Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panwaslu Laporkan Gus Solah

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Panwaslu Laporkan Gus Solah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

NASIB sial menimpa Salahuddin Wahid. Perhitungan suara belum usai, calon wakil presiden dari Partai Golkar itu Jumat pekan lalu dilaporkan Panitia Pengawas Pemilu Jawa Barat ke polisi. Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) menganggap Salahuddin alias Gus Solah dan tim suksesnya melakukan kampanye terselubung saat mengikuti Silaturahmi Akbar Alim Ulama se-Jawa Barat di Hotel Savoy Homann, Bandung, Senin dua pekan silam. ”Kami menemukan alat dan barang bukti awal pelanggaran,” ujar Sekretaris Panwaslu Jawa Ba-rat, Teten Setiawan.

Menurut Teten, sesuai dengan Pasal 4 Keputusan KPU No. 35/2004 tentang Kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, kegiatan itu tergolong kampanye. Dengan ancaman itu, Salahuddin terancam dihukum penjara minimal 15 hari dan maksimal 3 bulan. ”Atau denda Rp 100 ribu hingga Rp 1 juta,” ujarnya.

Petrus Kena Sembilan Tahun Penjara

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Merauke, Papua, memvonis Petrus Adi Kahol, 37 tahun, sembilan tahun penjara potong tahanan. Ia terbukti menyerang hingga mengakibatkan kematian Brigadir Polisi Anwar pada 3 April silam di Kali Buraka, Kampung Yowit, Distrik Bolakma, Kabupaten Merauke, Papua.

Menurut majelis hakim pimpinan M. Sukusno, Kamis pekan lalu, terpidana ikut merencanakan dan melakukan pembunuhan sekaligus menyembunyikan mayat korban. Petrus menebas lengan kiri Anwar dengan parang. Korban, yang sebelumnya terpanah kelompok Petrus, dianiaya sampai tewas. Mereka mengikat dan memberi pemberat batu pada mayat korban, lalu membuangnya ke Kali Buraka. Petrus dijerat dengan pasal-pasal KUHP tentang pembunuhan berencana, penyembunyian mayat, dan kepemilikan senjata tajam. ”Hakim memberikan waktu kepada kami untuk banding,” kata Guntur Ohoiwutun, pengacara terpidana.

Peristiwa diawali penyerangan oleh sekitar 20 orang terhadap petugas pengamanan dan panitia pengawas pemilu yang memasok logistik pemilu legislatif di Kampung Yowit, Distrik Okaba. Penyerang bersenjata panah, tombak, kapak, dan parang. Korban tewas adalah Brigadir Polisi Anwar dan warga bernama Corneles. Delapan warga lainnya yang sempat ditawan akhirnya dibebaskan.

Pemeriksaan Lima Tersangka ’Bom Bali’

TIM penyidik Direktorat Reserse dan Kriminalitas (Reskrim) Kepolisian Daerah Bali memeriksa lima tersangka kasus bom Bali. Mereka adalah Sun bin Kar alias A, Rah alias Yun alias Pu, Sab alias Ros (warga Malaysia), Us bin Sef alias Fah, dan Kom alias Fur alias Mus. Mereka berusia 29 hingga 55 tahun. ”Kami membentuk lima tim penyidik, tiap tim beranggota tiga orang,” ujar Direktur Reskrim, Komisaris Besar I Dewa Made Suharya, Jumat pekan lalu.

Para tersangka tiba di Bali Rabu pekan lalu setelah dicokok Detasemen 88 Anti-Teror Mabes Polri di rumah Subadi, Kampung Kenteng, Sukoharjo, Jawa Tengah, 30 Juni silam. Satu lainnya diperiksa di Markas Besar Polri. Saat menggerebek, polisi menemukan satu revolver berikut peluru, sebilah pedang, buku-buku agama Islam, dan buku pendidikan militer dalam enam kardus.

Menurut Suharya, cuma Sun bin Kar yang terkait langsung dengan bom Bali. Tersangka terlibat karena diduga menyembunyikan Sun. Juga dianggap menyembunyikan Dr. Azahari dan Noordin Moh. Top—dua pentolan kasus bom Bali yang masih buron. Ia juga ikut memasok dana ”proyek” bom Bali dan bom Hotel JW Marriott, Jakarta, serta ikut rapat dengan para pelaku di kawasan Puncak, Jawa Barat, dan Lampung. ”Ia bertemu Azahari dan Noordin dalam dua pertemuan itu,” Suharya memaparkan.

Menurut catatan TEMPO, nama Sun tak ada di berkas perkara para tersangka maupun pengakuan terdakwa di pengadilan. Bahkan beberapa kali polisi salah tangkap, termasuk terhadap Fadli, Abdul Ghoni, Ahmad Roihan, Rudi Hermawan, dan Sarjio, April 2003. ”Polisi memiliki data dan bukti awal untuk menangkap para tersangka,” kilah Suharya.

Surat Edaran Pembawa Celaka

GARA-GARA surat edaran, Kepala Unit Reskrim Kepolisian Resor Sukoharjo, Jawa Tengah, Iptu Agus Subekti, bebas tugas dan dimutasi. Koalisi Peduli Muslim (KPM) menilai surat edaran bernomor SE/85/VI/2004/Sek.Kts yang dikeluarkan Polres Sukoharjo menjelang pemilu kemarin itu sarat dengan unsur SARA.

Surat edaran per 26 Juni itu antara lain berisi ajakan agar warga masyarakat lebih jeli dan waspada terhadap para pendatang berperilaku mencurigakan, yakni ”orang-orang berjubah, bersorban, dan berjenggot panjang”. Mereka juga umumnya membawa koper dan melakukan kegiatan keagamaan, secara tertutup ataupun terbuka, serta berkendaraan berpelat nomor luar Kota Solo. Warga lalu diminta melapor ke polisi jika memergoki jenis orang-orang ini.

KPM pun geram. ”Itu potensial memicu konflik horizontal akibat saling curiga antar-masyarakat,” kata Muhammad Taufik, Koordinator KPM. Selain itu, Taufik menuding polisi sengaja memprovokasi masyarakat. ”Masa, semua orang bersorban atau berjenggot dan membawa tas lalu disebut teroris,” ujarnya.

Cepat tanggap, Wakil Kepala Polres Sukoharjo, Komisaris Polisi Marsito, mengatakan pihaknya telah mencabut edaran itu dari tempat-tempat umum. Ia juga berjanji akan memberi sanksi berupa pencopotan jabatan kepada mereka yang terlibat pembuatan edaran. ”Kami menyampaikan permintaan maaf kepada masyarakat, khususnya umat Islam atau kelompok lain yang kurang berkenan dengan edaran tersebut,” kata Marsito.

Sriyanto Dituntut 10 Tahun Penjara

SRIYANTO, Komandan Jenderal Kopassus, dituntut hukuman penjara 10 tahun untuk kasus pelanggaran berat hak asasi manusia dalam peristiwa Priok. Menurut jaksa penuntut umum, Darmono, dalam pengadilan ad hoc hak asasi manusia Kamis pekan lalu, terdakwa Sriyanto, yang pada saat kekejian 12 September 1984 itu menjabat Kepala Seksi 2 Operasi Kodim 0502 Jakarta Utara, ”terbukti secara sah ikut serta dalam tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan.”

Bersama Sriyanto, ke-13 bekas anggota Regu III Artileri Pertahanan Udara Sedang-6 (Arhanudse-6) Kodim 0502 juga dituntut hukuman sama. Mereka adalah (dengan pangkat saat ini) Kapten Sutrisno Mascung, Kopka Asrori, Kopka Siswoyo, Serma Siswoyo, Letda Zulfata, Serka Sumitro, Serka Sofyan Hadi, Kopka Prayogi, Kopka Winarko, Kopka Idrus, dan Serda Muhson. Dua lainnya, Pratu Parnu dan Prada Kartijo, hingga kini tak diketahui keberadaannya.

Para terdakwa dinilai bertanggung jawab atas jatuhnya korban pada peristiwa di Jalan Yos Sudarso, depan Markas Polres Jakarta Utara, 20 tahun silam itu. Sriyanto waktu itu mengantarkan Regu III Arhanudse-6 Kodim 0502 Jakarta Utara yang diperbantukan (BKO) ke Polres Jakarta Utara. Pasukan bersenjata lengkap berpeluru tajam serta bayonet itulah yang kemudian bentrok dengan massa pimpinan Amir Biki, tokoh masyarakat setempat. Di sana, Biki dan 30-an orang lainnya tewas.

Menurut Darmono, Sriyanto bersama 13 anggota pasukan seharusnya mempunyai waktu dan kesempatan cukup untuk berpikir dan menimbang akibat-akibat bentrokan nantinya. Namun, ia justru tetap menghadang massa dengan senjata berpeluru tajam. Perbuatan ini, menurut Darmono, menunjukkan adanya tindakan perencanaan dari Sriyanto, sesuai dengan Pasal 340 KUHP. ”Tindakan menembak massa terbukti secara sah dan meyakinkan merupakan tindakan yang menghilangkan atau merampas nyawa orang,” katanya.

Para terdakwa menolak tuntutan itu. ”Banyak hal yang tidak diungkap dalam tuntutan tadi,” kata Sriyanto. Menurut pengacaranya, Yan Djuanda Saputra, Sriyanto saat itu tidak lebih hanya mengantar pasukan ke Polres Jakarta Utara. Pengacara Sutrisno, Burhan Dahlan, juga menolak tuntutan karena dari seluruh keterangan tidak satu pun menerangkan adanya unsur rencana terdakwa ini melakukan penembakan.

Dianiaya Setelah Mencoblos

Rasa sukacita mestinya mengiringi pemilihan umum presiden kali ini. Inilah pemilu pertama presiden di republik ini yang dilakukan secara langsung oleh rakyatnya. Termasuk oleh Ika, 35 tahun, warga Desa Patrolsari, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Namun rasa sukacita Ika hanya sekejap. Tak berselang lebih dari 24 jam dari waktu pencoblosan, ia bersama tujuh warga lainnya dianiaya oleh Sertu Kusnadi, seorang anggota bintara pembina desa (babinsa).

”Ika korban yang paling parah. Gendang telinga sebelah kiri rusak karena bogem si Babinsa tepat mendarat di telinganya,” kata Deky Hisyanto, pendamping korban yang juga pemantau pemilu dari STIE Bandung. Menurut Deky, penganiayaan ini dipicu kekecewaan Kusnadi karena kedelapan warga itu tidak memilih calon presiden dari militer.

Hingga Sabtu pekan lalu, Kepolisian Resor Bandung masih terus memeriksa semua saksi dan korban. Sedangkan Kusnadi dikabarkan sudah diperiksa komando distrik militer setempat. Menurut Kepala Satuan Reserse Polres Bandung, Anisuloh, kasus ini diserahkan ke Polisi Militer pada Senin pekan ini. Ketua Panitia Pengawas Pemilu Jawa Barat, Adjat Sudradjat, menyerahkan sepenuhnya kasus ini kepada kepolisian. ”Meski berbau pemilu, ini murni masalah pidana,” katanya singkat.

Golput ’Menang’

ADA ”pemenang” baru dalam pemilihan presiden dan wakil presiden 5 Juli lalu. Namanya: golongan putih alias golput, sebutan bagi mereka yang abai akan hak pilihnya. Jumlahnya cukup besar dan ada di banyak daerah di Tanah Air. Di Jember, Jawa Timur, misalnya, jumlah pemilih golput mencapai 24 persen alias 356.507 suara. Di Malang, golongan abstain ini bahkan menempati peringkat kedua, mengalahkan pemilih Megawati, dengan 161.203 orang (26,81 persen) dari total 601.203 pemilih.

Juga di Solo. Bahkan, di salah satu tempat pemungutan suara (TPS) di Al-Mu’ayad, dari 238 pemilih terdaftar, hanya 23 orang yang mencoblos. Di Surabaya, Medan, dan Lampung lebih gawat. Pemilih golput mencapai 30-50 persen dari total pendaftar—menjadikan mereka ”pemenang” pemilu kali ini. Namun, di Jakarta, pemilih golput malah turun. ”Sekarang 1,5 juta, turun dibanding pemilu le-gislatif, 2 juta,” kata Ketua KPU DKI Jakarta, Mohammad Taufik.

Mengapa golput mewabah? Tokoh Nahdlatul Ulama di Jember, Misbahus Salam, menyatakan golput yang meramai di basis NU terpengaruh oleh sikap Ketua Dewan Syuro PKB, Abdurrahman Wahid. Namun, kata Nelly Armayanti, Ketua KPU Medan, ada yang sengaja memilih di kampung, ada pula yang kehilangan selera dengan semua kontestan.

Koordinator Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Gunawan Hidayat, mencemaskan fenomena ini, yang mungkin menjangkit pada pemilu putaran kedua, September. ”Banyak yang merasa tidak perlu ikut pemilu karena merasa tidak akan membawa perubahan apa pun dengan pemilu,” katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus