PANTAI Makassar cukup cantik, lebih-lebih bila senja hari. Tiap
sore, bila udara cerah, dari sini dapat dinikmati matahari turun
di perut Selat Makassar. Tak heran jika banyak juga turis asing
sengaja berderet di pinggir pantai yang terkenal dengan sebutan
pantai Losari itu. Dan bagi warga kota Ujung Pandang sendiri,
pantai ini tetap menarik. Sebab mereka yang ingin mengendorkan
saraf dapat bersantai di tembok yang sengaja dibangun di
sepanjang tepi pantai.
Tepat sebelah tembok yang membatasi air laut dan bumi Makassar,
sejajar dengan pantai, ada jalan yang cukup ramai. Jalan yang
selalu bersih ini disebut Jalan Penghibur. Pada bagian tengah
jalan ini sengaja ditanami pohon nyiur.
Pada bagian utara pantai Losari, sebelum pelabuhan samudera,
berdirilah saksi sejarah masa lalu berupa benteng Ujung Pandang.
Letak benteng ini dari laut hanya diantarai sejengkal tanah dan
Jalan Penghibur. Tanah ini dulu akan dimanfaatkan dengan
mendirikan Sulawesi Beach Hotel. Kabarnya karena pemilik hotel
tersebut di Jakarta "terjungkir" maka tidak jadilah ia
didirikan. Sampai sekarang tinggal pagar dan apan namanya. Bisa
dibayangkan, betapa indah pemandangan lepas ke laut bila hotel
itu jadi berdiri.
Sungai Jeneberang
Di bagian laut yang dangkal, beberapa puluh meter dari tempat
yang akan dijadikan hotel itu, berserakan besi-besi tua. Yakni
kapal-kapal rusak yang sudah tidak ingin dibetuli lagi. Ada yang
sudah tidak berbentuk kapal lagi karena tuanya dan sudah
dihinggapi karang. Ada yang terjungkir dan ada pula yang baru
dibuang. Belum diketahui, apakah kandang kapal ini akan berlaku
terus atau sementara. Yang jelas, dari sudut manapun tumpukan
kapal rusak membuat jelek pemandangan.
Di pantai bagian selatan rupanya terbentuk tanjung baru. Ratusan
meter tanah baru menjorok ke laut. Tanah ini adalah lumpur yang
dibawa aliran sungai Jeneberang. Karena masih baru, tanjung ini
masih gundul belum berumput. Entah bagaimana nantinya, apakah
tanjung tersebut akan digali dan dibuang tanahnya ataukah
dimanfaatkan. Jika akan digali dan dibuang tanahnya, maka akan
diperlukan biaya sangat besar. Dan lagi
akan dibuang ke mana tanah itu? Dibuang ke laut? Sudah pasti
akan menimbulkan pendangkalan baru dan bukan tidak mungkin akan
mengancam pelabuhan. Jalan kedua tentu memanfaatkannya.
Tanjung itu dapat untuk tempat mendirikan perumahan misalnya.
Dengan demikian, pemerintah kota oleh alam diberi hadiah daerah
pemukiman baru. Bila pemanfaatan ini bisa berlangsung, patut
disyukuri hingga tanah yang menjorok tersebut tidak tinggal mati
seperti pemandangan yang dapat dilihat sekarang.
Di bagian daratan pantai Losari sendiri makin terlihat
pembenahan. Sepanjang bagian tengah Jalan Penghibur, di sebelah
timur, berderet toko-toko. Di sini juga ada klab malam terbesar
untuk kota ini dan mempunyai bagian pijit yang tersembunyi di
bagian atas. Di belakang barisan toko ini ada deretan tempat
belanja cukup luas, Somba Opu, nama benteng terbesar di zaman
Sultan Hasanuddin. Siapa yang hendak mencari ukiran Kendari,
cukup disini saja, sebab di daerah asalnya sendiri barang itu
sudah langka.
Di tepi Jalan Penghibur itu dulu ada Pasar Ikan. Sekarang sudah
dipindah ke bagian selatan, lengkap dengan gudang dan ruang
pendingin. Di tempat bekas Pasar Ikan itu kini berdiri bangunan
2 tingkat, juga pertokoan. Salah sebuah di antaranya adalah
restoran cukup terkenal di daerah ini, lengkap dengan ruang
pesta dan bola sodok. Tapi karena sang restoran lama-lama merasa
terlalu sempit, maka ia membuat patokpatok untuk melebarkan diri
ke arah selatan. Perluasan ini ternyata menutupi pandangan ke
laut dari Balai Wartawan yang selama ini selain untuk tempat
berkumpul para kuli tinta juga untuk berbagai pertemuan serta
pesta. Anggota-anggota PWI sedikit marah dan protes. Untung si
restoran mengalah, dan mengalihkan pelebarannya ke arah laut.
Begitulah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini