Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Lebih Hebat dari Debat Calon Presiden

Klub debat bahasa Inggris di SMU semarak. Indonesia akan mengirim empat delegasi ke lomba debat dunia.

12 Juli 2004 | 00.00 WIB

Lebih Hebat dari Debat Calon Presiden
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

LAYAKNYA debat kandidat presiden, siswa-siswa SMU itu beradu argumen. Topiknya dari masalah narkoba, AIDS, hingga soal politik. Berbeda dengan para calon presiden, anak-anak muda ini "bertengkar" dalam bahasa Inggris.

Kontes Indonesian Schools Debating Championship 2004 itu berlangsung akhir Juni lalu. Diikuti 114 siswa dari beberapa kota, kompetisi tadi mencetak delapan juara. Separuh dari mereka akan berlomba di World Schools Debating Championship di Kanada pada awal 2005.

Sebelum ke adu debat dunia, mereka berlatih lama. Kata pelatih tim debat Indonesia, Enda Ersinasal Ginting, mereka akan melakukan online training. Sebab, domisili delapan orang tadi tersebar: Jakarta, Yogyakarta, dan Bengkulu. Melalui e-mail, tiap hari mereka menerima bahan bacaan dan topik-topik. "Latihan debat langsung baru dilakukan Oktober mendatang di Jakarta," kata Enda.

Ini pengiriman jago debat Indonesia ke lomba tingkat dunia yang kelima kali. Yang pertama ke Johannesburg, Afrika Selatan. "Saat itu kita meraih gelar tim terbaru terbaik atau best new comers," kata Enda. Saat ini Indonesia masuk peringkat 11 dari sekitar 30 tim peserta. Targetnya, dua tahun mendatang Indonesia harus juara.

Kecakapan siswa berdebat tidak lepas dari pengalaman mereka dalam klub debat di sekolah masing-masing. Memang, sejak adanya lomba debat bahasa Inggris, sejumlah sekolah membentuk klub debat bahasa Inggris. Kata Enda, pembentukan klub debat SMA pertama kali dilakukan di SMU 34 dan Kanisius College, Jakarta.

Tahun ini, dua wakil dari SMU 34 Jakarta masuk pemusatan latihan. Tirza Reinata dan Dewi Wijayanti mengaku terlibat debat sejak kelas satu di sekolahnya lewat program ekstrakurikuler. Di sekolah, kata mereka, program ini sepopuler bola basket.

Sementara itu, Siti Soraya Cassandra, siswi SMU Al-Izhar Jakarta, meraih peringkat tertinggi untuk individu dalam kontes nasional ini. Dia menyiapkan diri 10 bulan, ditambah bantuan klub debat di sekolahnya yang tiap minggu membahas berbagai topik sederhana, dari manfaat membuang sampah di tempatnya hingga soal keseharian lainnya. Motivasi Siti melonjak karena kakaknya, Astrid Kusumawardhani, menjadi wakil Indonesia di tingkat dunia sebelumnya, di Stuttgart, Jerman, dua kali berturut-turut.

Lukman Hanif Arti, wakil dari SMU 1 Balikpapan, mengaku klub debat di sekolahnya belum terorganisasi. Meskipun sekolahnya juga mengadakan ekstrakurikuler debat bahasa Inggris, mereka tidak dipersiapkan khusus. Katanya, ia terbiasa berbahasa Inggris hingga lumayan fasih.

Meski dari coba-coba, Lukman ternyata tidak mengecewakan. Tim dari Balikpapan berhasil lolos hingga babak final nasional. Mereka kalah karena gagal memberikan contoh yang diinginkan juri sebagai pendukung argumentasi. "Dalam berargumen, Anda harus didukung data, contoh, dan fakta," kata John Long, salah satu juri kompetisi tingkat nasional. John sendiri pemenang kompetisi debat tingkat master taraf dunia 1998.

Menurut Ria Nuri Darmawan, Direktur Eksekutif Association for Critical Thinking, klub debat di Indonesia lahir dari kalangan perguruan tinggi. Lembaga nirlaba yang dipimpinnya ini membantu Departemen Pendidikan Nasional melatih para siswa sebelum ikut lomba dunia. Menurut dia, klub debat pertama di Jakarta terbentuk enam tahun lalu. Setahun kemudian, Universitas Indonesia menyelenggarakan Indonesian Varsity English Debate pertama.

Saat ini, kata Ria, para penggiat debat mengharapkan membudayanya debat. "Seperti di Filipina. Mereka sudah maju sekali," katanya. Debat di Filipina sepopuler bola basket. Remaja Singapura bahkan sudah berani menantang Australia, yang hampir selalu meraih gelar juara debat tingkat dunia, seperti tahun lalu di Peru. Siswa Australia juga sempat menantang Amerika Serikat dan Inggris. Kontes debat mereka, baik di tingkat nasional maupun dunia, menyerupai debat parlemen Inggris—yang bisa berlangsung berjam-jam, sementara perdana menteri harus terus berdiri hingga mosi diterima atau ditolak.

Andi Alfian Mallarangeng, salah satu juri lomba debat nasional, menilai debat para siswa itu lebih bagus daripada debat calon presiden di televisi. Sebab, argumentasi siswa-siswa kelas dua SMA ini lebih berisi. "Mereka bahkan lebih jago dari saya saat seusia mereka," pengamat politik itu mengaku.

Agung Rulianto, Yophiandi, Rina Rachmawati


Bersilat Lidah Jepang

SELAIN debat dalam bahasa Inggris, lomba pidato dalam bahasa Jepang sudah menjadi kegiatan rutin. Berlangsung di Hotel Sahid Jaya Jakarta, lomba ini diikuti 14 mahasiswa jurusan bahasa Jepang yang telah diseleksi dari lomba serupa di tingkat daerah. Acara tahunan yang digelar The Japan Foundation itu berlangsung Sabtu dua pekan lalu.

Seharusnya, menurut Apin Supinah, yang menjadi ketua program ini, seperti tahun-tahun sebelumnya, mereka menyelenggarakan lomba untuk tingkat SMU. Namun tahun ini absen karena banyak sekolah di daerah yang menolak mengirimkan anak didiknya. "Pihak daerah agak keberatan karena ada pemilihan umum," kata Apin pekan lalu.

Lomba pidato bahasa Jepang ini telah berlangsung 33 kali. Pertama digelar pada 1970, pesertanya berasal dari kalangan mahasiswa yang belajar bahasa Jepang. Menurut Apin, penilaiannya bukan hanya berdasarkan tema, susunan, dan penyampaian pendapat dalam pidato. Mereka harus lulus dari tanya-jawab seusai pidato. "Dari situ kita bisa tahu apakah anak ini benar-benar mampu berbahasa Jepang atau tidak," ujar Apin.

Sebagai hadiah, dua pemenang lomba akan dikirim ke Jepang untuk mengikuti kontes pidato bersama wakil negara Asia Tenggara lainnya. "Lamanya tujuh hingga sepuluh hari," kata Apin. Namun kontes itu bukan mencari pemenang. Tujuannya lebih pada pertukaran kebudayaan dan pengetahuan. Mereka bisa lebih meningkatkan kemampuan berbahasa Jepang dan memperkenalkan sosial-budaya dan kebiasaan masyarakat masing-masing.

Salah seorang pemenang lomba tahun ini adalah Wayan Nurita, 36 tahun, mahasiswa diploma Sekolah Tinggi Bahasa Asing Saraswati, Denpasar. Bapak tiga anak yang mengaku nekat ikut lomba itu sempat keder saat melihat para pesaingnya dari kalangan mahasiswa yang berusia jauh lebih muda. Supervisor Japanese guest relations di Hotel Hilton Bali ini bersama pemenang kedua, Dani (mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung), September nanti akan berangkat ke Tokyo sebagai wakil Indonesia dalam ASEAN Speech Contest. "Kalau menghadapi orang Jepang, saya lebih pede (percaya diri). Disuruh menghadapi orang Indonesia, saya justru gemetaran," ujarnya.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus