Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak putus-putusnya Pertamina dirundung kesulitan keuangan. Baru mencoba mengurangi beban dengan menjual super-tanker yang sedang dibuat di galangan Korea, hampir saja gagal karena nyaris disita penagih utang yang mengejar-ngejar Pertamina ke seluruh dunia. Penjualan kapal tanker itu sendiri bermasalah karena oleh Komisi VIII DPR dianggap sebagai kebijakan yang salah dan dicurigai ada yang tidak beres dalam prosesnya. Semua kesulitan yang dialami Pertamina mencerminkan pengelolaan yang tidak bertanggung jawab di masa lalu, yang kelihatannya belum banyak berubah sampai sekarang.
Penagih utang yang akan menyita tanker Pertamina itu adalah Karaha Bodas Company (KBC), yang menuntut Pertamina membayar US$ 261 juta. Pada 7 Juli lalu KBC minta pengadilan Korea Selatan menetapkan sita atas harta yang berutang padanya, Pertamina, berupa kapal tanker yang berada di galangan Hyundai Heavy Industries di negeri itu. Padahal Pertamina telah menjual dua buah kapal tanker raksasa yang belum selesai dibuat tersebut kepada perusahaan lain, Frontline Ltd., yang serah-terimanya dilangsungkan 9 Juli lalu.
Keputusan menjual kedua kapal VLCC (very large crude carrier) pesanan PT Pertamina itu sebelumnya telah menimbulkan heboh di Indonesia sendiri. Kontroversi yang pertama ialah mengenai apakah lebih menguntungkan memiliki sendiri tanker raksasa atau lebih ekonomis menyewa dari pihak di luar Pertamina. Pro dan kontra tentang hal ini belum usai. Masalah kedua ialah apakah menjual aset Pertamina memerlukan izin Menteri Keuangan sebagai pemegang harta negara, yang juga harus diawasi DPR, atau tidak. Penafsiran tentang ini juga diperdebatkan karena di satu pihak Pertamina sebagai badan usaha milik negara dianggap merupakan harta negara yang sudah dipisahkan, namun di pihak lain ternyata prosesnya belum sepenuhnya tuntas.
Yang juga diributkan ialah cara penjualan yang ditempuh, misalnya soal menunjuk penasihat keuangan Goldman Sachs tanpa melalui tender. Bisa dimengerti bahwa segala sesuatu mengenai transaksi Pertamina selalu menyulut kecurigaan, selain karena menyangkut jumlah uang yang besar juga karena praktek yang biasa dilakukan selama ini tidak dikenal sebagai bersih dan lurus.
Tagihan utang yang dituntut KBC sedikit-banyak juga cermin dari akibat ketidakberesan yang terjadi dengan Pertamina. KBC menuntut ganti rugi karena pada masa krisis 1997 pemerintah membatalkan kontrak proyek tenaga panas bumi di Karaha, Jawa Barat. Oleh lembaga arbitrase internasional di Swiss, gugatan KBC dimenangkan. Klaim yang diajukan US$ 613 juta, yang dikabulkan dan harus dibayar Pertamina US$ 261 juta. Di dalamnya banyak cerita tentang mark-up, walau tidak semua bisa dipastikan dan dibuktikan.
Perselisihan tagih-menagih KBC melawan Pertamina menempuh jalan hukum panjang dan berliku-liku. Rekening Pertamina di bank-bank Amerika dibekukan, dan melalui pengadilan Singapura dan Hong Kong aset Pertamina diminta agar disita sebagai pengganti utang yang belum dibayar. Kalau ini terlaksana, kondisi keuangan Pertamina yang memang sudah payah akan sangat dipersulit.
Sekarang Pertamina bisa mengatakan, untung kapal tanker itu segera dijual, kalau tidak tentu akan jadi korban sitaan KBC. Namun, itu pun belum tentu bebas dari rongrongan, selain masih banyak aset Pertamina di luar negeri yang harus diamankan dari kejaran KBC. Pertamina masih akan menghadapi bahaya keruntuhan hanya akibat kurangnya akuntabilitas pengelolaan perusahaan milik negara ini. n
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo