Hanya dalam tiga tahun, RCTI meluaskan jelajahnya dari sebatas Jakarta sampai ke seluruh Indonesia. Kini penontonnya bertambah dua juta, karyawannya 480, dan iklannya milyaran rupiah. RAJAWALI Citra Televisi Indonesia alias RCTI kini bisa dengan mantap mengepak-ngepakkan sayapnya. Terhitung 1 Juli 1991, secara resmi TV swasta itu boleh menyiarkan segenap acaranya ke seluruh Indonesia, lewat transponder Palapa. Siaran ini hanya bisa ditangkap dengan antena parabola, yang kini dimiliki oleh sekitar 400.000 orang. Berkat adanya izin untuk beriklan, dan izin terbaru untuk meng-Indonesia dengan parabola dan Palapa, maka bagi RCTI sewa transponder US$ 1,1 juta setahun tidak lagi terasa mencekik. Apalagi jumlah pemirsa, menurut Komisaris RCTI Peter Gontha, akan bertambah sekitar dua juta. Penyebaran siaran lewat Palapa akan membuat pentas dunia benar-benar masuk ke rumah para pemilik parabola, di manapun mereka berada. Kenyataan ini jelas merupakan kemenangan bagi RCTI. Ganjalan terakhir adalah SK Menteri Penerangan No. 111, yang membatasi siaran RCTI hanya untuk Jakarta dan sekitarnya. Peter Gontha mengatakan, "Sementara banyak orang sudah bisa menonton siaran dari Cina dan negeri lainnya melalui parabola, peraturan yang lama tersebut jadi kontroversial." Apalagi dalam waktu dekat akan makin banyak siaran luber dari stasiun-stasiun televisi di Selandia Baru,Australia, bahkan Amerika Serikat. Sejak diawali dengan siaran percobaan Oktober 1988 (tapi resmi beroperasi per 15 November 1989), RCTI telah beberapa kali melenturkan ketentuan yang diberlakukan oleh Direktorat Jenderal Radio Televisi dan Film Departemen Penerangan. Sebelum melunakkan SK Menpen No. 111, sang Rajawali lebih dulu melepaskan ketergantungannya pada dekoder. Selama dua tahun berdekoder, RCTI tercatat hanya memiliki sekitar125 ribu pelanggan. Mereka membayar uang pangkal dan jaminan dekoder Rp 131 ribu. Selain itu, masih dibebani iuran Rp 15 ribu sampai Rp 30 ribu, tergantung jumlah siaran yang dipesan. Untuk pelayanan seperti itu, menurut Direktur Teknik Alex Kumara -- RCTI telah menanamkan investasi US$ 90 juta, ditambah ongkos dekoder yang harganya US$ 400 per unit. Tentu semua itu jadi beban. Akibatnya, target penambahan pelanggan tak tercapai. Maka, Alex Kumara lalu memutuskan untuk "mengambil langkah mundur". Taktik ini diterjemahkan oleh komisaris dan direksi RCTI dengan permohonan kepada Departemen Penerangan, agar perusahaan TV swasta itu dilepaskan dari kewajiban berdekoder. Dengan kata lain, mereka boleh menayangkan siarannya secara bebas di Jakarta dan sekitarnya. Tanggapan Pemerintah ternyata positif. Pada 24 Agustus 1990, bertepatan dengan hari ulang tahun TVRI, RCTI dinyatakan bebas dari dekoder. Ketetapan tersebut didahului dengan penjelasan Menteri Penerangan Harmoko di depan DPR sebulan sebelumnya, disusul dengan penegasan bahwa Kepala Negara juga sudah menyetujui RCTI tanpa dekoder. "Itu sesuai dengan permintaan mereka yang sudah lama sekali diajukan," kata Harmoko ketika itu kepada TEMPO. Peter Gontha, salah seorang direksi Bimantara Citra, pernah mengatakan bahwa dari sejak awal RCTI memang ingin mengudara tanpa dekoder. Tapi keinginan ini tidak begitu saja dipenuhi, karena katanya harus melalui, "masa percobaan untuk melihat tanggapan masyarakat ... tahapannya memang harus begitu." Gontha membenarkan bahwa pemakaian dekoder, yang secara komersial cuma berlangsung empat bulan, pada hakikatnya hanyalah merupakan testing. Dari sisi lain, testing itu bisa terlihat sebagai kesediaan Pemerintah untuk setiap kali mengubah kebijaksanaannya terhadap RCTI. Nah, setelah mengantungi izin untuk beroperasi tanpa dekoder, RCTI pun menyewa transponder Palapa hanya untuk menyalurkan programnya dari Jakarta ke SCTV (Surabaya) dan RCTI Stasiun Bandung. Siapa menduga bahwa itu juga cuma testing, untuk kemudian memenangkan izin agar bisa berkibar ke seluruh Indonesia. Jangkauannya menjadi sama seperti Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), stasiun swasta yang menumpang fasilitas dan awak TVRI, yang juga berhak memajang iklan di sela-sela siarannya itu, persis seperti RCTI. Bicara tentang lonjakan penerimaan dari iklan, yang pasti terjadi setelah siarannya meng-Indonesia, Peter Gontha tampak enggan mengungkapkannya. Hanya diperkirakan, tarif iklan rata-rata (sebelum melalui satelit) Rp 5 juta per 30 detik -- jumlah ini pasti berlipat-lipat dengan 20% porsi iklan dari 11 jam siaran. Pemirsa RCTI tentu berharap agar dengan meningkatnya penerimaan iklan, ikut meningkat pula kualitas siarannya. Bila kini karyawan RCTI mencapai 480 orang, adalah beralasan jika program impornya bisa ditekan di bawah 90%. Memang, jika dari dekoder ke transponder bisa bertahap, mengapa dari program impor ke nasional tidak? Anggap saja testing. Mohamad Cholid, Moebanoe Moera, dan Nunik Iswardani (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini