Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kisah tentang Rawa yang Diuruk

Kawasan Pluit yang berupa rawa dan daerah resapan air dipertahankan di zaman kolonial Belanda. Pelan-pelan beralih fungsi saat Indonesia membangun.

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PADA zaman pemerintahan kolonial Belanda, peruntukan kawasan Pluit sangat jelas, yakni sebagai daerah resapan air. Pluit yang berupa rawa dipertahankan karena letaknya lebih rendah daripada permukaan laut. Maklum, Jakarta (saat itu Batavia) sudah menjadi langganan banjir besar sejak era VOC pada abad ke-17. Maka Pluit pun dijadikan tempat penampungan air.

Adalah ahli tata kelola air Belanda, Hans van Breen, yang mengembangkan sistem polder di kawasan itu pada 1923. Penggagas Kanal Banjir Barat ini berpendapat, karena Pluit berbatasan dengan laut, air harus dipompa agar tak menggenang.

Pandangan Van Breen ini masih dianut hingga beberapa tahun setelah Indonesia merdeka. Pada 1965, pemerintah Indonesia membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir DKI Jakarta (Kopro Banjir). Badan khusus ini berfokus mengembangkan sistem polder yang dikombinasikan dengan waduk dan pompa air. Hasil kerja Kopro Banjir, antara lain, pembangunan waduk di Pluit, Setiabudi, Grogol, dan Tomang. Juga beberapa polder plus sodetan dan pengerukan sungai.

Pada saat itu, 1.200 hektare wilayah Pluit disterilkan dan kawasan ini difungsikan sebagai daerah resapan air. Dari jumlah itu, 450 hektare diproyeksikan menjadi waduk. "Tata air Jakarta membentuk daerah Pluit yang harus dibiarkan alami sebagai daerah resapan air," ujar sejarawan JJ Rizal pekan lalu.

Lalu wajah Pluit berubah sejak 1970. Ketika itu, Gubernur Ali Sadikin tengah menggenjot pembangunan agar Jakarta menjadi kota metropolitan. Sejumlah badan pelaksana otoritas dibentuk, termasuk Otorita Pluit. Badan ini lalu menggandeng PT Jawa Building Indah untuk menggarap Pluit. Perusahaan properti milik Endang Wijaya itu kemudian memindahkan ribuan ton pasir yang dikeruk dari Teluk Jakarta untuk menguruk rawa Pluit. Pembangunan berlangsung pesat hingga akhir kepemimpinan Ali Sadikin pada 1977.

Namun puncak kekusutan tata ruang kota terjadi pada 1990-an. Saat itu, "Tata guna lahan banyak diterjang," kata Rizal. Pluit, yang dulunya rawa, menjelma menjadi kawasan perumahan, rekreasi, dan industri. Pusat belanja pun bermunculan. Pembangunan terus meluas hingga ke daerah Muara Karang, Muara Angke, dan Teluk Gong. "(Saat itu) permukiman sudah dibangun hampir separuhnya," ujar Bunyamin Ramto, Wakil Gubernur Jakarta Bidang Ekonomi dan Pembangunan era 1984-1988.

Pada 1988, tugas pengawasan Otorita Pluit digantikan Badan Pengelola Lingkungan DKI Jakarta. Sembilan tahun berselang, aset-aset badan usaha milik Pemerintah Provinsi Jakarta itu dilimpahkan kepada PT Pembangunan Pluit Jaya. Pada 2000, PT Pembangunan Pluit Jaya berubah menjadi PT Jakarta Propertindo, yang dipercaya mengembangkan kawasan modern Pluit, kawasan terpadu Pulomas, dan reklamasi pantai utara Jakarta.

Dua banjir besar melanda Pluit pada 1981 dan 1985. Banjir 1981 justru bertepatan dengan rampungnya pembangunan Waduk Pluit. Padahal waduk seluas 80 hektare itu difungsikan sebagai tempat penampungan air sementara dari limpahan Sungai Cideng—dan selanjutnya air dipompa ke laut.

Pakar planologi Institut Teknologi Bandung, Denny Zulkaidi, mengatakan tata ruang Ibu Kota terbilang ruwet: dari ruang terbuka hijau yang tidak proporsional, sistem drainase yang tidak mendukung, hingga laju reklamasi di kawasan pesisir. Banyak pembangunan yang tidak sesuai dengan peraturan tata ruang. Ini, kata dia, yang turut memberi andil pada banjir besar di Pluit sepekan terakhir.

Pembangunan permukiman di Pluit adalah contoh ketidakcermatan pengaturan tata ruang di Jakarta. Menurut Denny, kawasan utara Jakarta rentan untuk permukiman lantaran tingkat penurunan tanahnya tajam. Dan ketika Pluit mengalami perubahan dari rawa menjadi hamparan beton, hal ini tidak diikuti infrastruktur mengalirkan air ke laut. "Sudah tahu itu daerah banjir, tapi masih dibangun menjadi perumahan," ujarnya.

Dinas Tata Ruang Provinsi Jakarta ten­tu­ saja punya alasan. Kepala Bidang Peren­cana­an Tata Kota DKI Jakarta Izhar Chaidir mengatakan banjir Pluit semata disebabkan oleh kerusakan pompa air yang menjadi tanggung jawab Dinas Pekerjaan Umum. "Tidak ada masalah dengan tata ruang," katanya.

Dia didukung Fahmi Amran, peneliti utama Badan Informasi Geospasial. Fahmi mengatakan Belanda dulu memang melarang berdirinya bangunan di Pluit. Namun teknologi tanggul, kanalisasi, dan pompa bisa mengubah itu semua. "Teknologi dapat memperkecil risiko banjir," ujarnya.

Menurut dia, pengaturan tata ruang lebih berlaku di daerah hulu, seperti Puncak dan Bogor. Untuk daerah hilir, yang dibutuhkan adalah perawatan infrastruktur pengendali banjir.

Apa pun, faktanya Pluit telah berubah. Bunyamin punya deskripsi yang jitu soal ini. Kata dia: Pluit itu rawa yang diuruk!

Mahardika Satria Hadi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus