Mereka yang meragukan daya tahan Bali sebaiknya menengok sepak terjang Made Wiranatha, 44 tahun. Tak sampai setahun setelah bom menghanguskan Paddy's Cafe, kafe miliknya, ia bangkit dan membangun kembali restoran Irlandia yang pernah menjadi salah satu simbol dunia hiburan di kawasan Kuta itu.
Terletak beberapa puluh meter dari lokasinya semula, Paddy's yang dibuka bulan lalu persis seperti cetakan pendahulunya: masakan, atmosfer, pelayanan, bahkan orang-orangnya pun tidak ada yang berubah. Wiranatha memang memboyong 100 karyawan Paddy's lama yang selamat untuk bekerja di kafenya yang baru.
Kadek, begitu pemilik sejumlah restoran kelas atas Kuta ini biasa dipanggil, enggan menyebut bagaimana ia menggalang dana untuk merintis kembali usaha yang remuk itu. Namun, bisa dibayangkan, dengan trauma bom di belakangnya, tak mudah bagi Kadek untuk meyakinkan bank agar mau memberikan pinjaman.
Dan Kadek ternyata tidak sendiri. Datanglah ke Jalan Laksmana, di pinggir Pantai Petitenget yang permai itu. Di sepanjang jalan menjelang Hotel Oberoi, belasan kafe baru bermunculan seperti jamur. Ada restoran Italia, Prancis, dan Yunani, juga tempat-tempat minum yang khusus menyediakan wine kelas mahal.
Demam restoran juga tampak di Kuta Galeria, sebuah kompleks pertokoan mewah yang baru selesai dibangun, sekitar satu kilometer dari pusat ledakan bom. Para pengusaha kafe di Bali seperti berlomba, seolah-olah ribuan restoran yang ada telah kewalahan melayani tamu.
Denyut Bali bukan hanya tampak dari tumbuh suburnya restoran mahal. Jumlah tamu juga cenderung meningkat. Kafe Kudeta dan restoran La Luciola di pojok Pantai Petitenget, misalnya, sudah beberapa bulan ini kembali dipadati pengunjung. Kursi malas di pinggir pasir pantai penuh terisi orang bule, sementara turis dari Jepang dan Korea memilih duduk di dalam restoran. "Ini salah satu tempat terbaik di Bali," kata Muriel Ydo, turis Belanda, sambil menyesap anggur chili salsa di Kudeta.
Jika Anda ingin terbang ke Bali hari-hari ini, jangan berharap mudah mendapatkan diskon, terutama di akhir pekan. Rata-rata perusahaan penerbangan mematok harga tiket normal, kecuali untuk 10 seat pertama (yang biasa dijual dengan harga promo) atau pada jam-jam penerbangan larut malam. Pemandangan kabin pesawat yang kosong seperti setahun lalu sudah lama tak kelihatan.
Tiupan nyawa yang menunjukkan kehidupan pariwisata Bali juga tampak dari catatan statistik. Riset United Nations Development Programme (UNDP), United States Agency for International Development (USAID), dan Bank Dunia menunjukkan pelancong asing yang mendarat di Bandar Udara Ngurah Rai sepanjang Agustus lalu sudah mendekati angka 130 ribu orang—hanya terpaut 20 ribu dari jumlah turis mancanegara di zaman "normal" (lihat grafik).
Proses penyembuhan secepat ini, meskipun patut disyukuri, tentu saja mencengangkan. Tak sampai setahun lalu, pada pekan-pekan pertama setelah bom melumat Kuta, dunia wisata Bali seperti terkapar koma. Para pengusaha hotel dan restoran, kelompok yang paling terpukul oleh tragedi bom, melihat Bali lebih mirip neraka ketimbang tambang uang yang selama ini seperti tak habis digali.
Dua bulan sejak ledakan, jumlah turis asing melorot dari 5.000 menjadi hanya 1.000 orang setiap hari. Akibatnya, kamar hotel kosong. Hotel bintang empat dan lima, yang jumlahnya ratusan, rata-rata hanya terisi seperlima kapasitas. Mereka mencoba mengobral diskon hingga 40 bahkan 50 persen, tapi tetap saja kamarnya tak berpenghuni.
Bounty, penginapan mewah milik Kadek yang terletak beberapa meter dari pusat ledakan, misalnya, hanya terisi lima persen. Dan Grand Mirage, hotel kelas satu di kawasan Tanjung Benoa, bahkan harus ditutup lantaran tak kebagian tamu.
Bau kematian juga menyergap restoran mewah dan galeri yang memajang lukisan-lukisan mahal. Ribuan meja di puluhan restoran kelas atas menganggur berhari-hari tak pernah disentuh tamu. Seorang turis Jerman bercerita, ia pernah menjadi tamu tunggal sepanjang malam di sebuah bar hotel mewah di kawasan wisata Cangu. "Saya sempat berpikir, jangan-jangan saya terlalu mabuk sehingga salah masuk ke kamar mayat," katanya mengenang.
Pendek kata, bulan-bulan pertama setelah bom, Bali seperti sedang merayakan hari raya Nyepi, yang tak akan berakhir....
Menjelang tutup tahun, arus turis memang meningkat. Ini tak lepas dari maraknya paket murah yang ditawarkan perusahaan penerbangan. Gerakan "kembali ke Bali" yang disponsorsi tokoh-tokoh di Jakarta juga berhasil mendorong pemilik uang agar berakhir tahun di Bali. Pada Desember, satu setengah bulan setelah bom, tingkat hunian rata-rata hotel bintang lima di Pulau Seribu Pura itu merangkak naik mendekati angka 40 persen.
Namun tanjakan itu bukan merupakan pertanda pulihnya dunia wisata di Bali. Lonjakan tingkat hunian lebih disebabkan oleh dorongan siklus rutin. Jumlah turis memang biasa melambung di akhir tahun.
Selain itu, tingginya tingkat hunian ternyata tak dinikmati hotel karena tarif kamarnya diobral 60-70 persen. "Kami tetap rugi," kata Resident Manager Inna Grand Bali Beach, K. Suandha, "Agar impas, kamar mesti terisi 50 persen, dengan tarif normal."
Kini tarif kamar hotel kelas atas sudah cenderung mendekati normal, terutama pada hari-hari penuh turis alias peak season. Persoalannya hanyalah bagaimana cara merebut pelancong yang, meskipun jumlahnya sudah berlipat, tetap di bawah ukuran normal. "Pasokan kamar masih melimpah, jauh lebih besar dari tamunya," kata seorang manajer hotel bertarif dolar di kawasan Petitenget.
Bagi hotel-hotel mewah, persoalan ini sedikit tertanggungkan. Dengan memanfaatkan jaringan internasional dan siasat pemasaran yang agresif, mereka bisa menjala kue pelancong yang terbatas secara pasti. Namun, bagi hotel-hotel lokal atau mereka yang independen, mencari tamu secara ajek merupakan masalah serius. Menurut riset Bank Dunia, tingkat hunian hotel bintang satu sampai tiga di Bali saat ini hanya seperempat dari tingkat hunian hotel bintang empat dan lima.
Ketidakmampuan menjaring tamu di masa "panen", misalnya, tampak pada Hotel Intan Legian, yang tingkat huniannya mentok di kisaran 20-25 persen. Sampai kini, pengelola hotel bintang tiga itu mengaku masih harus melakukan penghematan dengan mengurangi jumlah kamar yang dioperasikan, dari biasanya 146 kamar, menjadi 50 kamar saja. "Suguhan kesenian lokal juga masih distop," kata Putu Sastrawan, pengelola Hotel Intan Legian.
Hotel Aquarius juga terus menggelar efisiensi. Hotel yang tak jauh dari pusat ledakan itu masih mengurangi jam kerja dan gaji pegawai. Dengan cara itu pun, pendapatan dari penyewaan kamar cuma cukup untuk menutup biaya operasional. "Itu saja sudah beruntung, Mas," kata pengelolanya, "Banyak hotel yang belum membayar penuh karyawannya, kok."
Ketua Bali Tourism Board (BTB) Putu Agus Antara mengakui bisnis hotel masih memasuki titik nadir. Ia mengungkap ada banyak hotel yang sebenarnya terus merugi tapi memaksakan diri tetap beroperasi. "Seandainya mereka berterus terang, dampak bom akan terasa sangat mengerikan," kata pemilik Hotel Keraton Jimbaran Resort ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini