URUSAN perut bisa mengundang "tari perut". Ini terjadi di Pasar Partisipasi, di jantung Kota Aeknabara, Kecamatan Bilah Hulu, Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara, sehubungan dengan rencana pemerintah daerah yang didukung keputusan DPRD, untuk menyulap pasar itu menjadi sekitar 20 rumah toko. Jadi, 48 kios permanen di situ harus digusur. Aeknabara perlu didandani untuk menjadi Ibu Kota Kecamatan Bilah Hulu. Selama ini ibu kotanya Rantauprapat -- 20 km dari sana -- yang Oktober tahun lalu menjadi kota administratif. "DPRD memutuskan mengganti pasar itu untuk keindahan kota," kata Aman Saragih Sidauruk. Menurut Ketua DPRD Labuhanbatu itu, ini sesuai dengan permintaan pedagang, bukan keputusan sepihak dari DPRD. "Kok sekarang malah mereka yang ribut?" ujarnya. "Bohong, pembangunan pasar ini tidak pernah dimusyawarahkan dengan kami. Kini pasar mau dibongkar dan diganti dengan rumah toko," kata Sinta Hotmauli Boru Sijabat, juru bicara pedagang. Menurut dia, mereka seharusnya diajak membicarakan pembongkaran itu. "Kalau ya, bagaimana proses selanjutnya, kredit kek, apa kek," katanya. Pertengahan Agustus lalu, ribut mulut tersebut sempat diwarnai atraksi "tari perut". Drama deru campur haru itu terjadi di tengah orang berbelanja pukul dua siang. Suasana jadi hiruk dengan munculnya mobil pemadam api, meski di sana tidak ada kebakaran. Bersamaan dengan itu, petugas dari Dinas Pasar dikawal petugas keamanan polisi dan tentara -- menghalo-halo pedagang supaya menyingkir, karena pasar mau dibongkar. Sejumlah petugas siap masuk lokasi, lengkap dengan martil dan linggis. Mereka diempang sekitar 30 pedagang, sebagian inang-inang (wanita pedagang) yang mengacungkan poster. "Putusan DPRD tak adil, pedagang tidak pernah diajak musyawarah," bunyi sebuah poster. Untuk menghadapi aksi itulah rupanya perlu mobil pemadam api tadi. Air disemprotkan ke arah pengunjuk rasa. Namun mereka tak bergeming. Bahkan di tengah guyuran air itu inang-inang membuka baju hingga tinggal celana dalam dan beha. Melihat ini, lima inang-inang lainnya juga membuka baju. Dalam basah kuyup mereka menari-nari seraya berteriak, "DPRD zalim!" Suasana kian riuh ketika empat inang-inang terjengkang kena semprot air berkekuatan tinggi itu. Dan waktu semprotan padam, mereka kira aksinya sukses. Ternyata kehabisan air. Setelah tangki diisi lagi, moncong pipa itu kembali menyemburkan air menghalau mereka. Tapi mereka masih bertahan. Seorang di antaranya, Sinta Hotmauli boru Sijabat, mondar-mandir memotret dan merekam peristiwa tersebut. Tak pelak, petugas menyita kameranya. Tontonan gratis itu terhenti sekitar pukul empat sore. Mungkin sama-sama letih. Pedagang yang basah kuyup duduk di sekitar kios-kios, sedangkan petugas duduk tak jauh di depan mereka. Begitulah hingga masing-masing bubar pukul delapan malam. Besoknya sejumlah pedagang dipanggil petugas. "Ternyata mereka bersedia membongkar kiosnya," kata juru bicara Pemda Labuhanbatu, Makmur Batubara, kepada Affan Bey Hutasuhut dari TEMPO. Cuma kapan realisasinya, Makmur tak tahu. "Dari dulu, ya, janjinya begitu terus," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini