Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Negara-negara berkembang dan gatt

Negara-negara berkembang tak punya suara yang kuat di dalam gatt. gatt, yang didirikan oleh negara-negara kaya secara tradisional hanya mementingkan perdagangan internasional yang terbuka dan luas.

27 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AKHIR-AKHIR ini cukup banyak pemberitaan mengenai pertemuan tingkat menteri GATT di Jenewa minggu ketiga November. Umumnya tak begitu terang apa kepentingan negara kita dalam perundingan ini. Tapi Menteri Perdagangan RI akan menghadirinya. Beberapa wakil dari negara maju (misalnya Jepang dan AS) telah mengunjungi negara ASEAN untuk menarik perhatian terhadap pertemuan ini. Lagipula, sidang menteri-menteri ASEAN di Singapura baru-baru ini membicarakan kepentingan bersama ASEAN dalam GATT ini. Maka badan GATT, dan sidang menteri kali ini, kiranya cukup penting. Di mana khususnya letak kepentingan kita? *** General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) merupakan badan internasional yang sudah cukup tua. Tapi badan ini mempunyai citra sebagai badan yang dikuasai negara-negara industri, di mana negara-negara berkembang tidak mempunyai kekuatan suara yang besar. GATT adalah suatu rich countnes club, sedangkan negara-negara berkembang lebih mencurahkan harapannya kepada UNCTAD (United Nations Commission on Trade and Development). Dalam UNCTAD perdagangan luar negeri dikaitkan kepada masalah pembangunan. Di GATT secara tradisional tidak, atau kurang. UNCTAD melakukan perjuangan gigih stabilisasi harga bagi komoditi yang pentung bagi negara-negara berkembang. GATT secara tradisional hanya mementingkan perdagangan unternasional yang luas dan terbuka, tanpa banyak dihalang-halangi. Ideologi GATT adalahfree trade. Perdagangan internasional yang bebas ini dipandang oleh negara-negara berkembang tidak terlalu mendukung kepentingan pembangunan jangka panjang. Mereka menghendaki proteksi dan preferensi untuk memajukan pembangunan dan perdagangan luar negerinya. Perdagangan internasional mengenai komoditi harus mempunyai stabilitas yang menguntungkan, dan industrialisasi negara-negara berkembang harus dijamin pasarnya di negara-negara maju (masalah commodity market stabilization dan access to market). *** Akan tetapi perjuangan untuk menciptakan Tata Ekonomi Internasional yang Baru memakan waktu yang sangat lama, dan dewasa ini prosesnya tampak macet. Maka negara-negara berkembang tidak dapat menunggu dengan bertumpang dagu. Mereka secara realistis harus mempergunakan kesempatankesempatan yang tersedia dalam tata susunan yang sekarang termasuk kepentingan mereka dalam tata susunan GATT. Maka sekali lagi, apakah kepentingan kita di GATT? GATT dahulu didirikan oleh negara-negara maju untuk mengatur tata mainan mereka di perdagangan internasional. Walaupun doktrin utama mereka adalah perdagangan bebas namun disadari bahwa pemerintah-pemerintah sering terpaksa mengadakan campur tangan untuk membela sesuatu kepentingan nasional. Walaupun perdagangan barangbarang hasil industri pada umumnya berlangsung cukup bebas, tanpa halangan, namun sejak dahulu perdagangan internasional dalam bahan makanan dan hasil bumi sering mengalami tuntutan dari dalam negeri ntuk proteksi. Dalam masa resesi pertenLangan dan perselisihan perdagangan juga banyak, misalnya yang disebabkan oleh praktek praktek dumping (banting harga). Maka untuk menyelesaikan peselisihan (disputes) dan untuk mengurangi kesengitan proteksi dirasakan perlu merumuskan tata mainan yang harus dipatuhi secara internasional. Inilah tujuan dari GATT. Dalam masa resesi yang masih mengamuk ini semangat proteksionisme merajalela dan seolah-olah mau mengganti rezim perdagangan bebas. Negara-negara barat merasa cemas mengenai kecenderungan ini dan berusaha melalui CATT untuk mengendalikan arus proteksionisme ini. Misalnya, di Jenewa minggu ini akan ada usul resolusi untuk menghentikan arus proteksionisme yang lebih lanjut (moratorium), dan negara-negara industri harus berjanji untuk berangsur-angsur mengurangi (roll-back) peraturan-peraturan proteksionistis mereka. Tapi, apakah seruan untuk moratorium dan roll-back ini akan diterima sebagai suatu Deklarasi Politik masih harus ditunggu. *** Negara-negara berkembang dewasa ini juga terpukul oleh resesi. Selain halangan-halangan impor yang melindungi industri dalam negeri, maka kekuatan daya beli yang menurun di negara-negara maju sudah memukul ekspor negara-negara berkembang. Lebih-lebih kalau ada pembatasan perdagangan dalarn bentuk kuota, pengetatan standar, perlakuan antidumping, dan lain-lain non-tariff barriers. Sejak perundingan-perundingan Tokyo Round, GATT berusaha mengurangi non-tariff barriers (NTB) ini dan proses ini belum dipandang selesai. Misalnya, cara penyelesaian perselisihan dan cara menindak banting harga harus diatur secara lebih baik, jangan terlalu berdasarkan kemauan unilateral negara yang merasa dirugikan. Masalah ini dikenal sebagai masalah safeguards dan masih harus diselesaikan secara tuntas dalam rangka GATT. Bagi negara-negara berkembang, yang kadang-kadang dituduh melakukan banting harga barangbarangnya ke negara-negara industri, penertiban prosedural ini juga penting. Tiap kali kalau impor dari suatu negara berkembang mendadak sontak melonjak maka sering ada prasangka dan tuduhan bahwa negara pengekspor melakukan banting harga, sehingga negara pengimpor terpanggil untuk lekas-lekas melakukan pembatasan, misalnya dengan mengenakan kuota yang ketat atau mengenakan counterveiling duty (bea masuk imbangan). Maka negara-negara berkembang berkepentingan ikut membicarakan masalah safeguards, dsb-nya. *** Negara-negara maju sudah agak lama bersedia untuk membantu ekspor dari negara-negara berkembang dengan memberikannya keringanan bea masuk Sistem ini disebut Ceneralized System of Preferences (GSY), dan sudah dimasukkan dalam tata susunan GATT. Tapi daftar dari GSP ini mungkin masih kurang luas bagi kepentingan kita, dan masih tergantung juga dari kesediaan-kesediaan negara anggota GATT secara individual. Misalnya, kayu dan hasil olahan kayu tidak masuk GSP di Amerika, dan oleh karena itu impor kayu lapis dari Indonesia masih dikenakan bea masuk AS pernah mengeluarkan negara-negara OPEC dari GSP ini sehingga Indonesia baru bisa menikmati GSP AS beberapa tahun yang lalu saja. Maka persoalan pelebaran daftar GSP merupakan sasaran perjuangan kita. *** Dasar dari GATT adalah universal dan tanpa diskriminasi. Artinya, sebanyak mungkin tidak diadakan diskriminasi atau diferensiasi. Yang dapat menikmati GSP adalah semua negara berkembang, termasuk yang sudah maju, seperti NiCs (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, Brazil, dsb-nya). Dalam praktek sebagian terbesar GSP dinikmati oleh golongan negara berkembang yang sudah maju ini, yang memang sudah mempunyai kemampuan besar bagi ekspornya ke negara-negara maju. Negara-negara komoditi primer, seperti Indonesia, lebih mampu mengekspor barang hasil pertanian dan hasil hutan, justru komoditi tidak mendapat GSP. Maka apakah hubungan antara negara-negara berkembang yang belum bertingkat NICs dan yang sudah NICs tidak harus diatur kembali juga? Negara-negara maju justru mendesak kepada negara-negara NICs ini untuk membuka pasar dalam negerinya, dan mengurangi proteksinya. Negara-negara yang belum merupakan NICs harus diberi kesempatan untuk mengekspor lebih banyak ke NICs, misalnya tekstil kasar, elektronika sederhana, sedangkan industrialisasi NICs harus maju ke tingkat yang lebih tinggi. Ini merupakan masalah graduation yang justru dianjurkan oleh negara-negara seperti AS. GSP untuk NICs ini sebaiknya berangsur-angsur dikurangi, karena mereka berangsur-angsur harus memikul tanggungan sebagai negara maju (yang baru). Sebaliknya, prinsip graduation ini sering ditolak oleh golongan negara berkembang yang bergabung dalam G-77 oleh karena mereka merasa dipecah-belah dan tidak mau diadu-domba. *** Di luar GATT terdapat perjanjian-perjanjian yang mengatur perdagangan dunia dalam beberapa komoditi, secara khas, misalnya Multi Fibre Arrangement (MFA), Coffee Agreement, dsb-nya. Perjanjian-perjanjian ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip GATT mengenai universalitas dan nondiskriminasi. Sering pelaksanaan perjanjian demikian adalah perundingan bilateral, seperti dalam MFA. Yang menjadi masalah GATT: Apakah perjanjian-perjanjian demikian harus diterus}an atau harus dilebur dalam GATT? Soal praktis yang lebih penting: kapan dan bagaimana? *** Negara-negara berkembang--pendekar dalam perjuangan untuk menegakkan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) - sebetulnya tidak terlalu suka kepada GATT, oleh karena badan ini merupakan rich men's club. Tetapi (seperti juga IMF dan Bank Dunia) badan-badan ini kuat, dan pengaruhnya terhadap tata ekonomi dunia besar. Maka suatu perjuangan alternatif adalah berusaha untuk memasuki badanbadan ini dan berusaha mengadakan perubahan dari dalam. IMF yang dahulu sering dicap "pro-stabilitasi dan antipembangunan oleh negara-negara berkembang sekarang sudah lebih 'mengerti' dan akomodatif. Ini mungkin berkat hasil Komisi-20, terdiri dari menteri-menteri negara kaya dan negara berkernbang, yang pernah diketuai oleh Menteri Keuangan Ali Wardhana. Ada apakah terhadap GATT tidak dapat diusulkan juga dibentuknya suatu Komisi-20 tingkat menteri, terdiri separuh dari negara maju dan separuh dari negara berkembang, untuk meninjau tata susunan GATT, agar lebih 'propembangunan'?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus