AKHIR-AKHIR ini cukup banyak pemberitaan mengenai pertemuan
tingkat menteri GATT di Jenewa minggu ketiga November. Umumnya
tak begitu terang apa kepentingan negara kita dalam perundingan
ini. Tapi Menteri Perdagangan RI akan menghadirinya. Beberapa
wakil dari negara maju (misalnya Jepang dan AS) telah
mengunjungi negara ASEAN untuk menarik perhatian terhadap
pertemuan ini. Lagipula, sidang menteri-menteri ASEAN di
Singapura baru-baru ini membicarakan kepentingan bersama ASEAN
dalam GATT ini. Maka badan GATT, dan sidang menteri kali ini,
kiranya cukup penting. Di mana khususnya letak kepentingan kita?
***
General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) merupakan badan
internasional yang sudah cukup tua. Tapi badan ini mempunyai
citra sebagai badan yang dikuasai negara-negara industri, di
mana negara-negara berkembang tidak mempunyai kekuatan suara
yang besar.
GATT adalah suatu rich countnes club, sedangkan negara-negara
berkembang lebih mencurahkan harapannya kepada UNCTAD (United
Nations Commission on Trade and Development). Dalam UNCTAD
perdagangan luar negeri dikaitkan kepada masalah pembangunan. Di
GATT secara tradisional tidak, atau kurang. UNCTAD melakukan
perjuangan gigih stabilisasi harga bagi komoditi yang pentung
bagi negara-negara berkembang. GATT secara tradisional hanya
mementingkan perdagangan unternasional yang luas dan terbuka,
tanpa banyak dihalang-halangi. Ideologi GATT adalahfree trade.
Perdagangan internasional yang bebas ini dipandang oleh
negara-negara berkembang tidak terlalu mendukung kepentingan
pembangunan jangka panjang. Mereka menghendaki proteksi dan
preferensi untuk memajukan pembangunan dan perdagangan luar
negerinya. Perdagangan internasional mengenai komoditi harus
mempunyai stabilitas yang menguntungkan, dan industrialisasi
negara-negara berkembang harus dijamin pasarnya di negara-negara
maju (masalah commodity market stabilization dan access to
market).
***
Akan tetapi perjuangan untuk menciptakan Tata Ekonomi
Internasional yang Baru memakan waktu yang sangat lama, dan
dewasa ini prosesnya tampak macet. Maka negara-negara berkembang
tidak dapat menunggu dengan bertumpang dagu. Mereka secara
realistis harus mempergunakan kesempatankesempatan yang tersedia
dalam tata susunan yang sekarang termasuk kepentingan mereka
dalam tata susunan GATT. Maka sekali lagi, apakah kepentingan
kita di GATT?
GATT dahulu didirikan oleh negara-negara maju untuk mengatur
tata mainan mereka di perdagangan internasional. Walaupun
doktrin utama mereka adalah perdagangan bebas namun disadari
bahwa pemerintah-pemerintah sering terpaksa mengadakan campur
tangan untuk membela sesuatu kepentingan nasional. Walaupun
perdagangan barangbarang hasil industri pada umumnya berlangsung
cukup bebas, tanpa halangan, namun sejak dahulu perdagangan
internasional dalam bahan makanan dan hasil bumi sering
mengalami tuntutan dari dalam negeri ntuk proteksi.
Dalam masa resesi pertenLangan dan perselisihan perdagangan juga
banyak, misalnya yang disebabkan oleh praktek praktek dumping
(banting harga). Maka untuk menyelesaikan peselisihan
(disputes) dan untuk mengurangi kesengitan proteksi dirasakan
perlu merumuskan tata mainan yang harus dipatuhi secara
internasional. Inilah tujuan dari GATT.
Dalam masa resesi yang masih mengamuk ini semangat
proteksionisme merajalela dan seolah-olah mau mengganti rezim
perdagangan bebas. Negara-negara barat merasa cemas mengenai
kecenderungan ini dan berusaha melalui CATT untuk mengendalikan
arus proteksionisme ini. Misalnya, di Jenewa minggu ini akan ada
usul resolusi untuk menghentikan arus proteksionisme yang lebih
lanjut (moratorium), dan negara-negara industri harus berjanji
untuk berangsur-angsur mengurangi (roll-back)
peraturan-peraturan proteksionistis mereka. Tapi, apakah seruan
untuk moratorium dan roll-back ini akan diterima sebagai suatu
Deklarasi Politik masih harus ditunggu.
***
Negara-negara berkembang dewasa ini juga terpukul oleh resesi.
Selain halangan-halangan impor yang melindungi industri dalam
negeri, maka kekuatan daya beli yang menurun di negara-negara
maju sudah memukul ekspor negara-negara berkembang. Lebih-lebih
kalau ada pembatasan perdagangan dalarn bentuk kuota, pengetatan
standar, perlakuan antidumping, dan lain-lain non-tariff
barriers.
Sejak perundingan-perundingan Tokyo Round, GATT berusaha
mengurangi non-tariff barriers (NTB) ini dan proses ini belum
dipandang selesai. Misalnya, cara penyelesaian perselisihan dan
cara menindak banting harga harus diatur secara lebih baik,
jangan terlalu berdasarkan kemauan unilateral negara yang merasa
dirugikan. Masalah ini dikenal sebagai masalah safeguards dan
masih harus diselesaikan secara tuntas dalam rangka GATT.
Bagi negara-negara berkembang, yang kadang-kadang dituduh
melakukan banting harga barangbarangnya ke negara-negara
industri, penertiban prosedural ini juga penting. Tiap kali
kalau impor dari suatu negara berkembang mendadak sontak
melonjak maka sering ada prasangka dan tuduhan bahwa negara
pengekspor melakukan banting harga, sehingga negara pengimpor
terpanggil untuk lekas-lekas melakukan pembatasan, misalnya
dengan mengenakan kuota yang ketat atau mengenakan
counterveiling duty (bea masuk imbangan). Maka negara-negara
berkembang berkepentingan ikut membicarakan masalah safeguards,
dsb-nya.
***
Negara-negara maju sudah agak lama bersedia untuk membantu
ekspor dari negara-negara berkembang dengan memberikannya
keringanan bea masuk Sistem ini disebut Ceneralized System of
Preferences (GSY), dan sudah dimasukkan dalam tata susunan GATT.
Tapi daftar dari GSP ini mungkin masih kurang luas bagi
kepentingan kita, dan masih tergantung juga dari
kesediaan-kesediaan negara anggota GATT secara individual.
Misalnya, kayu dan hasil olahan kayu tidak masuk GSP di Amerika,
dan oleh karena itu impor kayu lapis dari Indonesia masih
dikenakan bea masuk AS pernah mengeluarkan negara-negara OPEC
dari GSP ini sehingga Indonesia baru bisa menikmati GSP AS
beberapa tahun yang lalu saja. Maka persoalan pelebaran daftar
GSP merupakan sasaran perjuangan kita.
***
Dasar dari GATT adalah universal dan tanpa diskriminasi.
Artinya, sebanyak mungkin tidak diadakan diskriminasi atau
diferensiasi. Yang dapat menikmati GSP adalah semua negara
berkembang, termasuk yang sudah maju, seperti NiCs (Korea
Selatan, Taiwan, Hongkong, Brazil, dsb-nya).
Dalam praktek sebagian terbesar GSP dinikmati oleh golongan
negara berkembang yang sudah maju ini, yang memang sudah
mempunyai kemampuan besar bagi ekspornya ke negara-negara maju.
Negara-negara komoditi primer, seperti Indonesia, lebih mampu
mengekspor barang hasil pertanian dan hasil hutan, justru
komoditi tidak mendapat GSP.
Maka apakah hubungan antara negara-negara berkembang yang belum
bertingkat NICs dan yang sudah NICs tidak harus diatur kembali
juga? Negara-negara maju justru mendesak kepada negara-negara
NICs ini untuk membuka pasar dalam negerinya, dan mengurangi
proteksinya. Negara-negara yang belum merupakan NICs harus
diberi kesempatan untuk mengekspor lebih banyak ke NICs,
misalnya tekstil kasar, elektronika sederhana, sedangkan
industrialisasi NICs harus maju ke tingkat yang lebih tinggi.
Ini merupakan masalah graduation yang justru dianjurkan oleh
negara-negara seperti AS. GSP untuk NICs ini sebaiknya
berangsur-angsur dikurangi, karena mereka berangsur-angsur harus
memikul tanggungan sebagai negara maju (yang baru).
Sebaliknya, prinsip graduation ini sering ditolak oleh golongan
negara berkembang yang bergabung dalam G-77 oleh karena mereka
merasa dipecah-belah dan tidak mau diadu-domba.
***
Di luar GATT terdapat perjanjian-perjanjian yang mengatur
perdagangan dunia dalam beberapa komoditi, secara khas, misalnya
Multi Fibre Arrangement (MFA), Coffee Agreement, dsb-nya.
Perjanjian-perjanjian ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
GATT mengenai universalitas dan nondiskriminasi. Sering
pelaksanaan perjanjian demikian adalah perundingan bilateral,
seperti dalam MFA. Yang menjadi masalah GATT: Apakah
perjanjian-perjanjian demikian harus diterus}an atau harus
dilebur dalam GATT? Soal praktis yang lebih penting: kapan dan
bagaimana?
***
Negara-negara berkembang--pendekar dalam perjuangan untuk
menegakkan Tata Ekonomi Internasional Baru (TEIB) - sebetulnya
tidak terlalu suka kepada GATT, oleh karena badan ini merupakan
rich men's club. Tetapi (seperti juga IMF dan Bank Dunia)
badan-badan ini kuat, dan pengaruhnya terhadap tata ekonomi
dunia besar.
Maka suatu perjuangan alternatif adalah berusaha untuk memasuki
badanbadan ini dan berusaha mengadakan perubahan dari dalam. IMF
yang dahulu sering dicap "pro-stabilitasi dan antipembangunan
oleh negara-negara berkembang sekarang sudah lebih 'mengerti'
dan akomodatif. Ini mungkin berkat hasil Komisi-20, terdiri dari
menteri-menteri negara kaya dan negara berkernbang, yang pernah
diketuai oleh Menteri Keuangan Ali Wardhana.
Ada apakah terhadap GATT tidak dapat diusulkan juga dibentuknya
suatu Komisi-20 tingkat menteri, terdiri separuh dari negara
maju dan separuh dari negara berkembang, untuk meninjau tata
susunan GATT, agar lebih 'propembangunan'?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini