SOAL kartu penduduk belum reda, sekarang muncul urusan baru
yang memaksa Walikota Banjarmasin, Siddik Susanto menghadapi
semprotan pers. Yaitu perihal pungutan retribusi pasar yang
diborongkannya kepada pihak swasta. Para wartawan Banjarmasin
menyebutnya sebagai "kebijaksanaan hitam menyambut tahun baru
1977". Ceritanya begini.
Pungutan retribusi pasar yang ada di kawasan kotamadya
Banjarmasin diborongkan kepada pihak swasta sebesar Rp 80.000
per-hari. Atau menurut sumber di Balaikota sebesar Rp 2« juta
sebulan. Yang banyak diributkan bukan pasal jumlah duitnya, tapi
lebih ditandaskan pada soal pemborongan itu. "Apakah Walikota
sudah hilang kepercayaan kepada aparatnya sendiri?" tanya dua
buah koran Banjarmasin dalam tajuk rencana mereka belum lama
ini. Tambahan lagi, tulis koran-koran itu, "jelas walikota telah
menantang Peraturan Daerah yang telah disepakati oleh DPRD
tentang retribusi ini". Di lain pihak beberapa orang pemborong
menanggapi: "Kalau retribusi itu diborongkan melalui tender,
jangankan Rp 80.000 sehari, dengan Rp 200.000 sehari pun kami
berani".
Tapi akibat polah Siddik itu, tak kurang dari Gubernur
Kalimantan Selatan sendiri terkejut. "Wah, sejak kapan
retribusi itu diborongkan?" katanya. Tak cuma itu. Gubernur
Subardjo segera mengirim surat setangan (nota) melalui
Sekwilda-nya Isinya: agar walikota menghentikan kebijaksanaan
itu. Menurut beberapa sumber, Walikota Siddik tak hirau akan itu
nota. Buktinya hingga pertengahan Januari lalu, pihak swasta
yang memborong itu pungutan tetap saja rajin memetik duit
recehan dari kocek para pedagang. Bahkan hal ini berbuntut agak
panjang juga, sebab "pihak Propinsi Kalimantan Selatan merasa
kehormatannya tersinggung". Rasa tak enak ini bertambah lagi,
ketika sepucuk surat dari Kotamadya Banjarmasin melayang ke
kantor gubernur. Isinya, membela dan tentu saja membenarkan
tindakan itu. "Apalagi ini tidak diborong kan, tapi dengan
sistim kolektor", jawab surat itu seperti dikutip sumber TEMP0
di kantor gubernur.
Di Martapura
Dengan sistim borongan atau kolektor tampaknya takpenting. Sebab
pihak propinsi agaknya tetap bertahan agar cara-cara itu
ditiadakan. Sebaliknya dari pihak Kotamadya Banjarmasin agaknya
masih mencoba bertahan. Setidak-tidaknya menunggu sampai masa
kontrak yang 2 kali 6 bulan itu berakhir.
Tapi rasa tak senang Gubernur Subardjo terhadap main borong
retribusi itu, ada pengaruhnya bagi kota Martapura. Semula untuk
mengejar target APBD, Pemerintah Daeran Kabupaten Banjar sudah
berazam juga untuk memborongkan pengelolaan pasar yang ada di
kawasan kota Martapura - menyusul pemborongan pungutan terhadap
mobil dan bis di terminal kepada pihak swasta. Dan serentak
dengan tegoran Gubernur Subardjo kepada Kotamadya Banjarmasin
itu, Kabupaten Banjar pun mengurungkan niatnya. Menurut Said
Abdullab, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Banjar,
pungutan retribusi pasar akan dilakukan oleh para juruh tagih
kantor pasar. "Kantor pasar ditargetkan memungut Rp 400.000
sebulan, selebihnya buat merangsang para petugas pasar", ucap
Said Abdullah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini