Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pat-pat Gulipat Buku Hibah

Distribusi buku ke sekolah sering menjadi ajang korupsi. Kualitas buku jelek dan siswa tetap harus membeli buku sendiri.

12 September 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ariana, 38 tahun, tak habis mengeluh. Tiap tahun ia harus selalu membeli buku baru untuk anaknya yang kini duduk di kelas empat sebuah sekolah dasar negeri di Tangerang. Salah satunya buku matematika. ”Anak saya tak pernah mendapat buku matematika gratis dari sekolah,” katanya.

Sekalipun pernah mendengar program block grant, Ariana tak pernah tahu apakah sekolah anaknya termasuk yang mendapat dana tersebut. Tiada keterbukaan tentang program itu. Banyak sekolah yang tak pernah memberitahukan bahwa siswanya sebetulnya mendapat buku gratis lewat program block grant.

Block grant adalah program hibah dari pemerintah untuk sekolah. Bentuknya bisa bermacam-macam, seperti pengadaan buku, perbaikan ruang kelas, dan pembelian peralatan untuk mata pelajaran ilmu pengetahuan alam. Pada 2003, Departemen Pendidikan Nasional meluncurkan program block grant untuk pengadaan buku pelajaran matematika untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiah.

Dananya diambil dari APBN Rp 150 miliar. Departemen Keuangan melalui Direktur Jenderal Anggaran menyalurkan dana tersebut ke 30 provinsi di seluruh Indonesia. Tiap daerah menerima Rp 8 juta hingga Rp 15 juta. Dana yang masuk ke daerah itu disebut dana dekonsentrasi.

Uang mengalir dari Departemen Keuangan masuk ke rekening dinas provinsi, lalu ke rekening sekolah. Setelah menerima dana block grant, sekolah wajib membeli buku sesuai dengan petunjuk teknis yang dikeluarkan Pusat Perbukuan, di bawah Sekretaris Jenderal Departemen Pendidikan Nasional.

Buku yang dibeli adalah buku yang telah lolos verifikasi di pusat. Verifikasi dilakukan terhadap buku matematika yang dibuat 30 penerbit. Dari sana dibuat peringkat dan akhirnya yang lolos hanya 8 buku. Sekolah yang telah menerima dana block grant wajib membeli salah satu dari 8 buku matematika tersebut.

Sayang, dalam pelaksanaannya, sering terjadi penyimpangan. Misalnya sekolah tak membeli buku yang lolos verifikasi. Ada lagi penggunaan sebagian dana block grant untuk memperbaiki ruang kelas. Atau ada kongkalikong dari sekolah untuk membeli buku matematika dari satu penerbit saja.

Hasil monitoring dan evaluasi Departemen Pendidikan Nasional mencatat ada penyimpangan 10-15 persen pada pengelolaan dana block grant di daerah. Kendati banyak penyimpangan, toh program itu tetap berlanjut pada 2004 dan 2005.

Pada tahun 1990-an penyimpangan program block grant sempat menggila. Ketika itu pengelolaan buku menjadi monopoli pemerintah. Buku dicetak Balai Pustaka, lalu dibagikan gratis ke sekolah-sekolah. Tapi ternyata tak terpakai dan hanya menjadi pajangan.

Praktek kongkalikong antara penerbit dan oknum pejabat sering terjadi. ”Orang biasa nempel pejabat anu supaya dapat proyek,” kata Indra Djati Sidi, bekas Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah.

Karena banyak penyimpangan, pola itu diganti. Monopoli Balai Pustaka dihapus, pembelian buku disebar ke semua penerbit. Dengan dana utang dari Bank Dunia, pemerintah membuat tender kepada penerbit-penerbit. Tapi model ini juga masih menuai masalah.

Majalah ini dan Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan penyimpangan terjadi mulai dari penyuapan agar penerbit bisa mendapatkan proyek, hingga pembelian kertas yang diarahkan ke satu perusahaan tertentu.

Pelaku korupsi tidak hanya penerbit, tapi juga oknum pejabat di Departemen Pendidikan Nasional. Akibat perbuatan batil itu, Bank Dunia menerbitkan daftar hitam bagi 13 individu dan 27 penerbit bermasalah.

Seiring dengan berjalannya era otonomi, penyimpangan pun menyebar ke daerah. Pemerintah Kabupaten Batang di Jawa Tengah dan Kabupaten Sleman di Yogyakarta, misalnya, menggunakan dana APBD Rp 7,3 miliar untuk pengadaan buku sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas.

Tak eloknya, bupati dan pimpinan DPRD menunjuk langsung Balai Pustaka untuk menggarap proyek itu. Penunjukan langsung ini jelas melanggar Keputusan Presiden No. 80 Tahun 2003, yang mengatur bahwa proyek di atas Rp 50 juta harus melalui tender. Pat-pat gulipat itu menghasilkan buku dengan kualitas jelek, seperti kertas diganti, materi dipadatkan, huruf diperkecil, dan jumlah halaman dikurangi.

Pengamat pendidikan Arif Rachman sepakat, perubahan sistem sentralisasi menjadi desentralisasi bisa memindahkan korupsi dari pusat ke daerah. Tapi pelaksanaan distribusi buku secara desentralisasi harus diselamatkan. Yang penting, buku yang dipakai siswa benar-benar diperlukan siswa bersangkutan. ”Yang jadi masalah, sekarang negosiasi antara kepala sekolah dan penerbit masih sering terjadi,” katanya.

Eni Saeni, Lis Yuliawati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus