Setelah bom Bali, bisnis tak pernah lagi semeriah dulu, khususnya untuk perajin kecil. Kadek Moyo—sehari-hari berkiprah sebagai pematung di Art Shop "Made Kuang" di Desa Sebatu, Tegalalang, Gianyar—belakangan selalu tampak murung. Karya-karyanya tidak dijamah pembeli. ''Situasinya sangat sulit sekarang," ujarnya, lesu. "Wisatawan mulai ada, tapi tidak ada yang belanja.''
Ketut Juniartawan, seorang perajin kayu kopi, juga mengkhawatirkan masa depan "Bali Tropis", sebuah showroom di Banjar Sapat, Gianyar, tempatnya bekerja. Omzetnya anjlok sehingga, "Kami sempat tidak mendapat jualan selama enam bulan," kata ayah seorang anak ini kepada TEMPO. "Saya hanya memakan gaji buta.''
Memang, sebelum ledakan di Kuta, Bali, 12 Oktober 2002, hasil kerajinan mereka banyak diincar wisatawan mancanegara. Ukiran Juniartawan yang mengikuti bentuk kayu kopi, dan pahatan Moyo pada kayu leci, benau, atau nangka, memang digandrungi turis asing. Tak sedikit dari karya mereka yang diekspor ke luar negeri.
Menurut Juniartawan, kerajinan kayu kopi muncul sebagai produk yang diunggulkan di Inggris dewasa ini. Bali Tropis, yang berdiri sejak 1997, sudah terbiasa melayani pelbagai permintaan dari Amerika, Prancis, Italia, Jerman, dan Swedia. Sedangkan hasil pahatan Moyo, berupa patung kepala dewi, naga, kursi ukir, ataupun kursi berbentuk tangan, biasanya memenuhi permintaan dari Amerika, Inggris, dan Australia. Setiap bulan, omzet mereka rata-rata mencapai Rp 20 juta-30 juta.
Namun, ledakan bom telah membuyarkan semuanya. Pelanggan yang datang beberapa bulan sekali sekarang raib entah ke mana. Ada juga yang memesan, tapi tiba-tiba membatalkan. Tak ayal, omzet penjualan menukik hingga nol persen. Sekarang, kendati turis sudah mulai berdatangan, menjual hasil kerajinan tak lagi semudah dulu.
Diakui oleh Moyo bahwa tiap dua bulan sekali pesanan masih ada, kendati nilainya sangat rendah—sekitar Rp 1 juta atau 2 juta. Padahal, dulu ia bisa menjual ke Eropa sampai Rp 5 juta. Akibatnya, bisnis Bali Tropis terseok-seok. Enam bulan yang lalu, nilai penjualannya hanya Rp 300 ribu-500 ribu tiap bulan. Barulah sejak Juni-Juli lalu penjualannya meningkat hingga Rp 1 juta-2 juta.
Akibat seretnya penjualan, perajin kayu kopi dari Buleleng pun terkena getahnya. Soalnya, para perajin memang baru bekerja kalau ada pesanan. Dihadapkan pada kondisi yang sulit, mereka pun nyaris kehilangan mata pencaharian. Terlebih-lebih karena mereka sangat bergantung pada turis asing, tanpa ada pasar alternatif. Umumnya, usaha kecil seperti Bali Tropis menjamur di sekitar pantai yang menjadi tujuan utama turis asing. Mereka memang gemar melancong ke pasar-pasar murah yang menjual berbagai atribut kerajinan tangan khas Bali. Ketika jumlah turis berkurang, usaha kecil itu pun gugur satu per satu.
Fenomena ini tak luput dari perhatian berbagai lembaga internasional yang mengkaji dampak ledakan bom Bali terhadap pengusaha kecil di Pulau Dewata. Sasaran penelitian adalah pedagang di pasar tradisional dan pantai-pantai, penjaja kerajinan tangan dan perajin, ataupun para sopir. Laporan UNDP yang diterbitkan 21 Juli lalu mengungkapkan bahwa nilai penjualan serta laba yang diraup merosot hingga 70 persen, sementara nilai balik modalnya menurun tajam hingga 60 persen.
Ibarat efek domino, rontoknya bisnis kecil ini berpengaruh pada sektor-sektor lainnya. UNDP menyebutkan, berkurangnya pendapatan ternyata hampir merata di seluruh Bali. Penyebabnya, kawasan lain di Bali tak lagi memperoleh transfer pendapatan dari wilayah wisata. Pandangan serupa juga dipaparkan Bank Dunia dalam laporannya pada Consultative Group on Indonesia (CGI) tahun ini.
Berdasarkan data Bank Dunia, setidaknya ada 2.000 pedagang kecil di sepanjang Pantai Kuta. Mereka menjajakan berbagai produk maupun jasa, seperti jasa manikur dan pijat (massage), kerajinan sarung, pelbagai makanan, hingga pembuatan tato tak permanen. Bank Dunia bersama-sama dengan UNDP, USAID, dan Universitas Udayana lalu melakukan survei terhadap 100 pedagang kecil di sana. Hasilnya dirangkum dalam buku berjudul Bali Beyond the Tragedy: Impact and Challenges for Tourism-Led Development in Indonesia.
Hasil survei itu mengejutkan. Sebelum pengeboman, lebih dari sepertiga pedagang bisa mereguk keuntungan lebih dari Rp 150 ribu setiap hari. Tapi sekarang hanya satu persen yang bisa menikmati penghasilan sebanyak itu. Sebagian besar hanya memperoleh di bawah Rp 75 ribu (96 persen) dan kurang dari Rp 15 ribu (28 persen) setiap hari. Padahal, penghasilan mereka meliputi 69 persen dari pendapatan rumah tangga. Bahkan, 40 persen responden mengaku hanya itulah satu-satunya sumber penghasilan mereka.
Tak aneh bahwa, jika iklim usaha tak kunjung membaik, sepertiga pedagang yang disurvei berniat menutup usahanya. Masalah timbul karena separuh dari mereka tak tahu harus "banting setir" ke mana. Mereka sendiri adalah penduduk asli, yang rata-rata telah berwirausaha di Kuta selama enam tahun dan mengecap hidup yang berkecukupan.
Bank Dunia melaporkan, tak sedikit pedagang kecil di Kuta yang memutuskan pulang kampung. Di sana mereka bergantung pada belas kasihan sanak keluarga dan hasil pertanian. Tapi, beralih profesi menjadi petani bukan perkara mudah—terutama bagi mereka yang telah lama menjadi "orang kota". Akhirnya, mereka terpaksa bekerja serabutan, menjual perabot rumah tangga, membiarkan pasangan mereka turut mencari nafkah, atau mengandalkan tabungan yang kian tipis.
Penelitian lain dilakukan Universitas Udayana terhadap usaha kecil menengah yang menghasilkan produk kayu, material, tekstil dan garmen, makanan, batu-batuan, serta perak dan besi. Dua bulan setelah tragedi itu, sekitar 56 persen perusahaan ternyata masih mampu memetik laba. Tapi, ada juga yang menurun produksinya (40 persen)—sebagian besar karena lemah di pemasaran (82 persen). Selain itu, mereka kewalahan melunasi pasokan bahan baku ataupun gaji pegawai. Akhirnya, walau tak ada pekerja yang dikenai PHK, mereka terpaksa memecat pekerja yang bekerja paruh waktu.
Menurunnya jumlah wisatawan ke Bali juga dirasakan para pedagang moped—kendaraan setengah sepeda motor setengah sepeda, karena memiliki setang dan pengayuh kaki seperti sepeda dan mesin layaknya sepeda motor. Sebelum bom, kendaraan beroda dua ini ramai lalu-lalang di jalanan di Bali dan diilustrasikan oleh Bank Dunia sebagai pertanda bahwa Bali lebih makmur dibanding daerah lainnya di Indonesia.
Namun, sejak tragedi di Kuta, penjual moped kehilangan pembeli sehingga penjualannya cuma 70 persen. Padahal harga sudah diturunkan hingga 15 persen. Ternyata pembeli tak lagi tertarik membeli yang baru—dengan model mutakhir. Mereka umumnya berminat pada kendaraan bekas atau model-model baru yang sudah dibongkar. Pasalnya, para pemilik sudah kesulitan melunasi kredit pembelian moped sehingga pembayarannya pun kian seret.
Para pedagang makin terpukul karena mengetahui adanya booming penjualan moped bekas karena pemiliknya butuh uang dengan cepat. Sebagai industri kecil, dampak penurunan penjualan itu langsung terasa. Akhirnya, satu per satu perabot rumah tangga melayang, semata-mata agar dapur tetap berkepul. "Walau bisnis saya cuma moped, saya juga bergantung pada (jumlah) wisatawan," tutur salah seorang pedagang seperti dikutip laporan Bank Dunia.
Meski sekian ribu pedagang gulung tikar, masih ada yang bertahan. Mereka umumnya adalah perajin kecil yang menjajakan barangnya pada toko-toko seni. Produk mereka relatif murah, tak mencapai ratusan ribu seperti yang dijual di art shop. Pasar mereka pun tak semata bergantung pada selera wisatawan asing. Mereka mampu melayani berbagai pesanan, tak hanya terpaku pada model yang tradisional—yang biasanya memang digemari bule.
Seorang di antaranya adalah Komang Sudiasa, perajin topeng dari Banjar Pejengaji, Gianyar. Beberapa hari setelah bom meledak 12 Oktober 2002, Sudiasa sempat menghentikan kegiatannya. Produksinya pun menurun. Tapi, tak lama bisnisnya kembali normal. "Saya tidak pernah merasakan krisis akibat bom itu," ungkap lelaki kelahiran Buleleng ini, lugu. Jumlah pesanan pun tetap stabil. "Sama saja, kadang banyak, kadang menurun. Tetapi, kalau dikatakan menurunnya diakibatkan bom, tidak juga."
Usaha Sudiasa memang sangat kecil dan memiliki satu pegawai saja. Setiap bulan ia menghasilkan 1.000 buah topeng dengan harga Rp 4.000-Rp 20.000. Topeng-topeng yang belum diwarnai itu didistribusikan ke berbagai art shop di penjuru Tegalalang, Ubud, Sanur, dan Kuta. Ia mengupah pegawainya sekitar Rp 20 ribu-Rp 30 ribu per hari. Tapi, jika pesanan perlu pengerjaan yang cepat, biasanya ia mencari tenaga tambahan.
Geliat usaha kecil itu juga dirasakan pembuat topeng lain, Ketut Dadi. Pria yang bergelut di bidang ini sekitar 7 tahun itu masih bekerja di salah satu perusahaan kecil kerajinan topeng di Desa Pejengaji, tak jauh dari rumah Sudiasa. Di sana ia bekerja bersama tiga orang temannya, menghasilkan karya yang sebagian besar berupa topeng modern, topeng asmat, atau model lain sesuai dengan pesanan.
Setiap hari, seorang perajin dapat menyelesaikan 50 topeng. Menurut dia, selain memenuhi pesanan berbagai art shop di kawasan Ubud, Kuta, dan Sanur, perusahaannya juga menerima pesanan langsung dari wisatawan bisnis. Karena itu, dengan entengnya Dadi mengatakan usahanya tak terimbas ledakan bom yang menewaskan 202 orang itu. "Buktinya, kita masih terus bekerja. Setiap ada order lebih besar, kami sering memanggil tenaga freelance," katanya.
Kecil itu indah, kata orang. Tapi, dalam konteks bom Bali, selain kecil juga harus jeli, gesit, cepat menangkap peluang, dan lincah mencari pasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini