Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasar itu

Pungutan retribusi pasar di banjarmasin diborongkan swasta. nota gubernur untuk menghentikan kebijaksanaan tersebut tak ditaati. di kab. banjar juru tagih kantor pasar ditargetkan rp 400.000/bulan.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOAL kartu penduduk belum reda, sekarang muncul urusan baru yang memaksa Walikota Banjarmasin, Siddik Susanto menghadapi semprotan pers. Yaitu perihal pungutan retribusi pasar yang diborongkannya kepada pihak swasta. Para wartawan Banjarmasin menyebutnya sebagai "kebijaksanaan hitam menyambut tahun baru 1977". Ceritanya begini. Pungutan retribusi pasar yang ada di kawasan kotamadya Banjarmasin diborongkan kepada pihak swasta sebesar Rp 80.000 per-hari. Atau menurut sumber di Balaikota sebesar Rp 2« juta sebulan. Yang banyak diributkan bukan pasal jumlah duitnya, tapi lebih ditandaskan pada soal pemborongan itu. "Apakah Walikota sudah hilang kepercayaan kepada aparatnya sendiri?" tanya dua buah koran Banjarmasin dalam tajuk rencana mereka belum lama ini. Tambahan lagi, tulis koran-koran itu, "jelas walikota telah menantang Peraturan Daerah yang telah disepakati oleh DPRD tentang retribusi ini". Di lain pihak beberapa orang pemborong menanggapi: "Kalau retribusi itu diborongkan melalui tender, jangankan Rp 80.000 sehari, dengan Rp 200.000 sehari pun kami berani". Tapi akibat polah Siddik itu, tak kurang dari Gubernur Kalimantan Selatan sendiri terkejut. "Wah, sejak kapan retribusi itu diborongkan?" katanya. Tak cuma itu. Gubernur Subardjo segera mengirim surat setangan (nota) melalui Sekwilda-nya Isinya: agar walikota menghentikan kebijaksanaan itu. Menurut beberapa sumber, Walikota Siddik tak hirau akan itu nota. Buktinya hingga pertengahan Januari lalu, pihak swasta yang memborong itu pungutan tetap saja rajin memetik duit recehan dari kocek para pedagang. Bahkan hal ini berbuntut agak panjang juga, sebab "pihak Propinsi Kalimantan Selatan merasa kehormatannya tersinggung". Rasa tak enak ini bertambah lagi, ketika sepucuk surat dari Kotamadya Banjarmasin melayang ke kantor gubernur. Isinya, membela dan tentu saja membenarkan tindakan itu. "Apalagi ini tidak diborong kan, tapi dengan sistim kolektor", jawab surat itu seperti dikutip sumber TEMP0 di kantor gubernur. Di Martapura Dengan sistim borongan atau kolektor tampaknya takpenting. Sebab pihak propinsi agaknya tetap bertahan agar cara-cara itu ditiadakan. Sebaliknya dari pihak Kotamadya Banjarmasin agaknya masih mencoba bertahan. Setidak-tidaknya menunggu sampai masa kontrak yang 2 kali 6 bulan itu berakhir. Tapi rasa tak senang Gubernur Subardjo terhadap main borong retribusi itu, ada pengaruhnya bagi kota Martapura. Semula untuk mengejar target APBD, Pemerintah Daeran Kabupaten Banjar sudah berazam juga untuk memborongkan pengelolaan pasar yang ada di kawasan kota Martapura - menyusul pemborongan pungutan terhadap mobil dan bis di terminal kepada pihak swasta. Dan serentak dengan tegoran Gubernur Subardjo kepada Kotamadya Banjarmasin itu, Kabupaten Banjar pun mengurungkan niatnya. Menurut Said Abdullab, Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Banjar, pungutan retribusi pasar akan dilakukan oleh para juruh tagih kantor pasar. "Kantor pasar ditargetkan memungut Rp 400.000 sebulan, selebihnya buat merangsang para petugas pasar", ucap Said Abdullah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus