Bagi pengelola dana pensiun, tersedia pilihan: mundur dari properti atau membayar pajak. Benarkah pajak ini pajak berganda? ADANYA RUU Dana Pensiun telah membukakan mata banyak orang tentang satu hal: dana itu bukanlah dana celengan yang tidak berkembang biak. Bila kini dana itu berjumlah Rp 5-6 trilyun, diam-diam ia akan membiak, apalagi jika pihak yang mengelolanya (yayasan) pintar memilih "lahan". Pemerintah Singapura, misalnya, menyisihkan 10% dari gaji setiap warganya yang bekerja, untuk membiayai pembangunan di sana. Memang, pungutan itu bukan dari dana pensiun kendati alokasi sumbernya sama. Tak heran jika segala sesuatu di republik pulau itu seakan menunjukkan kepada warganya bahwa uang mereka tidak tersia-sia. Bagaimana di Indonesia? Ternyata, para pengelola dana pensiun tak dibiarkan santai seperti dulu. Setidaknya, mereka harus waspada. Selain dibebani pajak -- ketentuan tentang ini datang belakangan -- yayasan dana pensiun antara lain harus memenuhi berbagai ketentuan yang menyangkut status, batas penggunaan dana pensiun, dan batas kewajiban penyelenggara. Masalahnya tidaklah sekadar membuat penyesuaian dengan RUU itu. Ketika RUU belum tuntas dibahas di DPR, Senin pekan silam Menteri Keuangan Sumarlin mengeluarkan surat keputusan tentang perpajakan yang akan menyentuh dana pensiun. Selama ini dana yang jumlahnya Rp 5-6 trilyun milik 165 yayasan dana pensiun itu, dalam segala kegiatannya, tidak dikenai pajak. Namun, SK 19 Juni menetapkan, penanaman dana pensiun dalam bidang tanah dan bangunan dikenai pajak penghasilan, suatu hal yang sama sekali tidak disebut-sebut ketika Sumarlin menyampaikan RUU Dana Pensiun di depan anggota DPR. Semula ia hanya mengatakan, "Dana pensiun tidak boleh menanamkan uangnya di tanah atau saham dalam jumlah terlalu banyak." Kini masalahnya jadi lain. Bagi yang telanjur terjun ke properti, diberikan tenggang waktu lima tahun untuk melakukan konsolidasi, agar investasinya sesuai dengan arahan Menteri Keuangan. Dengan SK berlaku surut per 1 Januari 1991 itu, Pemerintah tampaknya sudah menentukan sikap: investasi dana pensiun di properti boleh saja, tapi dikenai pajak. Pertimbangan Pemerintah, seperti diutarakan oleh Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen Keuangan Bacelius Ruru, adalah bahwa penanaman dana pada tanah dan bangunan ternyata banyak menimbulkan masalah dan mengandung risiko tinggi. Apalagi sepanjang tahun 1990, spekulasi properti telah ikut menyebabkan inflasi. Kini para pengelola dana pensiun yang terjun ke properti mulai kebat-kebit menghitung beban pajak. Di antaranya? Yayasan Dana Pensiun Bapindo (punya gedung perkantoran Bumi Bapindo di Surabaya) dan Yayasan Dana Pensiun BNI 1946 (pemilik kantor pusat BNI 1946 di Jalan Sudirman Jakarta yang megah itu). Ketua Yayasan Dana Pensiun Bapindo, Gunaryo Gunawan, menanggapi SK 19 Juni dengan pasrah. "Mau apa lagi? Kata Pemerintah begitu, ya, kami turut saja membayar pajak," katanya kepada Lenah Susianty dari TEMPO. Menurut Direktur Yayasan Dana Pensiun Astra, Hartoyo Danudirgo, pajak dalam bisnis properti yang diberlakukan atas yayasan dana pensiun memang bisa merugikan. "Tapi ini jangan dijadikan sebagai penghambat," tuturnya pula. Uang pensiunan Astra sendiri, yang berjumlah Rp 26 milyar (dari 18 ribu karyawan yang bekerja pada 75 perusahaan dalam Astra Group), belum diaktifkan ke properti. "Jumlah ini belum cukup untuk ke properti. Lagi pula, itu kan menyebabkan dana mati terlalu lama karena merupakan investasi jangka panjang," kata Hartoyo. Dana pensiun Astra lebih banyak ke deposito dan pembelian saham. Lain lagi sikap Kadarisman, M.B.A., Direktur Yayasan Dana Pensiun Karyawan (YDPK) Krakatau Steel. Kepada Susilawati Suryana dari TEMPO, ia mengatakan, "Kalau bisnis properti akan dikenai pajak juga, berarti Pemerintah memungut pajak dua kali. Mestinya pajak cukup diambil dari uang pensiun yang dibayarkan." Bagi YDPK Krakatau Steel, SK 19 Juni itu tak akan berdampak apa pun mengingat kegiatannya tidak di bisnis properti. Menurut Kadarisman, pengembangan dananya lebih banyak dalam deposito. Selebihnya ke obligasi, sertifikat, dan investasi jangka panjang, melalui penyertaan modal pada PT Purna Sentana Baja (sebuah holding company dalam bidang jasa dan perdagangan yang berdiri sejak 1982). Penyertaan saham ini berlanjut ke PT Multi Sentana Baja dan PT Purna Baja Heckett -- dalam kedua perusahaan itu, YDPK Krakatau Steel memiliki saham mayoritas. Ada pula dana yang ditanamkan di PT Wahana Sentana Baja -- bergerak dalam usaha angkutan darat. Kadarisman enggan merinci nilai setiap investasi dari yayasan yang dipimpinnya. Ia hanya mengatakan, total aktiva pada 1987 mendekati Rp 30 milyar. Tahun berikutnya, naik menjadi Rp 37 milyar lebih. Pada 1989 sudah menjadi Rp 57 milyar. Angka 1990 belum ia ungkapkan, tapi kepada para anggota, laporan keuangan tak pernah diabaikan. YDPK Krakatau Steel, yang memiliki 7.000 peserta aktif dan 220 pensiunan, memang agak istimewa, terutama karena dikelola secara profesional dengan tenaga yang bekerja penuh. Bahkan, para pengurusnya bisa membina karier kedua di situ. Mereka bisa mengelola keuangan berdasarkan rencana strategis, seperti laiknya sebuah perusahaan. "Kami membuat rencana program yang mencakup alokasi dana untuk jangka waktu lima tahun, selain program rutin setiap tahun," tambah Kadarisman. Targetnya: menaikkan jumlah pensiun menjadi 75% dari gaji bruto -- selama ini masih di bawah 70%. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini