Akhir 1991, TPI akan mengudara 12 jam per hari, dan medio 1993, semua stasiun pemancarnya selesai dibangun. JAUH sebelum RCTI meng-Indonesia, Direktur Televisi Ishadi sudah membayangkan akibat persaingan TVRI dengan televisi swasta. "Kami akan punya ketakutan. Ketakutan itu akan memacu kami membuat siaran yang lebih bagus," katanya setengah cemas. Dalam evaluasinya, kekalahan TVRI dari TV swasta, selain terletak pada pemilihan tema dan materi, juga pada tempo pergantian acara dan kualitas teknik. "Kualitas teknik memerlukan penggantian peralatan teknik," kata Ishadi. Tapi, selagi menunggu dana untuk meremajakan peralatan teknik, TVRI masih harus menanggung TPI (Televisi Pendidikan Indonesia). Maklumlah, sejak TPI diresmikan sampai dua tahun mendatang, fasilitas dan tenaga operasionalnya masih menumpang di TVRI. Padahal, jam siaran TPI meningkat terus dari empat jam sehari, ke lima jam, hingga akhir tahun ini TPI akan mengudara selama 12 jam. Sementara itu, Senin pekan lalu Menteri Penerangan Harmoko mengatakan bahwa beberapa satuan pemancar TVRI harus segera direhabilitasi. "Sebanyak 30 persen satuan pemancar televisi yang dibangun tahun '70-an sudah dalam keadaan tua," ujar Harmoko menjawab pertanyaan pers, seusai diterima Wapres Sudharmono di Istana Merdeka Selatan. Selain satuan pemancar, di berbagai stasiun TVRI daerah masih banyak dijumpai kekurangan peralatan primer. Seorang awak TV di Surabaya mengeluh, karena untuk menjaring berita ia terpaksa berebutan kamera berikut juru kameranya dengan rekan reporter yang lain. Beban itu diperberat dengan masuknya TPI, yang secara tak langsung diakui Ishadi. "TPI itu mengganggu, ya jelas. Tapi ini kan demi kepentingan nasional," celetuknya sambil tertawa. Chris Pattikawa, Kasubdit Bina Produksi Direktorat Televisi, menghitung pengalihan siaran ke TPI telah menciutkan acara TVRI hingga 13 persen. Tapi dari segi finansial, TPI memberikan 12,5% dari pendapatan iklannya kepada TVRI. "Kami gunakan untuk perawatan alat," ujar Chris. Apakah dengan begitu kekhawatiran seorang awak TVRI bisa diredakan? Sumber TEMPO itu menyatakan, beban rangkap TVRI-TPI ini membuat peralatan teknik TVRI aus sebelum waktunya. Itu terjadi ketika TVRI harus bersaing menghadapi TV swasta. Sangat lain halnya dengan TPI, yang menurut Direktur Utama PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia, Ny. Siti Hardiyanti Rukmana -- dalam keterangannya di depan Komisi IX DPR, Desember 1990 -- pada medio 1993, studio dan stasiun pemancarnya di seluruh Indonesia selesai dibangun. Untuk itu, Cipta Televisi menyediakan tak kurang dari Rp 400 milyar. Dari mana uang sebanyak itu? Besar kemungkinan, dari perolehan iklan TPI. Coba kita berhitung. Siaran iklan TPI hanya 20% dari jam siaran. Selama 6 jam siaran kini, ada 72 menit yang tersedia untuk iklan. Dengan tarif iklan TPI rata-rata Rp 220 ribu per detik (tertinggi Rp 14,4 juta, terendah Rp 4,8 juta), tiap hari TPI bisa mengantungi Rp 1 milyar dari iklan saja. Atau dalam setahun -- dikurangi hari Minggu -- TPI beroleh Rp 313 milyar. Lalu, TVRI punya apa? Dalam perhitungan Ishadi, TVRI bisa berkembang kalau punya dana Rp 120 milyar per tahun. Sayang, pada usianya ke-29, TVRI baru memasukkan Rp 90 milyar dari iuran. "Struktur yang disamakan dengan birokrasi pemerintah membuat TVRI sulit bergerak," kata Ishadi. Dan inilah juga faktor yang menyulitkan TVRI untuk bersaing melawan TPI, apalagi RCTI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini