Parabola bertengger di mana-mana, dari Segi Tiga Emas Jakarta hingga ke kompleks Perumnas di pelosok. Namun, bisnis parabola masih sepi. Akankah terjadi boom? SI molek Wonder Woman dan si ganteng McGyver bukan lagi monopoli masyarakat Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sejak RCTI menggunakan Palapa, siaran televisi swasta itu bisa ditangkap dengan parabola di seluruh Nusantara. Ini barangkali merupakan peluang terbesar bagi dunia bisnis antena parabola, yang selama enam tahun lebih sering surut ketimbang pasangnya. Antena mangkuk raksasa itu mulai bermunculan di Indonesia sekitar 1985. Waktu itu umumnya masih impor. Devaluasi rupiah 1986 menyebabkan komoditi impor menjadi lebih seret masuk kemari. Baru menjelang Olimpiade Seoul, 1988, pasar parabola mengalami pasang naik. Tapi pasar belum sempat bergelora, keluarlah ketentuan pemerintah yang mewajibkan pemilik parabola meminta izin dari Departemen Penerangan. Adanya berbagai hambatan tidak menekan persaingan. Malah sebaliknya. Mahasiswa ITB kabarnya juga ikut. Bahkan seorang guru STM di Magetan, Jawa Timur, pada 1988 berhasil membuat parabola beton yang ditawarkan dengan harga Rp 1,6 juta, sementara harga pasar sekitar Rp 5 juta. Tak heran jika toko yang tadinya berjualan parabola belakangan menjual komputer, seperti yang dialami PT Centrin di Jakarta. Namun, akhir-akhir ini persaingan pasar mendadak seru. Yang impor bersaing dalam harga dan kecanggihan teknologi. Ada DB Star, Dast, Birdview, Drake, Chaparral. Sebegitu jauh, belum ada yang bisa menguasai pasar. PT Hartono Istana Electronic (Polytron) dewasa ini disebut sebagai perusahaan parabola terbesar di Indonesia, dengan jaringan pemasaran di berbagai kota di Jawa, Sumatera, Kalimantan, NTT, Sulawesi, dan Irian Jaya. Toh penjualan parabola Polytron baru sekitar 30 unit per bulan. Ketika terjadi Perang Teluk, meningkat jadi 40 unit per bulan. "Pembuat parabola di Indonesia begitu banyak," kata Hari Satrio dari divisi parabola PT Hartono Istana Electronic. Dan, "Menjual parabola tidak gampang," kata Kusnadi dari PT Pelangi Jaya Utama di Jakarta. Soalnya, parabola tidak seperti radio atau televisi, yang bisa menangkap siaran sampai bertahun-tahun. Sedangkan untuk parabola, berubah posisi sedikit saja, sudah mesti disetel. Artinya, pelayanan purnajualnya mesti kuat. "Itu sebabnya sulit memasarkan ke luar kota," kata Kusnadi lagi. Lagi pula, yang terjual 1 atau 2 unit per bulan. Budi, Direktur Surya Citra Parabola, berharap RCTI yang sudah ber-Palapa akan memacu pasar parabola. Ia berharap, setidaknya permintaan datang dari hotel-hotel di Bali dan daerah wisata luar Jawa lainnya. Namun, di daerah-daerah pun sudah bermunculan perakit parabola. Di Medan, misalnya, ada si Boy, yang sudah empat tahun berkecimpung dalam perakitan parabola. Sarjana teknik mesin ini tadinya belajar mengutak-atik parabola, dan kini mulai menjual produksinya kepada masyarakat. "Adanya RCTI serta munculnya televisi baru dari Hong Kong, yang dipancarkan lewat Asia Satellite, telah meningkatkan permintaan parabola di sini," ujar Boy. Mau tahu harga parabola buatan Boy? Untuk ukuran 10 kaki, Rp 1,4 juta, sedangkan tipe bergerak Rp 2 juta. Ukuran I2 kaki dihargai Rp 1,8 juta dan Rp 2,7 juta. Kini permintaan akan parabola belum melonjak, tapi antena mangkuk ini sudah bertebaran, mulai dari puncak-puncak hotel di Jakarta sampai ke kompleks Perumnas di Tangerang, Jawa Barat. Soalnya, harga parabola kini lebih terjangkau, bahkan bisa dibeli secara mencicil. Kedua peluang ini ditawarkan, misalnya, oleh Skyline Parabola di Yogyakarta. Untuk satu paket arisan, peserta masing-masing sudah harus melunasi paling lama 12 bulan. Antena model single rib (satu engsel), ukuran 9 kaki, berharga Rp 2.700.000, sehingga bisa dicicil 225.000 per bulan. Selain itu, peserta arisan parabola diberi iming-iming undian empat sepeda motor dan delapan bonus bulanan selama masa cicil. Untuk mendapatkan parabola, masyarakat pun bisa berpatungan. Hal ini dicoba oleh 37 keluarga di Jatimulyo Baru (Yogyakarta). Tahun lalu, menjelang final Piala Dunia, mereka masing-masing menyetor Rp 200.000, sehingga terkumpul Rp 7,4 juta. Paguyuban yang dikoordinasikan Ir. Indartoro ini kemudian membeli parabola 12 kaki seharga Rp 5 juta. Uang sisa Rp 2,5 juta ditingkatkan jumlahnya hingga bisa membeli parabola 16 kaki yang mampu menangkap satelit Intelsat. Kini paguyuban tersebut memiliki dua parabola yang masing-masing memiliki tiga pesawat penerima, yang dihubungkan pada sebuah pesawat spliter dan dari sini dihubungkan ke semua rumah. Parabola ternyata bisa juga dikomersialkan, sama seperti pesawat video tape recorder (VTR). Hal ini sudah diterapkan oleh Herman di Kelurahan Kauman, Pekalongan, Jawa Tengah. Antena ukuran 9 kaki serta pesawat penerima yang dibelinya seharga Rp 1.850.000 dengan kredit dua tahun. Untuk membayar cicilan, ia mengajak tetangganya berlangganan. Ternyata, ada sejumlah keluarga yang mau membayar Rp 5.000 sebulan. Melihat gelagat ini, tambahan pemirsa RCTI mungkin akan lebih dari dua juta. Max Wangkar dan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini