DI Irian Jaya, baru sekitar 40% tanah yang digarap dan dihuni
oleh manusia. Selebihnya, jangankan dijamah, diinjakpun belum.
Tapi di Jayapura yang letaknya menghadap teluk Cenderawasih,
rupanya kekurangan tanah datar. Kotanya meliuk setengah
lingkaran -- sempit memanjang, karena bukit nyaris menginjak
batas laut. Pemandangannya cukup indah dan inilah agaknya alasan
bekas Gubernur Irian Jaya, Acub' Zainal, untuk mendirikan
kantor gubernuran, di salah satu sudut di teluk itu. Di samping
dia juga membangun beberapa pemberhentian bis seperti Jakarta,
taman bunga setelah pasar ikan digeser, lampu-lampu yang kalau
malam kota jadi semakin semarak .
Tanpa tender?
Tahun 1976, prasarana yang diperkirakan akan menyemarakkan kota,
jadi morat marit. Pot-pot kembang yang ditepi jalan, kini lebat
dengan rumput dan tanaman liar lainnya. Kebun tepi pantai dekat
kelab malam bawah tanah sudah menyemak. Lampu-lampu hilang tanpa
bekas dan tinggallah bangku-bangku dingin terbuat dari beton
yang kabarnya kini jadi tempat bercumbu rayu.
Gubernur yang sekarang, R. Soetran, bukannya tidak senang akan
keindahan. Tapi bekas Bupati Tenggralek ini lebih senang
mencengkehkan setiap jengkal tanah yang ada di Jayapura dan
desa-desa sekitarnya. Memang pohon-pohon cengkeh ini belum
menghasilkan duit, karena batangnya sebagian besar masih
setinggi orang. Kabarnya banyak pula yang mati sebelum berbuah.
Tapi apa yang ada di benak Gubernur Soetran ialah bagaimana
menaikkan pendapatan daerah ini, agar tidak terlalu tergantung
dengan jatah uang dari Pusat. Sebagai contoh, penerimaan
anggaran dari Pusat sebesar Rp 9,5 milyar (anggaran 1974/1975).
Ditambah sumbangan pengganti ADO 500 juta, pendapatan daerah
sendiri cuma Rp 267,9 juta. Walhasil, Pemda mengalami defisit
sejumlah Rp 8 milyar. Di antaranya Rp 2,1 milyar karena
pembangunan kantor gubernuran. Kabarnya, pembangunan kantor ini
tanpa melalui tender terbuka dan sebuah PT telah berani
membangun kantor yang memakan biaya Rp 4,5 milyar dengan
menduitinya terlebih dulu .
Beban Soetran
Anggaran Belanja yang membengkak melebihi ketentuan Pusat ini
hingga kini berlarut-larut semakin besar. Di saat Acub Zainal
diganti oleh Soetran tahun kemarin, jumlah hutang telah
berjumlah Rp 9.377.762.617,24. Warisan Acub inilah yang membuat
Soetran pusing tujuh keliling. Lagipula hampir semua proyek
belum selesai. Yang telah rampung cuma rumah Gubernur (yang
mempunyai kolam renang dan pendopo cukup luas) di mana bagian
belakangnya mempunyai pemandangan menghadap ke laut. Kotaraja
yang tadinya oleh Acub direncanakan sebagai tempat tinggal
pegawai negeri kini sebagian besar dijadikan gedung-gedung
perkantoran. Kotaraja yang dalam jarak mobil mengambil waktu
sekitar satu jam, oleh pihak Belanda tadinya disebut Hollandia
Binnen. Rencananya, Belandapun akan menjadikan Hollandia Binnen
pusat pemerintahan dan perkantoran. Bukan saja karena lebih
dekat dengan lapangan udara Sentani dan tanah datar yang lebih
luas, Hollandia yang kini disebut Jayapura cuma baik untuk
pelabuhan.
Tapi apa lacur, Acub lebih menyenangi teluk Cenderawasih untuk
kemudian dibangun kantor gubernuran di tahun 1974. Arsitektur
gedung tidak begitu impresif dan kini 75 telah rampung. Gedung
bertingkat dua ini banyak makan semen karena dibuat dari beton.
Mendagri Amir Machmud dan Menteri Perhubungan Emil Salim yang
datang ke sana di minggu terakhir Agustus, juga diajak meninjau
gedung gubernuran yang belum juga rampung. Karena biaya untuk
merampungkannya masih kurang Rp 1,2 milyar. Amirmachmud ada
mengatakan bahwa kekurangan ini akan dipenuhi dalam anggaran
tahun mendatang yaitu Rp 600 juta untuk perlengkapan kantor dan
jumlah yang sama untuk tempat parkir (yang karena tanahnya
sempit maka laut harus ditimbun tanah dan karang).
Yang ketiban pulung pula adalah PT-PT yang hingga kini
piutangnya belum dilunasi Pemda. Dalam tanyajawab antara DPRD
dan Pemda pernah Ketua Bappeda Drs. Sareco berucap bahwa hutang
Pemda akan dilunasi secara cicil dalam dua kali tahun anggaran
(1976/1977 dan 1977/1978). Kemungkinan besar beban hutang
pembuatan kantor gubernuran terpaksa diambil oper Pusat. Tapi
bagaimana dengan hutan-hutang yang lain yang kini berujud
asrama APDN, pembuatan jalan dan jembatan Dossay -- Depapre,
jalan baru dari Doyolama --Boroway? Itu semua berada di sekitar
Jayapura. Belum dihitung rumah-rumah mentereng yang dihuni oleh
Bupati atau ketua DPRD, dan pejabat Pemda lainnya. Sehingga
banyak kini kabupaten merasa iri hati karena daerahnya belum
kebagian pembangunan. Biarpun Mendagri Amirmachmud dalam
suratnya tanggal 12 Januari 1976 menekankan, bahwa sebaiknya
"pembangunan mengutamakan pengembangan daerah minus".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini