merasa tersinggung." Lain pula kisah Dallas Kinney, staf foto The Palm Beach Post. Suatu ketika, bersama dua orang bosnya, Kinney pergi ke sebuah pemukiman emigran --sekitar 64 km dari kantor mereka. Para editor tadi menunjukkan kemiskinan keluarga emigran dalam gubuk-gubuk mereka yang berdinding kertas. Mereka minta Kinney menggali cerita yang laku dijual. "Aku tak bisa mengungkapkan sebuah kisah tanpa terlibat di dalamnya," kata Kinney mengenang. Sadar kalau kameranya akan segera menarik perhatian dan mencurigakan para gembel itu, Kinney bersikap pura-pura. Ia berusaha berbaik-baikan dengan mereka, dan gerombolan orang melarat itu berhasil diyakinkan. Pada 1970 Kinney dinyatakan berhak menerima Hadiah Pulitzer. Untuk dia diselenggarakan sebuah pesta yang bersimbah sampanye. Dan beberapa menit kemudian ia mulai dirasuk perasaan tertekan. Bangun pagi esoknya, ia melirik halaman depan The Post. Tampak dua foto besar berdampingan. Yang pertama memperlihatkan Kinney diguyur sampanye dalam pesta semalam. Potret kedua, yang memenangkan Pulitzer itu, mempertontonkan tiga anak emigran yang compang-camping di samping gubuk mereka yang hampir tumbang. Kinney terkesima. "Anak-anak itu tidak akan pernah punya persediaan susu untuk hari berikutnya," kata Kinney. Sedang dia bermandikan sampanye. "Ya, Tuhan. Apa yang akan dikatakan para gembel itu mengenai diriku, yang telah mereka terima dengan tangan dan hati terbuka?" "Pulitzer," katanya belakangan, "adalah sebuah keputusasaan yang aku tak kuat memikulnya. Aku harus lari, harus menghindar." Ia meninggalkan The Palm Beach Post tak lama setelah kejadian tersebut. Mencari ke sana ke mari, berusaha "menebus dosa"nya dengan cerita lain--yang tak kunjung ketemu. Di suatu hari libur, Kinney melakukan perjalanan bersama keluarganya. Ia berusaha menulis serial kehidupan bangsa Indian Amerika, dalam hubungan "menebus dosa" tadi. Toh ia sendiri mengakui cerita itu tak terbilang berhasil. Ia kemudian bekerja di The Philadelphia Inquirer. Tak sampai setahum Balik ke The Palm Beach Post, empat tahun lamanya, lalu pindah ke dunia komunikasi telepon. Pindah lagi ke Christian Broadcast Network. Kini ia konsultan komunikasi padaMailers and Consultants, perusahaan pemasaran yang berpusat di Richmond. Ia hampir tak pernah lagi memotret. Belakangan, Kinney, 45 tahun mencoba mengadaptasikan kembali serial emigran itu, menambahkannya dengan beberapa film, dan membubuhkan narasi. Ia agak terhibur. "Untuk pertama kalinya aku melihat serial itu menurut seleraku," katanya. Akan hal Gerald Gay, suatu hari Mat Kodak yang satu ini diutus kanornya ke sebuah lokasi kebakaran. Assignment rutin," kata Gay mengenang. Ketika ia tiba di sana, ia meyaksikan "suasana surealistis". Asap dan halimun mengawang di atas puing rumah yang sudah berubah menjadi conggok arang. Peristiwa itu terjadi di sekitar pantai. Para pemadam api menyiram ke ana ke mari dari sebuah tepian. "Tiba-tiba mereka beristirahat, dan menyajian sebuah pemandangan yang unik di depan mataku," tutur Gay. "Pemandangan itu lebih bersifat adegan perang ketimbang suasana kebakaran." Foto hasil pemotretan Gay, tentang aara pemadam kebakaran yang sedang beristirahat itu, dimuat di halaman lepan The Seattle Times. Kemudian segera beredar ke berbagai kantor berita. "Naluriku mendorong memasukkan potret itu ke kontes Pulitzer," kata Gay meneruskan ceritanya. "Ketika itu kita sedang menyongsong perayaan Bicentennial (ulang tahun ke-200 USA), dan saya dengar para pembaca sudah bosan melihat hal-hal negatif. Saya pikir, tentu para juri akan tertarik mendapatkan sesuatu yang melambangkan 'Semangat Amerika'." Perhitungan Gay tepat. Dia memperoleh hadiah impian itu. Tapi yang terjadi kemudian sungguh di luar dugaan. Gay, yang tadinya seorang Mat Kodak yang ulet dan rajin, mulai ogah-ogahan. Sering ia menolak assignment, "karena saya tahu kelasnya bukan Pulitzer." Ia takut memotret, karena merasa dibebani hadiah yang sangat 'prestisius' itu. Ia khawatir potretnya tak cocok dengan penghargaan yang sudah diberikan kepadanya. Ini lain lagi, memang. Gay terus-menerus berada di bawah bayangan 'kebesaran 'ulitzer'. Dan dua tahun lalu terjadilah sesuatu yang sangat sulit diterangkan. Di depan sebuah jumpa pers di Seattle, Gay mempermaklumkan dirinya sebagai "putra Tuhan". Benar. Dia mencoba mcmbcritahu umat, katanya, "bahwa mereka memiliki kemampuan untuk mencapai kekuatan seperti yang pernah dianugerahkan kepada Kristus sekitar 20 abad lalu. ' Kini Gay hidup mengembara dan bekerja semaunya. "Saya percaya pada kekuatan media " katanya suatu kali. Ia konon sedang berusaha membangun sebuah centre, tempat mencari kemungkinan peranan media massa menciptakan dunia yang lebih positif, melalui cerita yang kita tulis." Tampaknya Gay belum sableng betul. Di kalangan jurnalistik Universitas Kent State, John Paul Filo bukan nama asing. Mahasiswa tingkat empat ini bekerja 40 jam seminggu. Pada hari yang naas itu, ia sedang membidikkan kameranya ke barisan Garda Nasional yang mengambil sikap siaga. Sasarannya: seorang anggota Garda bersenjata yang, entah secara kebetulan, juga sedang menatap tajam ke arah Filo. Tiba-tiba senjata menyalak. Peluru menghantam sebuah patung logam, kemudian bersarang di sebatang pohon. "Tuhan," desis Filo, "mereka menggunakan peluru sungguhan." Ketika tembakan berhenti, Filo melihat orang berbaring di rumput. Tadinya ia menyangka tembakan diarahkan ke udara. Kemudian ia sadar, dari kumpulan orang yang berada di lapangan tersebut, hanya dia yang tidak tiarap. "Seseorang luka di dekat saya," katanya kemudian, mengenang peristiwa tersebut. "Ternyata Jeffrey Miller, tepat di belakangku, agak ke kiri. Lehernya tertembak Darah memancur deras." Tatkala ia memotret jasad Millel yang tak bernyawa, Filo melihat seorang perempuan berlari, kemudian berlutut di sisi jenasah. "Ia memandang ke bawah," tutur Filo, "mulai tersedu dan terisak." Sementara itu sang jurupotret bergerak lebih dekat, membuat setengah lingkaran, "untuk mendapatkan efek tertentu." Huru-hara itu terjadi 4 Mei 1970. Khawatir kalau hasil pemotret itu akan dirampas para petugas di Ohio, Filo mencuci dan mencetakkan foto tersebut ke Pennsylvania. Setelah potret tersebut disiarkan berbagai kantor berita, Filo segera dibanjiri pertanyaan. Ada surat yang bernada mendakwa. Ia dicurigai ikut 'mengatur' adegan tersebut. Hari-hari selanjutnya berlangsung dengan keresahan. "Aku tak bisa tidur bermalam-malam," tutur Filo kemudian. Ia digoda sejumlah pertanyaan. "Mengapa justru aku yang harus memotret adegan tersebut? Mengapa bukan aku yang terluka, atau mati?" Ia menjadi sangat peka, dan pemurung. Dan, ketika suatu hari Filo kebetulan berada di kantor AP, datanglah berita yang mengejutkan itu. Ia dinyatakan berhak menerima Hadiah Pulitzer. "Di dalam hati aku sangat bergembira " katanya. "Tapi aku tak memperlihatkannya. Kampus masih diselimuti tragedi." Lagi pula, ternyata, hadiah itu memmembawa buntut yang kurang sedap. Apa? "Gaya hidup anda menjadi rusak," kata Filo. Segera setelah menyelesaikan studinya, 1971, rumah tangga Filo yang sudah berjalan tiga tahun berantakan. Ia berccrai dengan istrinya. Filo kerap menolak bila diajak bicara mengenai peristiwa di Universitas Kent State itu. Ia menyebut kejadian itu "pengalaman yang sangat emosional dan memilukan." Tapi ia dengan senang hati bersedia tampil sebagai saksi, bila orang tua para korban peristiwa tersebut menggugat pemerintah dan menuntut ganti rugi. Meski demikian, penampilannya di pengadilan - yang kemudian benarbenar dilakukannya--mengingatkannya kembali pada perasaan bersalah yang tidak jelas. "Saya keluar dari situasi itu dalam keadaan yang jauh berbeda dengan para mahasiswa yang terbunuh," katanya. Apalagi salah seorang teman karibnya, Bill Schroeder, ikut menjadi korban. "Aku datang ke pengadilan sehat walafiat. Para orang tua almarhum itu memandang kepadaku, dan aku tak tahu apa yang ada dalam pikiran mereka. Tuhan, apa yang bisa Kau katakan kepada ayah bunda Schroeder? Mereka kehilangan seorang putra, dan aku memperoleh kemasyhuran." Rasa bersalah Filo tidak berakhir dengan selesainya sidang-sidang pengadilan. Ia juga diresahkan oleh perasaan Mary Ann Vecchio, perempuan muda dalam potret tersebut. aalam salah satu wawancara, Hary mengatakan potret tersebut menghancurkan hidupnya. "Sunguh mengerikan," kata Filo. Jalan hidup perempuan itu kemudian memang tidak karuan. Berdasarkan sebuah cerita pada Desember 1976, Mary Vecchio menerima sejumlah surat berisi caci-maki dari orang tak dikenal. Pada 1973 ia malah ditahan dengan tuduhan prostitusi. Filo sendiri sementara itu tak lagi berani sembarang memotret. Ia menimbang segala konsekuensi: Ia menyatakan keinginannya untuk berbicara dengan Mary Vecchio suatu ketika. "Aku hanya ingin tahu, berapa besar pengaruh foto tersebut atas jalan hidupnya." Kini Filo bekerja untuk Philodelphia Inquirer, masih sebagai jurupotret. Entah apa kesan yang tinggal dalam dirinya mengenai potret kampus yang memenangkan Pulitzer itu. "Tapi kalau kesempatan seperti itu datang, aku tetap akan memotretnya kembali." Tidak kapok? Seperti berfilsafat ia menjawab: "Anda hanya perlu menaklukkan diri sendiri. Orang lain tidak akan bisa memahami perasaan anda. Kecuali Eddie Adams, yang pernah mengalaminya sendiri." Akan halnya Eddie, orang ini mengirim surat ucapan selamat tatkala Filo memenangkan Pulitzer. Pada baris terakhir surat itu Eddie seperti berteka-teki: "Mari kita lihat apa yang akan anda lakukan besok.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus