Bencana bukanlah akhir segala-galanya. Lihat saja apa yang dilakukan pengusaha hotel dan kafe di Bali, Made Wiranatha, dan pengusaha kerajinan, I Gusti Agung Ayu Mas Budawati. Setelah bom meluluhlantakkan Kuta, kedua pengusaha ini nyaris gulung tikar. Jumlah wisatawan anjlok dari sekitar 4.000 turis per hari menjadi hanya seperempatnya. Rentetannya luar biasa: tingkat hunian hotel jatuh sampai di bawah 10 persen—sebelumnya rata-rata 70 persen—dan industri kerajinan pun terkena pukulan telak karena pembeli menyusut drastis.
Kadek, begitu Made Wiranatha biasa disapa, tiba-tiba dihantui kenyataan buruk yang mengerikan. Pria yang memulai bisnis di sektor konstruksi ini mengungkapkan bahwa tingkat hunian Bounty Hotel, yang dimilikinya bersama kakaknya, I Gde Wiranatha, langsung drop tinggal lima persen selama lebih dari empat bulan. Sebelum bom meledak, hotel itu hampir tak pernah kosong. Dia juga mesti menutup Paddy's Cafe—yang menjadi salah satu sasaran peledakan—selama berbulan-bulan. "Arus duit hampir nol," katanya mengenang.
Tapi Wiranatha tak mau menyerah begitu saja. Dia lalu mencoba menyiasati kemandekan bisnisnya dengan mencoba memasuki bisnis baru. Kadek memilih industri penerbangan. Alasannya sederhana: untuk mengisi hotel dan kafe miliknya, Wiranatha harus berani menjemput wisatawan di rumah mereka. Dan Australia menjadi sasaran utamanya. "Saya tak bisa hanya menunggu," katanya. Pada 16 Februari lalu, bendera Air Paradise resmi berkibar. Dengan bermodalkan dua pesawat Airbus A-300, maskapai ini menerbangi rute Denpasar-Perth dan Denpasar-Melbourne, masing-masing lima dan empat kali setiap pekannya.
Kadek mengakui tak mudah memasuki bisnis yang sama sekali baru ini. Di hari-hari awal beroperasi, kursi penumpang Air Paradise paling banter terisi 35 persen. Namun Kadek tak mau menyerah. Baginya, bisnis penerbangan merupakan perpanjangan kail untuk bisnisnya yang lain seperti hotel, restoran, dan kafe. Jadi, dia menjual tiket Air Paradise satu paket dengan perjalanan wisata di Bali. Dengan cara itu, sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau langsung terlampaui. "Orang Australia sudah tahu dan mengerti situasi Bali," katanya. Karena itu, Kadek tidak perlu merogoh kantong lagi untuk mempromosikan Bali.
Beberapa bulan terakhir ini, Kadek mulai menuai hasil yang menggembirakan. Tingkat isian Air Paradise terus meningkat hingga mencapai 70 persen. Keberhasilan ini akhirnya juga mendorong bisnis hotel dan kafenya. Tingkat hunian hotelnya sudah naik pesat sampai 80 persen. Dia juga membuka kembali Paddy's pada September lalu, kira-kira seratus meter dari lokasi yang lama. Tak aneh jika Kadek mulai melirik negara lain. Korea dan Taiwan merupakan dua tujuan penerbangan terbaru Air Paradise. Untuk mengimbangi peningkatan rute dan frekuensi penerbangan, Kadek berencana menambah armada Air Paradise dengan dua pesawat Airbus lagi.
Strategi yang sama dilakukan Budawati, pemilik PT Sonar. Akibat bom Bali, bisnis kerajinan memang mengalami hantaman yang tak kalah dahsyatnya dengan perhotelan dan hiburan malam. Maklumlah, hampir separuh pengeluaran turis di Bali habis di toko-toko cendera mata. Namun hari-hari keemasan itu kontan berubah jadi suram setelah ada ledakan bom di Kuta. Padahal ketika itu mereka baru saja bangkit dari krisis yang ditimbulkan oleh ambruknya gedung World Trade Center di New York pada September 2001. "Saya benar-benar habis waktu itu," kenang Budawati.
Mata perempuan cantik berumur 30-an tahun itu menerawang ke hari-hari terberatnya. Pesanan yang sudah mulai naik kembali lenyap, sementara utang yang harus ditanggungnya mencapai ratusan juta rupiah. Masa-masa itu sungguh ujian terberat bagi putri Raja Tabanan ini. "Untuk membeli susu anak saja, saya kesulitan," kata ibu seorang anak ini. Awal 2003, sebetulnya Budawati sudah mulai tersenyum. Pesanan kembali naik, terutama kain sarong yang menjadi andalannya. Tapi kesialan sepertinya tak mau jauh-jauh dari Budawati. Sindrom pernapasan akut (SARS) yang melanda Singapura dan Hong Kong kembali menghembalangkan bisnisnya. Belum lagi serbuan Amerika Serikat ke Irak, yang membuat banyak orang enggan bepergian ke negara lain.
Namun Budawati tak mau menyerah. Untuk memperpanjang napas, Budawati terpaksa menjual rumah dan tiga mobil, termasuk BMW kesayangannya. Dia juga terbang dari satu kota ke kota lain di seluruh dunia. "Saya hampir tidak pernah di rumah," katanya. Selama dua bulan terakhir ini, misalnya, Budawati mengikuti sejumlah pameran dan menjajakan produknya di toko bebas bea (duty free) di sejumlah bandar udara di Eropa. Sebelumnya, Budawati juga menjelajahi berbagai kota di Asia dan Australia. Gara-gara itu pula Budawati sempat masuk rumah sakit di Jakarta.
Buah perjuangan Budawati mulai terlihat dalam tiga bulan terakhir. Meski masih jauh dari angka tertinggi yang pernah dicetaknya, Rp 1 miliar per bulan, omzet penjualan Budawati mulai meningkat. Dari penjualan kain sarong dan berbagai produk kerajinan, seperti tas anyam dan asbak, mengalirlah uang Rp 300 juta per bulan ke kantong Budawati. Dia menyebut pengalamannya bekerja di toko bebas bea sebagai resep manjur untuk menembus pasar. "Saya jadi mengerti selera pembeli," kata Budawati, yang merancang sendiri motif kain sarungnya.
Kedua pengusaha ini tak hanya menerapkan teknik menjemput bola untuk mengatrol kembali bisnisnya. Mereka juga menggunakan kalkulator yang superketat dalam tiap pengeluaran, termasuk dalam hal upah tenaga kerja. Meski kedua pengusaha ini tidak memberhentikan seorang pun karyawan, di saat-saat sulit, mereka menunda pembayaran gaji karyawan. "Istilahnya saya pinjam. Sedikit demi sedikit pasti saya cicil," tutur Kadek, yang karyawannya mencapai ribuan orang. Sedangkan Budawati memilih meminjamkan karyawannya ke perusahaan lain yang masih bertahan ketimbang memberhentikannya. Kini sebagian dari mereka sudah kembali bekerja di perusahaannya.
Pinjaman dari bank juga diakui oleh Budawati sebagai bahan bakar yang membuatnya sanggup bermanuver menjemput bola. Budawati mengaku mendapatkan pinjaman Rp 400 juta dari sebuah bank pemerintah di Denpasar. "Itu sangat penting untuk bertahan," katanya. Sementara itu, Kadek enggan membuka rahasianya mencari dana. Namun, kabarnya, kebangkitan Kadek juga ditopang oleh utang.
Apa pun jalan yang ditempuh, memang tak mudah bagi sebagian besar pengusaha Bali untuk bangkit kembali. Berbagai peristiwa tragis tingkat dunia yang susul-menyusul menyebabkan Bali belum bisa pulih seperti sedia kala. Tapi bisa jadi berbagai peristiwa itu malah membuat daya tahan pengusaha Bali makin tinggi. Dan di kemudian hari akan lahir Wiranatha dan Budawati yang lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini