Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tim uji klinis vaksin Covid-19 berkejaran dengan tenggat yang ketat.
Mereka harus mengatasi berbagai masalah selama uji klinis berlangsung.
Kini mereka berfokus menangani vaksin booster dan vaksin Merah Putih.
LUCIA Rizka Andalusia mengingat pertengahan 2020 sebagai tahun tanpa tanggal merah. Sebagai direktur registrasi obat dan kemudian direktur standardisasi obat di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), ia mendapat tugas menjadi inspektur pelaksanaan uji klinis CoronaVac, vaksin Covid-19 bikinan Sinovac Biotech dari Cina. Pengadaan vaksin ditangani PT Bio Farma dan uji klinisnya oleh tim riset Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CoronaVac memakai metode konvensional dalam pembuatan vaksin, yaitu dengan virus yang dilemahkan. Namun vaksin ini perlu diuji klinis dulu untuk menentukan kemujaraban atau efikasinya. Data hasil uji itulah yang kemudian menjadi pertimbangan BPOM dalam memberikan persetujuan penggunaan darurat (EUA).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan angka kasus infeksi yang terus bertambah, pemerintah ingin proses uji klinis dipercepat. Saat pengujian dimulai pada 11 Agustus 2020, jumlah infeksi di Indonesia sudah menembus 37 ribu dengan lebih dari 5.000 kematian. Uji klinis ditargetkan rampung pada akhir Desember 2020 agar vaksin bisa dipakai pada Januari 2021. BPOM juga memperpendek masa pemeriksaan hasil uji klinis, dari 150 hari di masa normal menjadi 20 hari pada saat pandemi.
Tenggat yang ketat itu berdampak pada cara kerja tim riset Universitas Padjadjaran pimpinan Kusnandi Rusmil dan BPOM. “Tidak ada akhir pekan, tidak ada libur,” kata Lucia dalam wawancara pada Senin, 13 Desember lalu. Dia menjadi juru bicara vaksinasi Covid-19 sebelum menjabat Direktur Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan sejak Sabtu, 18 Desember lalu.
Manajer tim riset Universitas Padjadjaran, Eddy Fadlyana, mengatakan uji klinis ini melibatkan 100 orang, terdiri atas sekitar 20 dokter dan sisanya perawat serta petugas administrasi. Uji klinis dilaksanakan di enam pusat kesehatan masyarakat dan pusatnya berada di Rumah Sakit Dr Hasan Sadikin, Bandung. Sebelumnya tim membuat protokol uji klinis yang harus disetujui BPOM. Sembari melengkapi kebutuhan itu, rekrutmen relawan uji klinis dimulai. Targetnya 1.620 orang.
Manajer Lapangan Uji Klinis Vaksin Covid-19 Eddy Fadlyana (kanan) saat jumpa pers uji klinis vaksin Covid-19 di Rumah Sakit Penddikan Unpad, Bandung, Juli 2020. REPUBLIKA/Abdan Syakura
Tim riset sempat ragu ada orang yang mau menjadi relawan. Saat itu banyak beredar hoaks dan komentar miring tentang vaksin. Juga ada anggapan bahwa para relawan akan diperlakukan seperti “kelinci percobaan”. Di luar dugaan, yang bersedia menjadi relawan ternyata sangat banyak. “Membeludak,” tutur Eddy pada pertengahan Desember lalu. Waktu pendaftaran yang disiapkan sebulan malah dapat ditutup lebih cepat. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menjadi salah satu relawan.
Uji klinis Sinovac di Bandung itu merupakan pengalaman pertama bagi Indonesia. Ada upaya coba-coba dan kendala di sana-sini. Menurut Eddy, salah satu masalah adalah ketidakcocokan data yang disampaikan relawan saat mengikuti uji klinis. Misalnya, mereka yang bisa mendaftar sebagai relawan adalah yang tak memiliki penyakit bawaan (komorbid). Namun, “Ketika sudah masuk ke penelitian, penyakitnya ternyata macam-macam. Akhirnya dia dikeluarkan,” ucapnya.
BPOM, kata Lucia, juga mencatat hal lain dalam pelaksanaan uji klinis. Salah satunya kendala dalam teknik pemeriksaan antibodi netralisasi. Pemeriksaan ini bertujuan mengecek apakah antibodi yang terbentuk itu untuk SARS-CoV-2 atau tidak. “Hasil pemeriksaan sempat mau kami kirim ke Cina, ke pabrik Sinovac, untuk pemeriksaan antibodi ini,” ujarnya. Langkah itu tak jadi diambil karena ternyata pemeriksaan bisa dilakukan di dalam negeri.
Lucia Rizka Andalusia di kantor BPOM, Jakarta. Dok. Pribadi
Kendala lain adalah terbatasnya lembaga yang bisa memeriksa hasil uji klinis, dari tes reaksi berantai polimerase (PCR) hingga antibodi netralisasi tersebut. Saat itu fasilitas tersebut baru ada di laboratorium Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan serta Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Jakarta, tapi kapasitasnya tidak besar. Juga ada kesulitan dalam mendapatkan reagen, bahan kimia yang dibutuhkan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 di sampel.
Sebagai inspektur, Lucia mendapati soal lain. Salah satunya masalah dalam pemasukan data dan keterlambatan pemeriksaan. Relawan biasanya menjalani pemeriksaan kesehatan dulu dan dites PCR sebelum disuntik dengan vaksin Sinovac, yang saat itu didatangkan Bio Farma dari Cina sebanyak 2.400 dosis. “Kadang ada yang terlewatkan. Ada juga soal salah input data. Soal itu segera dikoreksi. Alhamdulillah, tidak ada yang kritis,” ucapnya.
Bagi Eddy, salah satu yang membuatnya deg-degan adalah tenggat yang ketat dan keinginan pemerintah mempercepat proses uji klinis. Dalam sebuah pertemuan dengan tim riset, Presiden Joko Widodo menanyakan kemungkinan uji klinis selesai dalam tiga bulan dari rencana enam bulan. Menurut Lucia, berdasarkan kalkulasi saat itu, tenggat yang masuk akal adalah Desember 2020.
Pelaksanaan uji klinis akhirnya sesuai dengan rencana. Hasil uji klinis selama tiga bulan itu diserahkan ke PT Bio Farma, yang kemudian menyampaikannya ke BPOM. “Hasilnya bagus dan datanya bisa digunakan untuk menunjukkan khasiat vaksin tersebut,” kata Lucia. BPOM menyatakan vaksin tersebut aman dengan tingkat efikasi 65,3 persen. Meski tergolong kecil, angka itu masih di atas ambang batas yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO), yaitu minimal 50 persen.
Berdasarkan hasil tersebut, BPOM lantas menyetujui penggunaan vaksin itu dalam kondisi darurat pada 11 Januari 2021. Dengan kata lain, vaksin bisa dipakai dan diedarkan untuk disuntikkan guna melawan Covid-19. Suntikan pertama vaksin Sinovac diberikan pada 13 Januari 2021 kepada Presiden Jokowi.
Seusai uji klinis Sinovac, Eddy dan timnya melanjutkan penelitian mengenai vaksin penguat (booster). Begitu juga dengan tim BPOM. Tugas mereka berikutnya adalah mengawal pembuatan vaksin Merah Putih, vaksin Covid-19 dalam negeri yang pendanaannya didukung Kementerian Kesehatan serta Badan Riset dan Inovasi Nasional.
Ada sejumlah kampus dan lembaga penelitian di Indonesia yang ikut dalam konsorsium vaksin Merah Putih. Yang sudah mencapai banyak kemajuan adalah Universitas Airlangga, Surabaya, yang bekerja sama dengan PT Biotis Pharmaceuticals. “Tugas BPOM mendampingi supaya para peneliti dapat mengembangkan vaksin sesuai dengan standar,” tutur Lucia.
Proyek vaksin Merah Putih Universitas Airlangga dipimpin oleh Fedik Abdul Rantam. Ketua tim uji klinisnya Dominicus Husada. Seperti Sinovac, vaksin ini dibuat menggunakan virus yang dilemahkan. Saat ini prosesnya sudah dalam tahap akhir uji praklinis pada hewan besar makaka. “Laporan uji klinis pada hewan sedang dikaji oleh BPOM untuk menentukan apakah vaksin tersebut sudah layak diuji klinis ke manusia,” kata Dominicus. Sejauh yang ia ketahui, hasil uji praklinis cukup bagus.
Pendampingan dari BPOM, Lucia menambahkan, tidak hanya berupa pengawasan uji klinis, juga kesiapan sarana produksi vaksin PT Biotis agar memiliki sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik. Dia menaksir vaksin Covid-19 buatan Universitas Airlangga mulai menjalani uji klinis pada awal Februari 2022 dan bisa diproduksi enam bulan kemudian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo