SEJAK awal bulan Juli ini orang tak bisa sebebas-bebasnya lagi
menelen Bodrex, APC, Coricidin atau katakanlh Refagan untuk
melawan meriang atau sesuatu perasaan lain yang kurang enak di
badan. Departemen Kesehatan, dalam sebuah peraturan yang
dikeluarkannya telah memasukkan Phenacitine, obat-dasar yang
dikandung berbagai macam obat tadi ke dalam ranking obat keras.
Melindungi para penelan obat bebas dan laris selama ini, itulah
kira-kira niat dari peraturan tersebut. Sebab menurut
laporan-laporan yang masuk (tentu saja dari luar negeri)
fenasitin punya efek samping berupa peracunan terhadap ginjal.
Swedia dan Inggeris telah melarangnya. Australia pun berbuat
serupa.
Tentang efek samping yang menyerang ginjal itu, sebenarnya sudah
sejah lama jadi bahan perbincangan para ahli farmasi. Malahan
dengan tambahan bukti yang nampaknya cukup mengagetkan: kanker
pada kandung kemih. Apabila si penderita menjadi pecandu obat
yang mengandung fenasitin dalam jangka waktu yang cukup lama.
Buat Departemen Kesehatan sendiri baru sekali inilah dia
mengeluarkan sesuatu larangan terhadap obat, hanya karena efek
sampingnya. Mungkin dengan pertimbangan bahwa penyakit meriang
atau sebangsanya itu tidaklah fatal. Tetapi obat seperti
Chloroquinon untuk penyakit mencret-mencret, meski pun punya
efek samping berupa kerusakan saraf mata, tetap tak dilarang.
Kebijaksanaan ini ditempuh berdasarkan anggapan begitu banyaknya
kasus penderita mencret-mencret yang salahsalah bisa merenggut
nyawa. Jadi efek samping tadi ditolerir saja, begitulah kira
-kira.
Dengan dimasukkannya fenasitin ke dalam iaftar obat-obat keras,
bukan berarti di pasaran bebas obat anti analgesik kosong.
Mereka yang senang mengobati sendiri bisa memilih obat yang
mengandung Acetosal atau Paracetamol. Meskipun kedua jenis obat
ini tak lepas dari bahaya efek samping juga. Acetosal
mengakibatkan pendarahan lambung dan paracetamol mengganggu
hati. Dua organ yang sama penting. "Baik acetosal maupun
paracetamol belum ada yang melarang di luarnegeri, memasukkannya
ke dalam daftar obat keras juga tak ada. Karena itulah dia masih
diperkenankan dipakai," jawab drs Sunarto Prawirosujanto,
Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan.
Konsumen fenasitin cukup banyak di sini. Antara 100 sampai 150
ton pertahum Karena itu sebelum larangan tadi dikeluarkan,
Depkes masih memberi waktu tiga bulan bagi para produsen untuk
menghabiskan cadangan mereka.
Ada 35 obat yang memakai fenasitin yang beredar di sini. Apakah
mereka akan membuang fenasitin dan memasukkan paracetamol atau
actosal, belum jelas sampai sekarang. "Tapi ada beberapa yang
membiarkan pil mereka tetap mengandung fenasitin. Jadi masuk
obat yang pakai resep," cerita Sunarto. Mereka yang membiarkan
pilnya masuk obat keras nampaknya memang pedagang obat yang
hafal bagaimana keadaan pasar obat di sini. Biar pun masuk obat
keras, para langganan obat tadi bisa saja membelinya di pasaran
secara bebas. "Tugas saya melindungi masyarakat. Soal obat itu
nanti masih bisa dibeli bebas, itu bukan urusan saya. Itu
pekerjaan polisi," tangkis Dirjen kita. Nah tinggal anda
sekarang. Kalau ginjal kuat seperti baja, bolehlah terus dengan
kebiasaan lama walaupun dengan risiko melaulggar peraturan.
Kalau lambung lemah jauhi acetosal. Kalau hati kuat boleh coba
paracetamol. Dua-duanya barang bebas. Cuma tak salah kalau anda
berhati-hati terhadap keduanya, "sebab sebagaimana kata Sunarto,
"obat itu pada dasarnya adalah racun." Terutama kalau dipakai
secara serampangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini