DARI penyair yang paling urakan (Sutardji Calzoum Bachri) sampai
dengan yang paling konservatif (Ayip Rosidi?) para seniman hadir
sore S Juli itu. Acara: perpisahan dengan Pj. Gubernur Jakarta
Ali Sadikin. Acara ini, menurut Ketua Dewan Kesenian Jakarta
Ajip Rosidi, adalah tuntutan para seniman, di luar acara resmi
DKJ. Dan ternyata ruang Teater Besar di Taman Ismail Maruki
yang berkapasitas 800 lebih itu memang penuh.
Ali Sadikin merasa dapat penghargaan dengan penuhnya gedung itu.
Sebab, katanya, seniman itu makhluk yang egois dan hanya merasa
karyanya sendiri yang paling baik. Dan, seperti dikatakannya
berulang kali sejak dulu, "paling susah diatur".
Maka memang agak istimewa jika para makhluk yang "egois" itu
pada nongol -- dengan risiko: mereka ini bisa dibilang latah
ikut-ikutan berpisah dengan Bang Ali. Bahkan ikut "latah"
memberikan kenang-kenangan -- yang jika dihitung dari uang saja
bisa banyak sekali. Maklum, Affandi, Sadali, Amri Yahya ikut
memberikan lukisan mereka yang harganya pasti jutaan. Juga cukup
istimewa bahwa dua penyair terkemuka Indonesia, Taufiq Ismail
dan Rendra, membacakan sajak mereka sendiri dalam acara itu,
meskipun Taufiq agak terlalu banyak bicara dan di balik puisi
lucunya ia tak begitu santai.
Kenapa sampai para seniman begitu getol? Mereka biasanya cukup
angkuh untuk menjilat. Dan kalaupun mau, Ali Sadikin tnh tidak
ada gunanya lagi buat dijilat. Maka ditebak-tebak, jawabannya
mungkin karena ini: selama masa Ali Sadikin, mereka merasa dapat
perlindungan. Ali Sadikin sendiri dalam sambutannya jelas jelas
menyebutkan soal "perlindungan" ini. Tak heran jika Rendra
secara khusus menyebutkan rasa terimakasihnya atas kesempatan
yang diberikan oleh Jakarta. "Sebab di kandang saya sendiri"
(maksudnya Yogya), saya kurang mendapat kesempatan itu." Rendra
tak juga dapat mementaskan karyanya di Yogya.
Perlindungan terhadap kebebasan itulah agaknya yang lebih
penting dari segalanya. Termasuk lebih penting dari fasilitas
dan "perhatian". Di daerah lain, dan juga di negara lain
(misalnya RRT, bukan?) fasilitas bisa berlimpah dan mentereng.
Tapi tanpa kebebasan, kegiatan kesenian bakal blingsatan. Juga
perhatian dari "atas" tidak selalu baik. PKI dan LEKRA dulu 'kan
sangat memperhatikan kesenian? Danpejabat yang ikut kasih
perhatian pada kesenian juga mungkin sama dengan mau ikut campur
tangan.
Sayang sekali bahwa dalam acara sore itu grup lenong (antara
lain diisi oleh bintang lenong tenar seperti Bokir, Bu Siti dan
Nazir) masih menyindir-nyindir meminta itu fasilitas. Dan agak
sayang pula bahwa pidato Ajip Rosidi juga terutama menekankan
pasal "perhatian". Menurut Ajip, sejak 32 tahun merdeka, belum
pernah ada penjabat yang mernperhatikan kesenian seperti Ali
Sadikin. Ali Sadikin sendiri kemudian menyebut kata-kata itu
"berlebih-lebihan".
Dalam keadaan agak emosionil seorang hadirin wanita misalnya
menangis, di antara teriakan "Hidup Bang Ali" di teater itu
--memang bisa saja banyak hal "berlebih-lebihan". Di antara para
seniman itu ada pertanyaan yang belum terjawab: apakah setelah
ini Rendra bisa muncul di Jakarta? Juga Teater Kecil yang suka
mengungkapkan kritik sosial, atau Teater Populer jika ia
mementaskan kembali satu karya Bertolt Brecht? Jika tidak bisa,
benarlah pesimisme ini: bahwa masa Ali Sadikin hanyalah suatu
perkecualian dalam sejarah hubungan antara kekuasaan dan
kesenian dalam zaman ini.
Tapi seperti diharapkan banyak orang: mudah-mudahan tidak.
Mudahmudahan Ali Sadikin bukan suatu keanehan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini