Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasanggrahan Yang Terlupakan

Babakan Anyar Pernah Menjadi Kota Pelabuhan Penyeberangan Penting Di Wilayah Priangan. Terlupakan Setelah Dibangun Jalan Baru.

25 Mei 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Membelah area persawahan hijau, jalan desa selebar lebih-kurang lima meter itu berujung di tepi sungai besar. Tepatnya muara-pertemuan dua sungai-Cimanuk dan Cilutung, yang masih berada di wilayah Desa Babakan Anyar, Kadipaten, Majalengka. Di tengah sungai, belasan penambang sibuk memenuhi perahu-perahu mereka dengan pasir, untuk diangkut dengan truk yang menunggu di bibir sungai.

Di luar kesibukan para penambang pasir, suasana di sekitar sungai pada Ahad pagi dua pekan lalu itu tampak sepi. Memang hanya ada beberapa rumah milik penduduk dan bangunan kayu besar berbentuk panggung dengan tiang-tiang beton penyangga yang difungsikan sebagai tempat peternakan ayam. Selebihnya berupa persawahan, kebun bambu, tegal penuh ilalang, dan sebuah permakaman desa yang tak terlalu luas.

"Dulu tempat ini pelabuhan penyeberangan yang ramai," ujar Muhamad Komar, 67 tahun, di rumahnya. Komar adalah Kuwu (Kepala Desa) Babakan Anyar periode 1969-1981. Dari ayahnya, yang juga menjabat kuwu, ia banyak mendapat cerita tentang desa kelahirannya itu. Juga dari kakek buyutnya, Tirtadiwirya, yang menjadi kuwu periode 1910-1926. Komar masih menyimpan buku catatan harian Tirtadiwirya yang merangkum berbagai peristiwa penting di desanya itu.

Desa Babakan Anyar berada di wilayah Kecamatan Kadipaten. Kadipaten saat ini terbagi atas tujuh desa, yakni Desa Liangjulang, Desa Heuleut, Desa Cipaku, Desa Kadipaten, Desa Babakan Anyar, Desa Karangsambung, dan Desa Pagadon. Di masa lalu, Desa Babakan Anyar bernama Babakan Sinom dan terbagi menjadi tiga blok, yakni Babakan Sinom, Pasanggrahan, dan Dayeuhkolot.

Pasanggrahan, yang terletak di samping sungai, menjadi pelabuhan utama perahu-perahu niaga dan merupakan kota terbesar di wilayah Kadipaten, yang saat itu masih dikenal dengan nama Karangsambung. Konon, pelabuhan penyeberangan itu sudah ada sejak zaman Kerajaan Sunda-Galuh.

Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, A. Sobana Hardjasaputra, mengatakan lokasi transit ini merupakan penghubung penting dalam pengangkutan biji kopi dari perkebunan di berbagai daerah di Jawa Barat sejak abad ke-17. Kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie pada 1667, kata Sobana, mewajibkan rakyat Priangan menanam kopi. "Preangerstelsel itu terkait dengan ekspor kopi ke Eropa yang menjadi primadona," ujarnya.

Sobana menjelaskan, ketika Jalan Raya Pos dibangun, lintasan sungai yang menjadi pemotong Jalan Pos tak langsung diatasi dengan membangun jembatan. "Jadi masih melintasi sungai dengan naik rakit yang ditarik kerbau atau dibantu tali panjang," katanya. Jembatan dibangun hanya di pusat kota, seperti di atas Sungai Cikapundung yang membelah Kota Bandung. Lokasinya kini di Jalan Cikapundung Timur, antara Gedung PT PLN Jawa Barat dan sisi kanan Gedung Merdeka di Jalan Asia-Afrika.

Jalan Raya Pos yang dibangun di zaman pemerintahan Herman Willem Daendels pada pertengahan 1808 juga terpotong muara Sungai Cilutung dan Cimanuk itu. Terbentang dari Karangsambung melewati Babakan Anyar, jalan yang kini menjadi jalan desa itu kemudian menyambung di Desa Kosambian di seberang sungai. Desa itu kini berubah nama menjadi Desa Kebon Cau dan masuk wilayah Kecamatan Ujung Jaya, Sumedang. Dari Desa Kosambian, Ujung Jaya, jalur Daendels berlanjut ke Sumedang melewati Conggeang, Legok, dan Cimalaka.

Tak hanya di pelabuhan penyeberangan, kapal-kapal niaga yang berlayar di Sungai Cimanuk juga singgah di pelabuhan ini, mengangkut beragam komoditas. Lewat pelabuhan ini pula gula hasil Pabrik Gula Kadipaten, yang didirikan pada 1868, diangkut ke Indramayu untuk kemudian dibawa ke Batavia dan luar Jawa. "Dulu gerobak-gerobak pengangkut gula yang ditarik sapi lewat jalan Daendels itu menuju Pasanggrahan," ujar Komar, mengulang cerita turun-temurun dari kakek buyutnya.

Di Pasanggrahan, gula-gula itu disimpan di gudang gula. Saat ini, gudang sudah rata dengan tanah. Lokasinya di sebelah utara peternakan ayam dan kini menjadi area persawahan blok gudang gula. Bukan hanya gudang gula, di Pasanggrahan juga dibangun rumah peristirahatan untuk orang-orang Belanda dan Cina penguasa bisnis gula saat itu. Seperti gudang gula, rumah peristirahatan berupa rumah panggung megah itu sudah tak ada lagi.

Komar bercerita, sebagai daerah lalu lintas perdagangan, Babakan Anyar saat itu berkembang menjadi kawasan pecinan, tempat orang-orang Cina bermukim. Dari sana pula muncul pengusaha bernama Aw Seng Ho, yang kemudian mendirikan Pasar Kadipaten. Setiap tahun baru Imlek, Babakan Anyar berhias dengan beragam lampion dan ramai dengan aneka kegiatan. Belakangan, orang-orang Cina membaur dengan penduduk lokal lewat ikatan perkawinan.

Kejayaan Babakan Anyar meredup setelah lalu lintas ekonomi di sungai beralih ke jalur darat menyusul dibangunnya jalan baru Sumedang-Cirebon melewati Nyalindung dan Tomo. Suasana bertambah sepi setelah dibangun Bendung Rentang di Jatitujuh, Majalengka, pada 1911, yang membuat perahu-perahu dagang dari Indramayu tak bisa masuk ke wilayah ini.

Ruas jalan Daendels yang membelah Babakan Anyar sudah tak seramai dulu, meskipun ruas kiri dan kanannya padat dengan rumah-rumah penduduk. "Jalan Daendels yang tidak dilewati lagi karena ada jalan baru, tol, atau kereta api kemudian ditinggalkan, sepi, dan tidak maju," kata arsitek yang juga pengamat tata kota, Bambang Eryudhawan.

Babakan Anyar bukan satu-satunya desa yang sempat mengecap kejayaan gara-gara dilewati Jalan Raya Pos lalu ditinggalkan. Nasib serupa dialami jalur Daendels di daerah Rajamandala, yang menghubungkan Cianjur dengan Kabupaten Bandung Barat. Sejak dibukanya jembatan tol Citarum Rajamandala pada 1979, jalan Daendels sepanjang lebih-kurang enam kilometer dengan pemandangan Sungai Citarum di sisi kiri jalan itu relatif sepi. Sebagian wilayahnya masih rimbun oleh hutan jati dan mahoni.

Jalan yang masuk wilayah Kecamatan Haurwangi, Cianjur, ini jarang dilalui kendaraan bermotor. Hanya sesekali truk pengangkut pasir, angkutan desa rute Ciranjang-Rajamandala, serta sepeda motor yang dipakai warga, terutama anak-anak muda, melintasi daerah ini. "Sebelum jalan tol dibangun, kendaraan ramai lewat sini. Sekarang jalan ini baru dilewati banyak mobil kalau sedang ada razia di Jalan Raya Rajamandala atau saat Lebaran," ujar Cecep, 45 tahun, warga Desa Haurwangi. Gerbang tol Citarum Rajamandala sendiri sudah tak ada lagi, berganti menjadi Jalan Raya Rajamandala.

Desa Haurwangi, tempat tinggal Cecep, merupakan salah satu desa yang dilintasi jalan Daendels. Sebagian besar rumah di desa ini masih berdinding bilik. Desa ini berada di pinggir Sungai Cihea, anak sungai Citarum, yang menjadi pemisah dengan desa tetangga, Desa Cihea. Sebagian besar penduduknya mencari nafkah dengan menjadi penambang pasir. Satu kubik pasir yang dikumpulkan dihargai Rp 30 ribu.

Rata-rata dalam sehari, menurut Cecep, ia bisa mengumpulkan lima kubik pasir. "Tapi itu tergantung pesanan dari Jakarta," katanya. Jika sedang ramai, dalam sehari desanya bisa kedatangan enam truk pasir. Tapi, ketika sepi, hanya ada satu atau dua truk. "Sekarang sedang sepi," ujarnya.

Uning, 60 tahun, warga Desa Cihea, mengatakan tak banyak perubahan yang terjadi di kampung kelahirannya itu. Di antara perubahan yang tak banyak itu ada pembangunan Jembatan Cihea oleh Perusahaan Listrik Negara pada 1987-1988, tepat di atas jembatan lama yang dibuat di zaman Belanda. Pembangunan Waduk Cirata, yang mengakibatkan daerah permukiman di pinggir Sungai Cihea tergenang air, juga membuat rute jalan berubah. Jalan yang melewati Jembatan Cihea lalu terus melintasi Jembatan Citarum Lama itu adalah jalan baru. "Dulu jalan yang dipakai jalan ini," ujar Uning, menunjuk jalan desa yang melintas di depan rumahnya.

Jalan lama berlapis kerikil itu bersisian dengan Sungai Cihea-dari jalan baru, setelah melintasi Jembatan Cihea, berbelok ke kiri. Jalan desa ini berujung di tepi Sungai Citarum. Di masa lalu, untuk melewati Sungai Citarum, kereta kuda harus turun ke sungai dan menyeberanginya dengan cara menumpang rakit dan selanjutnya mesti mendaki tebing terjal Citarum dibantu beberapa kerbau. Sekarang jalan yang merupakan ruas Jalan Raya Pos itu hanya jalan desa yang kerap tergenang saat air sungai meluap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus