Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI jalanan Bagdad yang sibuk, diapit teman-temannya, Asa'ad al-Yassiri mengeluarkan secarik kertas lusuh. Kertas berupa catatan medis dari kesatuan militer Irak itu mengenang kembali peristiwa dua pekan lalu saat dia ikut ambil bagian dalam perlawanan terhadap kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Ketika itu satuan pasukannya merupakan kelompok terakhir yang meninggalkan Ramadi, salah satu kota penting di Irak yang akhirnya jatuh dalam penguasaan ISIS. "Peluru menghantam jaket antipeluru saya dan menembus lengan kiri," Yassiri menceritakan kembali pertempuran itu kepada CNN, Selasa pekan lalu. Seketika dia jatuh ke tanah dan prajurit lain menyeretnya ke tempat aman.
Melihat kekuatan ISIS yang jauh lebih besar dan kurangnya amunisi, akhirnya pasukan Irak memutuskan mundur dari ibu kota Provinsi Anbar itu. Selain kalah persediaan senjata, banyak prajurit Irak yang terluka dalam pertempuran. Penguasaan ISIS atas Ramadi sejak 17 Mei ini serta-merta menimbulkan kekhawatiran karena kota itu hanya berjarak 112 kilometer dari Bagdad.
Menurut Bill Roggio, peneliti dari lembaga Defense of Democracies di Amerika Serikat, melalui kemenangannya di Ramadi, "ISIS menunjukkan kesadaran taktik yang baik." Namun Menteri Pertahanan Amerika Ash Carter berpendapat lain. Menurut dia, Ramadi jatuh ke tangan ISIS karena pasukan Irak tak memiliki semangat bertempur. "Meski jumlahnya lebih banyak dari milisi ISIS, sayangnya mereka tak menunjukkan keinginan bertempur," kata Carter.
Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi mengakui pasukannya kewalahan menghadapi persenjataan musuh. Pasukan Irak memiliki tekad untuk bertempur, tapi mereka harus menghadapi serangan ISIS yang muncul entah dari mana. "Dengan truk lapis baja yang diisi bahan peledak, dampaknya bagaikan bom nuklir kecil," ujarnya.
Kini ISIS menguasai sebagian besar Provinsi Anbar, yang berada dekat dengan perbatasan Suriah. Anbar terletak di seberang pos operasi militer Irak terdepan di Provinsi Karbala, kota suci muslim Syiah. Dalam beberapa bulan terakhir, ISIS memang mengincar kota itu dan pernah bergerak maju hingga jarak 8 kilometer dari Karbala. Upaya ISIS gagal karena kota itu dijaga sangat ketat.
Mayor Jenderal Qais el-Muhammadawi, komandan Operasi Efrat, mengatakan kepada Sky News, untuk saat ini Karbala masih aman. Namun kondisi Karbala lebih aman jika Ramadi kembali direbut dari tangan ISIS. Satu-satunya cara untuk merebut Ramadi dan Anbar, menurut dia, adalah tentara harus bekerja sama dengan milisi Syiah dan milisi suku-suku Sunni.
Belum sempat ada serangan balik, tak berselang lama ISIS dilaporkan telah merebut kota kuno bersejarah Palmyra di Suriah pada 21 Mei lalu. "ISIS mengontrol hampir semua area di Palmyra setelah pasukan pemerintah mundur, kecuali yang ada penjara di wilayah timur dan markas intelijen militer di wilayah barat," kata Direktur Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia Rami Abdel Rahman.
Jatuhnya Ramadi dan Palmyra menimbulkan kesan koalisi melawan ISIS yang dipimpin Amerika tidak efektif. Menurut laporan terbaru The New York Times, strategi serangan udara ke markas ISIS yang dilancarkan Amerika justru lebih banyak memakan korban jiwa warga sipil.
Seorang perwira Irak di Anbar punya dalih. "Koalisi internasional tidak memberi dukungan yang cukup dibandingkan dengan kemampuan ISIS di tanah Anbar. Serangan udara Amerika di Anbar tak memungkinkan aparat keamanan menahan dan menghadapi serangan ISIS," ucap Mayor Muhammad al-Dulaimi, perwira itu.
Para pejabat Amerika mengakui milisi ISIS termasuk pejuang tangguh dan adaptif. Mereka dapat berbaur dengan warga sipil dan komandan ISIS secara rutin mengubah metode komunikasi sehingga sulit terdeteksi. ISIS juga memanfaatkan peristiwa badai pasir, yang semakin menyulitkan pasukan Irak mengidentifikasi target serangan.
"Kami selalu mengatakan situasi ini akan sulit dan akan ada beberapa kemunduran," kata Letnan Jenderal John Hesterman III, Komandan Sekutu Udara, dalam sebuah pernyataan dari markasnya di Qatar.
Semakin masifnya serangan ISIS juga menunjukkan adanya perubahan strategi secara besar-besaran. Mereka memanfaatkan kesalahan strategi koalisi Amerika. Mereka menggunakan metode berjuang dengan membaur bersama masyarakat sipil untuk menahan dan bersembunyi dari gempuran udara koalisi Amerika. Pasukan ISIS jadi tak mudah dikenali.
Kelompok pemberontak di Irak dan Suriah itu juga sengaja menyembunyikan beberapa tahanan di dalam bangunan-bangunan yang mereka kuasai—termasuk beberapa bangunan utama di Raqqah, Suriah—untuk menghindari serangan udara. Jika serangan Amerika menewaskan warga sipil, ISIS akan menggunakannya sebagai bahan propaganda untuk mengajak warga setempat "melawan Barat" dan merekrut mereka menjadi bagian dari ISIS.
Sebenarnya kendala utama kampanye serangan udara adalah penolakan Gedung Putih mengotorisasi pasukan Amerika bertindak sebagai penanda tempat di medan pertempuran dan penunjuk lokasi bagi serangan bom sekutu. Tidak adanya pengendali udara menjadi masalah tersendiri dalam pertempuran di wilayah perkotaan seperti Ramadi; pasukan ISIS tak selalu dapat dengan mudah diidentifikasi oleh pilot pesawat di udara.
"Amerika menetapkan kebijakan dan prosedur yang ketat untuk meminimalkan korban dari pihak sipil, tapi tanpa pasukan tempur di darat, sulit mengevaluasi seberapa sukses kebijakan tersebut," ujar Federico Borello, Direktur Eksekutif di Center for Civilians in Conflict, sebuah kelompok advokasi.
Amerika telah melatih pasukan keamanan Irak dan memasok senjata untuk mendukung serangan udara yang dilancarkan koalisi. Namun pasukan darat yang didukung Amerika tak mampu mencegah ISIS di beberapa wilayah utama. Tudingan kesalahan pun dialamatkan kepada Presiden Barack Obama, yang dinilai tak memiliki strategi jangka panjang yang memadai untuk mengalahkan ISIS.
Karena Amerika tak mampu meraih kemenangan lewat darat, akan juga sulit mengumpulkan data intelijen mengenai kemungkinan target dari serangan udara. Yaroslav Trofimov menulis dalam situs The Wall Street Journal pekan lalu bahwa Amerika kini memiliki tiga pilihan dalam memerangi ISIS: melanjutkan apa yang sudah dijalankan, meningkatkan pertempuran, atau menyerah. Tapi memang tak ada satu pun pilihan ini yang menarik.
Dalam sebuah wawancara dengan The Atlantic pekan lalu, Obama menegaskan bahwa Amerika tak akan meninggalkan pertempuran melawan ISIS. "Jika Irak sendiri tak memiliki keinginan atau kemampuan mengakomodasi dari sisi politik yang diperlukan pemerintah, jika mereka tak bersedia berjuang bagi keamanan negara mereka sendiri, kami juga tak bisa melakukannya untuk mereka," kata Obama.
Tak mau dianggap gagal, Departemen Pertahanan Amerika merilis sebuah laporan. Dalam laporan itu disebutkan serangan udara koalisi Amerika telah mencapai beberapa keberhasilan dengan jumlah 4.200 serangan, menggunakan 14 ribu bom dan senjata lain. Serangan itu juga telah menewaskan sekitar 12.500 anggota ISIS dan membantu pasukan Irak merebut kembali 25 persen wilayah mereka.
Rosalina (CNN, Business Insider, The New York Times, BBC)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo