Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Antara Selera Dua Gubernur

Acub zainal mewariskan hutang lebih dari 9 milyar kepada penggantinya, sutran, selaku gubernur irja. acub mengutamakan pembangunan gedung, jalan. sutran berusaha meningkatkan penghasilan cengkih.

25 September 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Irian Jaya, baru sekitar 40% tanah yang digarap dan dihuni oleh manusia. Selebihnya, jangankan dijamah, diinjakpun belum. Tapi di Jayapura yang letaknya menghadap teluk Cenderawasih, rupanya kekurangan tanah datar. Kotanya meliuk setengah lingkaran -- sempit memanjang, karena bukit nyaris menginjak batas laut. Pemandangannya cukup indah dan inilah agaknya alasan bekas Gubernur Irian Jaya, Acub' Zainal, untuk mendirikan kantor gubernuran, di salah satu sudut di teluk itu. Di samping dia juga membangun beberapa pemberhentian bis seperti Jakarta, taman bunga setelah pasar ikan digeser, lampu-lampu yang kalau malam kota jadi semakin semarak . Tanpa tender? Tahun 1976, prasarana yang diperkirakan akan menyemarakkan kota, jadi morat marit. Pot-pot kembang yang ditepi jalan, kini lebat dengan rumput dan tanaman liar lainnya. Kebun tepi pantai dekat kelab malam bawah tanah sudah menyemak. Lampu-lampu hilang tanpa bekas dan tinggallah bangku-bangku dingin terbuat dari beton yang kabarnya kini jadi tempat bercumbu rayu. Gubernur yang sekarang, R. Soetran, bukannya tidak senang akan keindahan. Tapi bekas Bupati Tenggralek ini lebih senang mencengkehkan setiap jengkal tanah yang ada di Jayapura dan desa-desa sekitarnya. Memang pohon-pohon cengkeh ini belum menghasilkan duit, karena batangnya sebagian besar masih setinggi orang. Kabarnya banyak pula yang mati sebelum berbuah. Tapi apa yang ada di benak Gubernur Soetran ialah bagaimana menaikkan pendapatan daerah ini, agar tidak terlalu tergantung dengan jatah uang dari Pusat. Sebagai contoh, penerimaan anggaran dari Pusat sebesar Rp 9,5 milyar (anggaran 1974/1975). Ditambah sumbangan pengganti ADO 500 juta, pendapatan daerah sendiri cuma Rp 267,9 juta. Walhasil, Pemda mengalami defisit sejumlah Rp 8 milyar. Di antaranya Rp 2,1 milyar karena pembangunan kantor gubernuran. Kabarnya, pembangunan kantor ini tanpa melalui tender terbuka dan sebuah PT telah berani membangun kantor yang memakan biaya Rp 4,5 milyar dengan menduitinya terlebih dulu . Beban Soetran Anggaran Belanja yang membengkak melebihi ketentuan Pusat ini hingga kini berlarut-larut semakin besar. Di saat Acub Zainal diganti oleh Soetran tahun kemarin, jumlah hutang telah berjumlah Rp 9.377.762.617,24. Warisan Acub inilah yang membuat Soetran pusing tujuh keliling. Lagipula hampir semua proyek belum selesai. Yang telah rampung cuma rumah Gubernur (yang mempunyai kolam renang dan pendopo cukup luas) di mana bagian belakangnya mempunyai pemandangan menghadap ke laut. Kotaraja yang tadinya oleh Acub direncanakan sebagai tempat tinggal pegawai negeri kini sebagian besar dijadikan gedung-gedung perkantoran. Kotaraja yang dalam jarak mobil mengambil waktu sekitar satu jam, oleh pihak Belanda tadinya disebut Hollandia Binnen. Rencananya, Belandapun akan menjadikan Hollandia Binnen pusat pemerintahan dan perkantoran. Bukan saja karena lebih dekat dengan lapangan udara Sentani dan tanah datar yang lebih luas, Hollandia yang kini disebut Jayapura cuma baik untuk pelabuhan. Tapi apa lacur, Acub lebih menyenangi teluk Cenderawasih untuk kemudian dibangun kantor gubernuran di tahun 1974. Arsitektur gedung tidak begitu impresif dan kini 75 telah rampung. Gedung bertingkat dua ini banyak makan semen karena dibuat dari beton. Mendagri Amir Machmud dan Menteri Perhubungan Emil Salim yang datang ke sana di minggu terakhir Agustus, juga diajak meninjau gedung gubernuran yang belum juga rampung. Karena biaya untuk merampungkannya masih kurang Rp 1,2 milyar. Amirmachmud ada mengatakan bahwa kekurangan ini akan dipenuhi dalam anggaran tahun mendatang yaitu Rp 600 juta untuk perlengkapan kantor dan jumlah yang sama untuk tempat parkir (yang karena tanahnya sempit maka laut harus ditimbun tanah dan karang). Yang ketiban pulung pula adalah PT-PT yang hingga kini piutangnya belum dilunasi Pemda. Dalam tanyajawab antara DPRD dan Pemda pernah Ketua Bappeda Drs. Sareco berucap bahwa hutang Pemda akan dilunasi secara cicil dalam dua kali tahun anggaran (1976/1977 dan 1977/1978). Kemungkinan besar beban hutang pembuatan kantor gubernuran terpaksa diambil oper Pusat. Tapi bagaimana dengan hutan-hutang yang lain yang kini berujud asrama APDN, pembuatan jalan dan jembatan Dossay -- Depapre, jalan baru dari Doyolama --Boroway? Itu semua berada di sekitar Jayapura. Belum dihitung rumah-rumah mentereng yang dihuni oleh Bupati atau ketua DPRD, dan pejabat Pemda lainnya. Sehingga banyak kini kabupaten merasa iri hati karena daerahnya belum kebagian pembangunan. Biarpun Mendagri Amirmachmud dalam suratnya tanggal 12 Januari 1976 menekankan, bahwa sebaiknya "pembangunan mengutamakan pengembangan daerah minus".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus