Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah tak lagi menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Indra Djati Sidi kini jadi sorotan. Dia dituduh melakukan korupsi proyek pengadaan buku senilai Rp 150 miliar pada 2003. Di tengah santernya berita ini, dia malah terbang ke Amerika. Jelas saja kepergiannya mengundang tanya.
Sejauh mana keterlibatan bekas pembantu rektor Institut Teknologi Bandung itu? Wartawan Tempo Eni Saeni dan Arif Kuswardono mewawancarai Indra, yang didampingi pengacaranya, Lutfi Hakim, di Wisma Kodel, Jakarta, Rabu pekan lalu.
Ketika tuduhan korupsi sedang santer, mengapa Anda justru pergi ke Amerika?
Tuduhan itu absurd. Saya pernah diperiksa di Mabes Polri pada 2 Juni 2004, terkait dengan kasus dana block grant 2003. Tapi, setelah pemeriksaan itu selesai, status saya belum tersangka. Setelah pensiun, pada 9 Agustus saya bertolak ke Amerika Serikat. Saya memenuhi undangan Kedutaan Besar RI dalam acara sarasehan hari ulang tahun RI ke-60. Setelah itu saya diundang bicara di Voice of America tentang pendidikan di Indonesia.
Di Amerika saya membaca Internet, ada pemberitaan bahwa saya akan dijemput Interpol karena dianggap melarikan diri. Gila aja, mantan dirjen melarikan diri karena dituduh korupsi. Maka jadwal pulang saya percepat menjadi tanggal 1 September, padahal rencananya saya baru pulang pada 8 September.
Apa yang Anda jumpai sekembali ke Indonesia?
Terkait dengan tuduhan itu, sebaiknya saya jelaskan kasusnya dari awal. Pada 2003, Departemen Pendidikan Nasional memiliki program block grant, yakni penyaluran subsidi buku matematika untuk sekolah dasar/madrasah ibtidaiah. Dananya diambil dari APBN, nilainya Rp 150 miliar. Departemen Keuangan mengirim dana itu ke 30 provinsi. Setiap daerah menerima Rp 8 juta hingga Rp 15 juta.
Dana ke daerah itu disebut dana dekonsentrasi. Penanggungjawabnya gubernur. Dana dikirim ke sekolah-sekolah target. Lalu sekolah target diwajibkan membeli buku matematika yang telah lolos verifikasi.
Buku jenis apa yang lolos verifikasi?
Proses verifikasi dilaksanakan di Jakarta. Pusat Perbukuan yang berada di bawah sekjen Departemen Pendidikan Nasional mengumumkan program pengadaan buku matematika, penerbit mendaftar. Buku dari penerbit itu dinilai oleh tim independen di luar Departemen Pendidikan. Mereka adalah ahli matematika, perguruan tinggi, ahli pedagogi, ahli grafika, dan guru yang telah berpengalaman.
Selama melakukan penilaian, tim ini dikarantika di Puncak, Bogor, tidak boleh memakai hand phone dan berkomunikasi dengan dunia luar. Untuk menghindari keberpihakan, buku yang dinilai tidak dilengkapi identitas penerbit. Hasilnya, dari 30 buku, terpilih 8 buku matematika yang lolos verifikasi. Nah, sekolah yang menerima dana block grant wajib membeli salah satu dari 8 buku matematika tersebut.
Sejauh mana penyimpangan yang terjadi?
Memang ada beberapa penyimpangan di lapangan. Misalnya ada yang dana sisanya dipakai buat membetulkan genting, memperbaiki bangku, dan membeli buku tulis lain. Atau sekolah yang terkena rayuan pihak tertentu, membeli buku yang tidak lolos verifikasi. Ada juga sekolah yang dikoordinasi oknum dinas untuk membeli buku di satu penerbit. Itu semua adalah penyimpangan.
Bagaimana peran Anda, selaku pejabat yang mengawasi program ini?
Departemen Pendidikan Nasional hanya berfungsi melakukan monitoring dan evaluasi. Kita tak pernah terlibat dalam implementasi. Dana dekonsentrasi adalah tanggung jawab daerah.
Sejauh ini bagaimana status Anda di kepolisian?
Lutfi Hakim menjawab: Sampai saat ini belum ada panggilan untuk pemeriksaan sebagai tersangka. Klien saya juga belum pernah dibuatkan berita acara pemeriksaan, kecuali dia pernah diperiksa setahun lalu terkait dengan kasus block grant. Kita pernah menanyakan perkembangan status klien saya kepada penyidik. Jawabannya sejauh ini belum ada perkembangan apa-apa, masih seperti dulu. Tapi kok pemberitaan santer menyebut klien saya sebagai tersangka.
Apakah kasus block grant ini yang membuat Anda gagal menjadi salah satu dirjen di Departemen Pertahanan?
Ketika Pak Juwono Sudarsono (Menteri Pertahanan) mengusulkan saya menjadi salah satu dirjen, saya hormati. Juwono mengatakan you bagus scoringnya, tapi perlu mendapatkan clearance dulu dari BIN. Saya menjelaskan hal ini kepada BIN, dan clear, tak ada problem. Bahwa saya tak jadi dirjen, itu lain urusannya.
Kalau nanti tuduhan tak terbukti, apakah Anda akan menggugat?
Saya hormati penyelidikan di kepolisian. Karena kasus ini, toh nama saya sudah jelek. Anak saya perempuan malu jalan sama saya. Keluarga dan teman minta saya melakukan paparan. Tapi mereka positive thinking. Kalau saya mau korupsi, ya di pusat. Ngapain aku korupsi duitnya di sekolah yang ada di ujung Papua. Kalau saya buat buku di pusat, saya tunjuk teman untuk jadi pimpinan proyek, itu bisa ditengarai berpotensi KKN. Tapi ini kan tidak. Penyimpangan justru terjadi di daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo