Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sup Konro dan Teh Jawa

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rahayu Supanggah tertawa ketika seseorang berseloroh ia sudah menjadi orang Sulawesi. Sering lulusan Sorbonne ini menata musik untuk tari. Pada 1998, di Hanoi, Vietnam, ia menata musik Realizing Rama, sebuah kolaborasi Indonesia-Thailand-Filipina bersama koreografer Denisa Reyes (Filipina) dan libretto Nicanor G. Tiongson. Kolaborasi yang kemudian berpentas di Berlin, London, Luxemburg, Brussels. Tapi baru pertama kali ini ia lepas dari kejawaannya.

Untuk La Galigo, ia bertolak dari roh musik Sulawesi. Sebagai persiapan, ia melakukan perjalanan ke Sulawesi, dari sanggar ke sanggar, memilih mayoritas pemain. Desember 2003, di Purnati Art Center, Batuan, Bali, para pemain Sulawesi yang ditunjuknya datang membawa berbagai instrumen Bugis, Makassar, Mandar, Toraja—dari kacapi, pui-pui (alat tiup seperti trumpet reog), gendang pakarena, gendang Toraja, basing-basing (mirip serunai bambu), sampai kesok-kesok yang seperti rebab.

Waktu itu Puang Matowa Saidi, pendeta tertinggi bissu, datang ke tempat latihan membawa sebuah bungkusan kuning kumal. Hati-hati ia membuka bungkusan berisi peralatan musik yang biasa digunakan dalam upacara. Ada bentuk parang besi ana bacing, bentuk simbal kancing, lalu perkusi bambu lae-lae.

Robert Wilson memberi Rahayu Supanggah kebebasan. Adegan dimulai, langsung Wilson meminta musik Panggah yang sensitif. Musisinya 7 orang Sulawesi, 2 orang Minangkabau, 2 Jawa, dan seorang Bali. Setiap pukulan, tiupan, atau gesekan suling gambuh, rebab pasisi, saluang, sarompak, atau kendang pemain muncul dominan, Panggah menghentikannya. Instrumen Jawa, Bali diperlukannya hanya untuk memberi aksen—bumbu dramatik pada suasana. "Ibarat makan, menu utamanya sup konro, tapi minumnya teh Jawa," ujarnya.

Saat itu juga Supanggah sadar, kekuatan Sulawesi sesungguhnya juga terletak pada vokal. Di samping karakter suara bissu yang membaca teks La Galigo seperti meratap, pelbagai daerah di Sulawesi memiliki nyanyian berkarakter liris. Zamratul Fitria, Hamrin Salad, dan Abdi Bashit, para musisinya, memiliki kemampuan menyanyi luar biasa. Mereka yang berasal dari Bugis cenderung nadanya lembut naik, naik ke atas. Akan halnya daerah lautan macam Selayar lebih berkelok-kelok.

Pulang dari latihan, Panggah langsung mengirim salah satu penyanyinya, sinden dari Jawa, Sukesi, untuk belajar lagu-lagu rakyat Sulawesi. Kebetulan salah satu anggota Panggah, Daeng Basri Baharuddin Silla, juga pernah melakukan survei lagu-lagu rakyat di Bulukumba. Panggah tertarik pada sinrilik, sejenis sastra tutur yang ada di Makassar—dilantunkan setengah baca, setengah nyanyi. "Saya meminta mengumpulkan banyak stok lagu untuk mengantisipasi keinginan Wilson," kata Panggah.

Pada latihan kedua, September 2003, lagu-lagu rakyat Toraja, Selayar, Buton banyak digunakan. Pernah Panggah membagi musisinya menjadi lima kelompok. Masing-masing menggumamkan abjad -abjad silabis dari lontar. Masuk satu per satu dengan tempo berbeda. Dilatari suara rintihan vokalis Zamratul Fitria yang menyanyikan kajang, lagu kematian dari daerah Bulukumba.

Panggah menjauhi komposisi yang rumit—meski itu tak berarti ia tanpa eksperimentasi. Suatu saat ia menyuruh empat pemain musiknya, dengan instrumen masing-masing, mengikuti gerak lain-lain aktor. "Tabrakan-tabrakan menjadi komposisi menarik tanpa saya membuat komposisi sendiri," tuturnya. Ia juga pernah menyuruh lima musisinya memainkan rebab dengan nada berbeda, tapi masing-masing hanya menggesek satu nada.

Terakhir latihan di Singapura, Wilson masih menginginkan banyak perubahan musik. Panggah akomodatif. Komposisinya selang-seling antara rintihan tunggal, gemuruh musik, dan sepi. "Saya suka, musik Panggah sangat variatif sekali," kata Philip Yampolski, musikolog. Tidak dapat dikatakan bagus sekali, tapi cukup membanggakan.

Sebelum berangkat ke Singapura, komposisi La Galigo Panggah direkam dan diterbitkan dalam bentuk CD oleh Change Performing Arts. Di situ ia menambah nyanyian dari Raha, sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, dari Desa Sawerigading. Panggah juga memutuskan untuk menyesuaikan liriknya. Mulanya, syair lagu-lagu rakyat itu tidak ada hubungannya dengan teks Galigo. Syair itu lalu diganti dengan kata-kata dalam La Galigo, sementara nadanya dipertahankan.

Dengarkan ledakan asmara ini:…Natallo riyo Sawerigading…(gembira sekali Sawerigading), ie polsengi riyaro piceng… (mendekap dada lebar istrinya), nasulai kuwa tanriangeng (mengusapnya bagai ayam sabungan)….

Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus