Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beragam benda pusaka peninggalan kerajaan Sumedang Larang itu tersimpan rapi di Gedung Pusaka Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang, Jawa Barat. Sebagian besar berupa senjata-seperti tombak trisula, pedang, kujang, dan keris-yang dipajang di dalam lemari kaca. "Setiap bulan Rabiulawal atau Maulud Nabi, senjata-senjata pusaka ini dibersihkan bersama ratusan benda pusaka lain dalam satu ritual khusus," kata Ila Gilang Kencana, salah seorang pemandu museum.
Di antara senjata pusaka itu tampak sepasang keris nagasasra dengan bentuk hampir serupa. Keris Nagasasra I peninggalan Prabu Panembahan, sementara keris Nagasasra II, yang memiliki ukiran kepala naga di bagian pangkal, adalah peninggalan RAA Surianagara Kusumadinata.
Seperti tertulis di batu nisannya di kompleks permakaman Pesarean Gede Sumedang, Surianagara Kusumadinata atau Kusumadinata IX adalah Bupati Sumedang periode 1791-1828. Bupati yang semasa kecil bernama Raden Jamu ini belakangan lebih dikenal dengan sebutan Pangeran Kornel setelah mendapat gelar kemiliteran kolonel semasa pemerintahan Gubernur Jenderal G.A. Baron van der Capellen (1826-1830). Sebutan kolonel dalam lidah rakyat Sunda berubah menjadi Kornel.
Berdasarkan cerita yang berkembang turun-temurun, keris nagasasra itulah yang dibawa Pangeran Kornel ketika berhadapan dengan Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Herman Willem Daendels. Diceritakan, Kusumadinata marah karena menyaksikan penderitaan rakyatnya yang dipaksa bekerja keras membobok bukit cadas yang keras hanya menggunakan alat seadanya. Kemarahan itu dia perlihatkan ketika berjumpa dengan Daendels, yang tengah mengawasi pembangunan jalan. Ketika bersalaman, Pangeran Kornel mengulurkan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya bersiap mencabut keris.
Kisah itu diabadikan dalam sebuah lukisan yang disimpan di Gedung Sri Manganti Museum Prabu Geusan Ulun dan patung di daerah Ciherang, Sumedang. Jika kita menuju Sumedang dari Bandung, di persimpangan jalan antara Cadas Pangeran lama (bagian atas) dan Jalan Raya Cadas Pangeran yang biasa dilalui kendaraan, akan tampak dua patung sedang bersalaman, persis seperti yang diceritakan itu. Kisah Pangeran Kornel ini juga pernah dituturkan oleh R. Memed Sastrahadiprawira dalam novel berbahasa Sunda berjudul Pangeran Kornel, yang pertama kali diterbitkan pada 1932.
Ketua Museum Prabu Geusan Ulun-Yayasan Pangeran Sumedang Raden Mochamad Achmad Wiriaatmadja, 75 tahun, mengatakan patung berbahan perunggu setinggi sekitar 2,5 meter itu hasil karya Gustiyan Rachmadi, seniman lulusan Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Patung itu resmi berdiri di sana sejak 29 Desember 2012, menggantikan patung lama yang terbuat dari semen buatan seniman Sumedang, Caltim Prananjaya. "Dulu patungnya lebih kecil," kata Achmad. Patung lama buatan 1987 itu kini ditempatkan di halaman kampus Universitas Winaya Mukti, di Jalan Raya Tanjungsari Kilometer 29, Bandung-Sumedang.
Jalan Raya Cadas Pangeran terletak sekitar 6 kilometer sebelah barat daya Kota Sumedang. Melintasi dua kecamatan, yakni Pamulihan dan Sumedang Selatan, jalan sepanjang 3 kilometer ini menjadi salah satu jalan raya tersibuk di Jawa Barat, yang menghubungkan Bandung dengan Cirebon. Hampir setiap menit, truk besar dan bus antarkota melewati ruas jalan yang berkelok-kelok dan berada di antara tebing dan jurang yang sangat dalam ini. Namun sesungguhnya Jalan Raya Pos yang dibangun semasa pemerintahan Daendels bukanlah jalan yang ramai dilewati kendaraan-kendaraan berat itu.
Achmad Wiriaatmadja, yang meneliti sejarah Cadas Pangeran sejak 1972, menuturkan, jalan Daendels ada di bagian atas atau di jalur kiri patung bila dari arah Bandung. "Jalan yang digunakan sekarang baru dibangun pada 1900-an. Ketika terjadi tanah longsor pada 1995, jalan itu diperbaiki dengan menggunakan konstruksi cakar ayam," kata Achmad.
Pertemuan antara Pangeran Kornel dan Daendels terjadi di salah satu kelokan di ruas jalan lama yang ditandai sebuah prasasti. Prasasti itu bertulisan kalimat dalam bahasa Belanda dan Indonesia yang berbunyi: "Di bawah pimpinan Raden Demang Mangkoepradja dan di bawah penelitian Pangeran Koesoemah Dinata dibuat pada tahun 1811 dibobok dari tanggal 26 Nopember sampai tanggal 12 Maret 1812." Ketika keduanya bertemu, usia Pangeran Kornel dan Daendels sebaya, yakni 49 tahun. "Sebagai penguasa, Pangeran Kornel sudah berpengalaman. Ia sempat menjadi wedana di Cikalong sebelum kembali ke Sumedang," katanya.
Sejarawan dari Universitas Padjadjaran, A. Sobana Hardjasaputra, mengatakan jalan Cadas Pangeran merupakan bagian dari proyek pembangunan Jalan Raya Pos yang membentang sepanjang 1.000 kilometer, dari Anyer di ujung barat sampai Panarukan di ujung timur Jawa. Pembangunan Jalan Raya Pos, terutama rute awal yang menghubungkan Buitenzorg (Bogor) dengan Karangsambung melalui Cisarua, Bandung, dan Sumedang, selaras dengan cita-cita Bupati Bandung saat itu, Wiranatakusumah II, untuk memindahkan pusat pemerintahan dari Krapyak (kini Dayeuh Kolot) ke utara. "Dayeuh Kolot dianggap sudah tak layak karena saat musim hujan sering banjir dari luapan Sungai Citarum," kata Sobana.
Namun, di Sumedang, pembangunan Jalan Raya Pos sempat menimbulkan ketegangan. Setelah pembuatan jalan berlangsung beberapa waktu, Bupati Sumedang meminta rute jalan melintasi pinggir tebing. Alasannya, kata Sobana, mustahil rakyatnya sanggup membobol bukit berbatu cadas sesuai dengan tenggat dengan peralatan sangat sederhana, seperti cangkul, linggis, dan belencong. Kondisi Cadas Pangeran saat itu juga masih berupa hutan belantara dan banyak binatang buas.
Namun Sobana tak yakin apakah peristiwa jabat tangan antara Bupati Sumedang dan Daendels benar terjadi atau sekadar rekaan sebagai simbol perlawanan Bupati Sumedang. Ia menduga yang dijumpai sang Bupati bukan Daendels, melainkan asisten residen. Asisten residen itu sendiri ada di zaman pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Stamford Raffles sejak 1812.
Sejarawan dari Universitas Indonesia, Djoko Marihandono, juga ragu terhadap pertemuan itu. Menurut dia, bila pertemuan itu sungguh terjadi, pasti akan dicatat secara lengkap dan tersimpan dalam arsip. "Tidak ada satu pun arsip yang mencatat pertemuan itu," kata pengajar tetap pada Program Studi Prancis Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini.
Beberapa tulisan leksikografi yang membahas masa pemerintahan Daendels juga tak menyebut peristiwa yang terjadi di Cadas Pangeran itu. Merujuk pada isi prasasti di Cadas Pangeran, Djoko menduga yang dijumpai Kusumadinata itu hanyalah seorang pejabat tinggi Inggris, khususnya yang ditugasi mengawasi proyek perluasan jalan. Sebab, pada periode itu Hindia Belanda sudah dikuasai Inggris. Daendels sendiri telah kembali ke Belanda pada 29 Juni 1811 dan digantikan oleh Jan Willem Janssens.
Namun Achmad tetap yakin perjumpaan itu benar adanya. "Cerita itu yang saya dapat dari para leluhur, Pangeran Kornel memang bertemu dengan Daendels," ujar Achmad. Pertemuan itu, menurut dia, terjadi jauh sebelum Daendels ditarik pulang ke Belanda. Tahun yang tertera di prasasti, kata dia, menunjukkan waktu saat bukit cadas mulai dibobok oleh pasukan zeni yang dipimpin Von Lutzow dengan menggunakan mesiu.
Menurut Achmad, kehadiran pasukan zeni itu merupakan bagian dari kesepakatan antara Pangeran Kornel dan Daendels. "Pangeran Kornel sendiri sebetulnya tidak menentang pembangunan jalan karena dia tahu jalan itu sangat penting, terutama untuk mengangkut komoditas kopi. Tapi beliau tidak mau rakyatnya jadi korban," kata Achmad. Pangeran Kornel wafat pada 1828. Jabatan bupati kemudian berpindah ke putranya, Adipati Kusumayuda, yang berkuasa sepanjang 1828-1833.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo