Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua belas bulan lalu, serangkaian bom meledak tepat di jantung pariwisata Bali dan menghancurkan citra Pulau Dewata sebagai surga wisata dunia. Serangan itu melukai ekonomi Bali, tapi tidak sampai menggoyahkan ketahanannya.
Anjloknya angka kedatangan wisatawan asing serta-merta menghantam tiang ekonomi pulau tersebut. Tapi kurang terlihat secara kasatmata dampak bom Bali yang dipikul usaha kecil menengah (UKM). Di Bali, 52 persen UKM telah melaporkan adanya pemangkasan jumlah pegawai. Selain itu, omzet sektor UKM di Bali dan Jawa Tengah menurun hingga 50-60 persen. Akibatnya, tingkat pendapatan mereka berkurang hingga 40 persen.
Angka-angka tersebut menyiratkan luasnya dampak yang kurang terlihat dari sebuah tragedi yang terjadi akibat sebuah aksi teror. Masyarakat dan tokoh agama setempat telah bereaksi cepat dalam meredam ketegangan sosial dan berusaha memulihkan kerukunan di seluruh pulau.
Pada saat orang luar memandang serangan tersebut lebih dalam konteks terorisme global, masyarakat Bali justru menjadikannya sebagai momen untuk mengevaluasi kembali peran pariwisata dan tantangan besar yang ditimbulkan sektor itu terhadap lingkungan, keamanan, dinamika sosial ekonomi, serta dunia spiritual mereka.
Menyadari bahwa kebangkitan pariwisata penting untuk menentukan pemulihan jangka pendek, pemerintah Bali telah mengambil langkah-langkah awal yang secara serius mengkaji berbagai tantangan yang ditimbulkan pembangunan berbasis pariwisata di provinsi ini. Seiring dengan itu, pembuat kebijakan nasional perlu mengambil langkah-langkah kebijakan dengan memetik pelajaran dari pengalaman Bali. Seyogianya pariwisata Indonesia dan sektor-sektor lain yang terkait tidak terpisahkan dari tren dan kekhawatiran global, baik terorisme, wabah SARS, maupun peristiwa-peristiwa di Timur Tengah.
Sebagai satu-satunya studi komprehensif tentang dampak pasca-bom Bali, kajian baru USAID-UNDP-Bank Dunia menyajikan empat temuan utama. Pertama, peran penting keamanan dalam mempromosikan Bali dan Indonesia sebagai tujuan wisata kelas dunia yang aman. Kedua, perlu dipadukannya pembelajaran dari pengalaman Bali dalam merencanakan pembangunan pariwisata nasional. Ketiga, diversifikasi sektor-sektor peningkatan pendapatan di luar pariwisata. Keempat, usaha berbasis masyarakat sebagai unsur yang tak kalah penting dalam melaksanakan pembangunan pariwisata.
Banyak yang berharap Bali dapat segera kembali ke kondisi "pra-bom Bali". Masalahnya, hasil studi dan analisis terhadap tren global pariwisata dan perilaku wisatawan secara gamblang menunjukkan bahwa model-model pembangunan pariwisata di masa lalu tidak akan mendukung atau tidak akan secara efektif memenuhi berbagai kebutuhan sektor andalan nasional ini hingga membuatnya tahan terhadap gejolak eksternal.
Sejauh ini, tampaknya lebih dominan upaya pemulihan berbasis pariwisata yang terfokus pada keamanan dan promosi pariwisata. Pemerintah juga telah menerapkan sejumlah langkah positif dalam rangka keamanan.
Keefektifan upaya lainnya menemui kendala yang berkaitan dengan desentralisasi, perubahan dalam hubungan antar-instansi pemerintah, dan ketidakjelasan kewenangan dalam pelaksanaan atau pengembangan rencana pemulihan.
Perkembangan terbaru dalam pariwisata global dan ketidakpastian di masa mendatang mendesak segera dibangunnya citra Bali sebagai tujuan wisata yang menarik. Yang tak kalah penting adalah mempercepat diversifikasi ekonomi, sehingga rakyat Bali tidak semata-mata bergantung pada pariwisata.
Respons nasional yang tegas terhadap keamanan dan stabilitas akan menunjang upaya revitalisasi tersebut. Hal ini memerlukan jalinan kemitraan yang efektif antara masyarakat, upaya bisnis setempat, dan pelaku ekonomi lainnya. Hanya dengan demikian, investasi di sektor pariwisata dapat menguntungkan semua lapisan penduduk Bali.
Bali akan tetap menjadi pintu gerbang pariwisata Indonesia. Karena itu, respons jangka pendek yang memang penting dilaksanakan harus terus dilanjutkan dalam rangka memulihkan citra Bali dan menarik wisatawan mancanegara.
Hanya, upaya pemulihan berbasis pariwisata jangka pendek ini dianjurkan untuk tidak berlangsung secara top-down dan jangan mengorbankan respons jaminan sosial dan upaya berbasis masyarakat yang bertujuan menguatkan diversifikasi ekonomi. Kunci keberhasilan terletak pada pemahaman yang lebih baik tentang cara memaksimalkan manfaat pariwisata yang langsung ataupun tidak langsung untuk masyarakat melalui kemitraan publik-swasta.
Sementara itu, agenda pemulihan berbasis pariwisata dan keamanan, kesinambungan monitoring dampak-dampak sosial ekonomi, akses terhadap pelayanan dan jaring pengaman sosial, serta penciptaan alternatif lapangan kerja tetap sangat penting. Lembaga donor seperti USAID, UNDP, dan Bank Dunia telah berperan dalam semua bidang tersebut selama proses pemulihan yang sudah berjalan setahun.
Pada akhirnya, kelayakan jangka panjang ekonomi Bali yang berbasis pariwisata memerlukan peran serta yang lebih besar dari masyarakat Bali sendiri, dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, serta dalam mengidentifikasi peluang ekonomi lainnya yang dapat menyangga dampak penurunan angka kedatangan wisatawan.
Bali tentu akan selalu bergantung pada pariwisata. Meski demikian, tidaklah bijak untuk mempertaruhkan segalanya pada sektor ini. Dengan kata lain, diversifikasi ekonomi Bali merupakan prioritas yang perlu segara diperhatikan.
Jon D. Lindborg, Gwi-Yeop Son, dan Andrew Steer*)
*) Jon D. Lindborg, Pejabat Direktur USAID, Indonesia
Gwi-Yeop Son, Pejabat Kepala Perwakilan UNDP, Indonesia
Andrew Steer, Direktur Perwakilan Bank Dunia di Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo