SEBAGAI kota yang praktis baru dibangun sekitar tahun 60-an,
Pekanbaru sempat ditata. Jalan lempang selebar 25 meter, seperti
jalan Sudirman, memang bukan hasil dari kerja gusur sini atau
gergaji sana. Tapi sejak awal sudah disiapkan begitu. Dan masih
ada beberapa jalan utama sejenis itu di kota berhawa panas ini,
seperti jalan Diponegoro yang melintang di samping kantor
Gubernur dan Gedung Daerah.
Cuma, lebar dan panjangnya jalan, kemudian tak sebanding dengan
jumlah kendaraan serta frekwensi arus lalulintas. Apalagi
Pekanbaru seperti diakui banyak kalangan pengusaha terhitung
kota mati yang lambat berkembang. Akibatnya, jalan-jalan lebar
itu sering kelihatan sepi bagaikan hanya dihuni tiang-tiang
listrik. Hanya beberapa jalan saja yang kelihatan hidup, seperti
jalan Sudirman dan Imam Bonjol di kawasan Pasar Pusat. Sementara
jalan Diponegoro misalnya, jalan protokol yang licin mengkilap
itu kurang berarti. Sampaisampai lampu lalu-lintas hadiah PT
Caltex itu mati sendiri tak berfungsi. Kendaraan yang lalu
lalang di sini boleh dihitung dengan jari. Entah mengapa rarnbu
itu mesti ditarok di situ, meskipun masih ada kawasan lain yang
terhitung ramai seperti daerah Pasar Pusat.
Rp 25
Untung saja di Pekanbaru, jenis angkutan ke 4 yang bernama oplet
bisa berkecambah. Sehingga berkat sang oplet ini, Pekanbaru yang
luas itu masih bisa kelihatan sibuk. Inilah alat angkutan umum
satu-satunya yang termurah setelah bendi digusur keluar kota.
Dengan Rp 25 orang bisa ke mana-mana menurut trayek yang ada.
Jumlah oplet itu diperkirakan lebih 500 buah. Tak heran kalau
Pekanbaru dijuluki kota oplet.
Nah, faham akan pentingnya alat angkutan ini, Gubernur Riau
Arifin Akhmad sejak Nopember 1976 mengeluarkan keputusan untuk
melakukan modernisasi oplet. Artinya, semua oplet yang
beroperasi di Pekanbaru harus bikinan tahun 1950 ke atas. Yang
tahun 1950 ke bawah harus keluar dari kota .propinsi ini.
Mengapa begitu? "Demi keselamatan penumpang" begitu kata
Suharjono, Kepala Inspeksi LLAJR Riau kepada TEMPO heberapa
waktu lalu. Lalu dikemanakah oplet-oplet butut itu, sebab
denan penertiban itu berarti lebih dari 100 buah yang harus
disingkirkan.
Tentu saja Suharjono tak akan menghalau begitu saja. Sebuah
kawasan baru disiapkan. "Mereka dioperasikan ke jurusan Kulim,"
kata Suharjono lagi. Artinya, yang termasuk merusak halwa mata
orang kota itu, menjadi bagian orang-orang desa. Babak
selanjutnya, oplet-oplet yang diizinkan tinggal di kota
diharuskan pula mempersolek dirinya. Minimal mengempukkan tempat
duduk. Tidak seperti dulu hanya bangku kayu. Kini, selain bisnis
usaha oplet ini kelihatan meningkat, pun oplet-oplet yang
hilir-mudik pun jauh lebih necis.
Cuma tinggal soal: terminal-terminal oplet mulai sesak. Terutama
terminal di jalan Imam Bonjol di mulut Pasar Sukaramai itu.
Berjubelnya manusia, sempitnya jalan, menyebabkan lalu-lintas
kerap tergendala. Konon ada rencana untuk membangun terminal
baru. Entah di mana, belum jelas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini