Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasar: Masih Tutup Muka

Pembangunan pasar dengan modal masyarakat membuat golongan ekonomi lemah tergusur. dki akan membangun 33 pasar dengan dana rp 5,670 milyar dari pusat. ke butuhan pasar 150 ha baru tersedia 90 ha. (kt)

25 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA saja dapat laku dijual di Jakarta. Sebaliknya, di Ibukota RI ini semua kebutuhan yang sebelumnya mungkin tak terfikirkan akan dengan mudah didapat. Pasar-pasar pun tumbuh dengan suburnya, hampir di semua sudut jalan. Mulai dari pasar umum yang menjual segala rupa kebutuhan sehari-hari, sampai pasar untuk barang-barang khusus: sepatu-sepatu bekas, kacamata atau ruji-ruji sepeda. Tersebutlah misalnya sebuah pasar loak pakaian jadi di Jalan Minangkabau. Pada mulanya di awal tahun 70-an, duduk-duduklah dengan malasnya beberapa orang tua yang iseng. Lama-lama mampir pula beberapa orang pengumpul barang-barang bekas, seperti botol dan baju-baju singlet tua di atas keranjang pikulan. Mereka ngobrol menghabiskan hari-hari yang panas. Tapi ketika hari-hari berikutnya pemandangan ini masih terlihat, terlintas di benak orang-orang yang menyaksikannya untuk menggabungkan diri sambil menghamparkan berbagai jenis barang dagangan. Sambil beromong-omong tak ada salahnya mengadu untung berjualan ala kadarnya - begitu barangkali fikir mereka. Tak disangka pemandangan itu dengan cepatnya mengundang minat yang semakin banyak, dari hari ke hari. Maka terlihatlah seperti keadaannya sekarang: deretan tenda darurat yang penuh dengan gantungan pakaian jadi bekas. Dan tak lupa di sekitar itu terhampar pula barang-barang dagangan yang terkadang aneh dipandang: koran bekas, sepatu reot, rantang peot dan seterusnya. Kisah munclnya sebuah pasar serupa itu juga terjadi di pelosok-pelosok kota, terutama di daerah-daerah perkampungan baru. Mereka yang berjualan tidak hanya yang cuma sekedar mencoba-coba, tapi juga terdiri dari penjual-penjual yang terlempar dari pasar-pasar yang telah dibangun oleh fihak PD Pasar Jaya. Para penjual kapur sirih, maupun pedagang-pedagang yang hanya mengandalkan sekilo dua kilo kemiri di paar Senen beberapa tahun lalu, tak sedikit yang mendirikan bangku-bangku darurat di belakang stasiun Senen sejak Pusat Perbelanjaan Senen yang modern itu berdiri. Pungutan Apakah dengan sendirinya pasar-pasar di pinggir jalan itu dianggap resmi? Menurut Suhadi, Dirut PD Pasar Jaya, tidak. Tapi "untuk menertibkan pedagang-pedagang yang berjualan di luar pasar milik PD Pasar Jaya, kita tak punya wewenang menindaknya", tambah Suhadi. Dirut PD Pasar Jaya itu mengakui dari segi Peraturan Daerah, pasar-pasar liar itu tak dibenarkan. Tapi tambahnya, karena walikota bersangkutan beranggapan pasar tersebut dibutuhkan masyarakat setempat, dengan setengah tutup muka terpaksa dibiarkan. Dan barangkali karena ini pula, maka walaupun namanya liar, para pedagang di pasar-pasar serupa itu selalu menerima berbagai pungutan. Di Pasar Gembrong Rawasari misalnya, menurut para pedagang di sana setiap harinya tak kurang dari 6 orang petugas merelakan pungutan terhadap mereka. Jumlah pungutan itu macam-macam, mulai dari yang hanya Rp 15, Rp 25 sampai Rp 50. Di balik karcis memang ada tertera tulisan: Bukan izin tempat berdagang. Tentang nasib para pedagang yang terlempar dari pasar-pasar yang sekarang telah disebut tempat belanja modern, Suhadi ada berkisah. Gambaran bahwa pembangunan pasar di Jakarta membuat golongan ekonomi lemah tergusur, tak bisa dilihat secara sepintas saja, kata Suhadi. Tapi harus dilihat juga bahwa DKI membangun pasar tanpa modal, sementara tuntutan kebutuhan akan adanya tempat belanja itu benar-benar mendesak. Dalam keadaan serupa itu Pemerintah DKI mengusahakan pembangunan pasar dengan modal masyarakat. "Artinya masyarakat yang membiayai", ujar Suhadi. Akibatnya harga kios atau los jadi mahal. Tanpa disadari keadaan serupa itu menimbulkan akibat munculnya golongan pedagang yang mampu dan yang tak mampu. Akibat selanjutnya terasa lebih tak menyenangkan. Maka dicoba dengan memakai kredit. Tapi karena bunga dan jangka waktu pengembalian yang singkat, tak bisa dielakkan menyebabkan harga kios tetap mahal dan tak terjangkau oleh pedagang modal lemah. Lalu timbul KIK (kredit investasi kecil). Ternyata inipun tak mencapai sasaran. Karena prosedur terlampau panjang di samping persyaratannya dirasakan para pedagang modal lemah cukup berat. Inpres Agak beruntung bahwa dari dana Pemerintah Pusat sebanyak Rp 20 milyar untuk bidang pasar, DKI memperoleh sebanyak Rp 5,670 milyar. Dibanding daerah lain - Jawa Barat mendapat Rp 1,8 milyar, Jawa Tengah 2 milyar misalnya tentu jumlah itu cukup besar. Dana yang biasa disebut untuk Inpres Pasar itu merupakan kredit berjangka 10 tahun dengan masa tenggang 3 tahun, tanpa bunga. Kios-kios di pasar Inpres itu kelak hanya boleh disewakan kepada para pedagang. Sewa itupun dipungut paling lama sebulan sekali. Karena itu "hendaknya tempat-tempat pada pasar yang akan dibangun dengan kredit Inpres tersebut semata-mata diberikan kepada pedagang-pedagang ekonomi lemah /pribumi" begiti anjuran DPRD-DKI melalui rekomendasinya kepada Pemerintah DKI ketika mengesahkan penggunaan kredit itu akhir bulan lalu. Dengan penduduk sebanyak 5,6 juta, Ibukota RI ini membutuhkan areal pasar seluas 150 hektar. Hingga akhir tahun 1976 ini jumlah pasar yang ada baru mencapai 99 buah dengan areal 90 hektar. Dengan kredit Inpres Pasar sebanyak Rp 5,670 milyar tadi DKI merencanakan membuat 33 buah pasar yang tersebar di 5 wilayah walikota. Masing-masing: 6 pasar di Jakarta Utara, 10 buah di Jakarta Pusat, 6 pasar di Jakarta Timur, 4 di Jakarta Barat dan 7 buah di Jakarta Selatan. Bagi masing-masing wilayah juga disediakan anggaran cadangan untuk membangun sebuah pasar tambahan bila dipandang mendesak. Dengan Pasar Inpres kelak, akan terselesaikan dengan sendirinya kerepotan soal kios selama ini? Begitulah yang di harapkan, lebih-lebih bila penentuan siapa-siapa yang berhak menyewa kios atau los diatur secara benar. Sebab agaknya para pedagang yang sekarang tersebar di emper-emper rumah penduduk selama ini selalu melihat jumlah tebusan maupun sewa yang tinggi bila mereka berada di kios-kios yang teratur rapi. "Saya mau saja mendapat kios kalau tak harus membayar mahal", ujar seorang penjual minan anak-anak di pasar Gembrong Rawasari. Menurut rencana pasar ini termasuk yang akan di-Inpres-kan Pemerintah DKI.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus