KESEPIAN mencekam Teluk Massachusetts. Seekor ikan paus
mengambang di bawah lunas perahu motor yang ditumpangi biolog
Amerika Serikat Roger Payne dan kawan-kawan.
Tidak jauh dari perahu yang terapung tenang itu, tiga ekor ikan
paus berpunuk mendadak muncul, di sisi kiri dan kanan, ke
permukaan laut. Panjang badan ikan-ikan paus itu 40 kaki lebih
-- empat kaki lebih panjang dari perahu Payne. Masing-masing
ikan itu berbobot sekitar 50 ton.
"Jika mereka menyeruduk, jangan pikir panjang lagi, langsung
terjun ke laut," bisik Payne kepada Natalie Angler. "Jika
tubuhnya menimpa perahu ini, kita dan perahu akan remuk
berkeping-keping," sambungnya.
Natalie pucat pasi. Wartawati cantik ini memang orang baru di
perahu itu. Ia mengikuti Payne dan kawan-kawannya untuk membuat
cerita bagi majalah Discover- terbitan April lalu.
Tiba-tiba suasana yang mencekam itu koyak oleh semburan-semburan
air. Dua ekor ikan paus menyeruak ke permukaan dengan mulut
menganga lebar. Di dalam mulut kedua makhluk laut raksasa itu
tampak sejibun udang kril. Dan lidah yang berwarna jingga itu,
ya ampun, lebih lebar dari tempat tidur king size. Di seputar
mulutnya berjumbai misai penapis. Air laut mendadak meluncur
masuk ke dalam mulut yang menganga itu dan kemudian mengatup.
Lalu paus berpunuk itu menyuruk lagi ke dalam laut.
Tapi ikan paus yang lain segera nongol. Agak jauh di sisi kiri,
paus dari jenis berbintik putih mengepakkan ekornya di permukaan
air -- suaranya ribut benar. "Rasa takut berbaur dengan
ketakjuban," tulis Natalie. Di sekitar perahu tampak selusin
ikan paus.
Orang-orang di perahu memekik, tertawa, menahan napas,
terkesima. Namun tidak ada yang melebihi kebahagiaan Payne. "Ia
malah tampak lebih tenteram dikelilingi makhluk laut raksasa
itu," tutur Natalie.
"Banyak orang enggan mengakui, betapa fantastisnya pengalaman
berada di antara ikan-ikan paus," kata Payne. "Saya sendiri,
terus terang, benar-benar sudah gandrung pada makhluk berlendir
itu. Mereka tampak lembut, seperti segumpal awan yang memintas."
Sudah 15 tahun Payne membuntuti ikan paus, mencatat, dan
memberikan kuliah-kuliah mengenai mamalia itu. Ia mengamati paus
bermain, cekcok, bercumbu dan bergumul, merawat anak-anak, dan
pelbagai tingkah laku lain dalam masyarakat mereka.
Payne, 48 tahun, melakukan penelitian bioacousticks studi
tentang bagaimana binatang itu memanfaatkan suaranya. Beberapa
tahun lalu ia sudah mengumpulkan fakta bahwa beberapa paus --
jenis sirip punggung, biru, minkes, dan seis -- berkemungkinan
mengirimkan sinyal-sinyal berfrekuensi rendah sejauh ratusan,
bahkan ribuan mil kepada sesamanya. Umpamanya mengabarkan lokasi
makanan, kesediaan kontak seksual, dan hal-hal penting lainnya.
Ini menandakan beberapa paus tidak hidup menggerombol pada satu
tempat tersendiri. Melainkan meliputi kawasan luas yang
mengandung sumber makanan, di lautan tertentu. "Jalur ini
terbagi buat dua ratusan ribu paus," tutur Payne.
Kegandrungan Payne terhadap paus telah berkembang menjadi
semacam semangat suci menentang pembantaian binatang itu. Karya
ilmiah dan kuliah-kuliah yang diberikannya di berbagai tempat
telah membantu terwujudnya kampanye "menyelamatkan ikan paus."
Musim panas lalu, Komisi Ikan Paus Internasional (The
International Whaling Commission) mengadakan pemungutan suara
untuk menangguhkan penangkapan ikan paus dengan tujuan
komersial? Ini berlaku sejak akhir 1968.
Bagaimanapun, Peru, Norwegia, Uni Soviet, Jepang, negeri pemburu
ikan paus terbesar, mengancam untuk tidak mempedulikan aturan
tersebut. Payne tidak kalah gigih. Ia mendesak Amerika Serikat
supaya menanggapi perangai negeri-negeri yang 'sok tahu' itu:
jika mereka benar-benar melakukan kehendaknya, potong saja hak
penangkapan ikan mereka di perairan Amerika Serikat.
Thomas Eisner, biolog dari Universitas Cornell, menilai usaha
Payne menciptakan konservasi tersebut sebagai prestasi. "Roger
mengajak semua orang untuk menyelamatkan satwa liar. Ia juga
mengajak kita menghargai kemurnian alam dengan penuh
pengertian," kata Eisner.
Payne sendiri setiap waktu seperti tidak jemu-jemunya
menerangkan sikapnya. "Jika kita menghancurkan alam," tutur
Payne, "kita akan menerima kutukan, hidup di dalam dunia yang
membosankan, yang kita ciptakan sendiri."
Dan ia tidak tanggung-tanggung dalam mendukung usahanya itu.
Tanpa kenal istirahat ia melakukan perjalanan -- dan penelitian,
tentu saja -- ke pojok-pojok dunia yang senyap. Lebih dari satu
dekade lalu, ia dan istrinya, Katy, 46 tahun, -- yang juga
antusias terhadap urusan ikan paus -- menghabiskan waktu
beberapa bulan dalam setahun di Pantagonia, kawasan pantai yang
kasar dan berbukit di Argentina. Empat anak mereka meninggalkan
sekolah dan ikut melakukan penelitian di tempat paus jenis right
-- termasuk famili Balaenidae, kepala melengkung, panjang tubuh
antara 6-18 meter, yang hidup di laut dingin.
Payne juga telah melakukan perjalanan ke Alaska, Socorro,
Afrika, dan ke sebuah pulau mungil lepas pantai Baja,
California. Musim semi ini ia akan keluyuran ke Lautan Hindia,
dari Oman ke Srilangka, terus menuju Seychelles -- untuk
menekuni paus jenis sperm. Yang ini termasuk famili
Physeteridae, bermoncong bundar dan besar, panjang 19 meter,
mulutnya sempit, dan hidup di lautan tropik. Hanya yang jantan
dan sudah berumur tinggal di laut dingin.
Meski spesialisasi penelitiannya tetap mengenai paus jenis
right, Payne tak segan mengalihkan perhatian untuk menekuni
jenis yang lain. Dari yang berpunuk, berkepala melengkung,
bersirip, sampai ke jenis sperm. "Setiap jenis mempunyai
permasalahan sendiri-sendiri," katanya. "Cara untuk
mempelajarinya bukanlah dengan hanya mengetahui satu segi kecil
tiap species. Melainkan dengan mencari gambaran yang lebih
gamblang dan luas."
Akhir tahun 1960-an, sewaktu Payne menetapkan untuk melakukan
studi langsung di lingkungan tempat binatang ini hidup. Ia
merupakan orang pertama -- tak ada seorang pun peneliti yang
mendahuluinya. Pengenalan yang minim selama ini mengenai ikan
paus berasal dari sosok yang sudah terkapar. Umur yang betina,
misalnya, secara sembarangan di tentukan hanya berdasarkan
goresan-goresan di indung telurnya.
"Ketika saya mulai," tutur Payne, "ada tiga orang mengatakan
kepada saya bahwa meneliti dengan cara seperti yang saya
kehendaki sangat merepotkan." Tapi itu tak mempengaruhi
pendiriannya. "Pernyataan yang berbau ketakutan itu bagi saya
tak berarti."
Ia pun hengkang dari pekerjaannya di New York Zoological
Society. Lalu mulai menjadi pengajar tamu pada Universitas
Rockefeller di Manhattan. Ia, bersama keluarga, melakukan
perjalanan ke Pantagonia pada 1970. Di sana ia mendapatkan suatu
peristiwa yang kebetulan sekali menolong pengamatannya:
sekumpulan paus right sedang berloncatan di teluk. Masing-masing
nampak berbeda, pola benjolan putih di seputar lubang penyemprot
air (di punggung paus) memiliki ciri sendiri-sendiri. Payne
dengan sigap memotret mereka, kemudian menyusun hasilnya dalam
album yang berisi ratusan gambar. Ia mengamati setiap
'individu'.
Sejak itu Payne dan beberapa ahli cetologi (cabang zoologi yang
berurusan dengan ikan paus) mendapatkan species paus memiliki
ciri-ciri individu yang karakteristik. Sehingga para peneliti
tidak mengalami kesulitan untuk menganalisanya sebagai salah
satu anggota suatu species. Yang berpunuk bisa ditentukan segera
dengan melihat bercak putih pada cupingnya (di punggung). Paus
jenis pembunuh dapat kita kenali lewat sirip perutnya. Dengan
begini, "studi untuk mengenali mereka tak perlu harus dengan
menyentuhnya," kata Payne.
Nyanyian pertama yang ia dengar dari binatang ini bukan datang
dari yang berpunuk, tapi disenandungkan oleh jenis right.
"Busyet. Seumur hidup baru kali itu saya mendengar suara yang
benar-benar aneh dan sableng," tutur Payne. "Saya putar
berkali-kali dalam berbagai kesempatan. Kemudian saya bisa
menyimpulkan bahwa suara right tampaknya lebih memelas ketimbang
yang dihasilkan oleh jenis berpunuk."
Payne dan kelompoknya termasuk orang-orang serumah sering
memutar nyanyian paus berpunuk, yang direkam oleh seorang ahli
akustik dari Bermuda. Katy, sang istri, mengungkapkan pengalaman
mendengarkan "lagu alamiah" dari lautan itu: "Rasanya seperti
membuka tirai dan menikmati kenyamanan ujung dunia."
Payne mulai merekam sendiri dari jenis berpunuk --
berturut-turut di Atlantik dan Pasifik. Saat itu ia amati betul
siapa yang bernyanyi dan kenapa. "Ini tampaknya jantan,"
katanya, setelah mendapatkan sebuah lolongan. "Rasanya ia
meratapi gangguan yang menimpa wilayah hidupnya."
Dan pejantan yang bersenandung murung itu, hampir tanpa gerak
sedikit pun -- kecuali sesekali menggoyangkan kepala mengikuti
irama lagunya. Suara berisik kadang-kadang dimunculkannya lewat
mulut yang mengulum udara.
Dalam suatu acara untuk mencari dukungan melestarikan mereka,
Payne memperdengarkan hasil rekamannya itu. Respon masyarakat
membuatnya senang. "Saya lihat, beberapa orang bahkan meneteskan
air mata," katanya. "Saya pikir, nyanyian binatang berpunuk ini
berkaitan dengan mitos Siren dalam Odissey."
Tidak seperti burung, belalang, dan makhluk bernyanyi lainnya,
humpback (si bungkuk yang seperti menggendong punuk) secara
reguler mengubah nyanyiannya," kata Katy. Ia dan suaminya
menganalisa ratusan pita rekaman, yang dibuat bertahun-tahun.
Semua pejantan dalam suatu kelompok, menurut mereka, mengubah
lagu mereka secara bersamaan, not demi not. "Mereka saling
mendengarkan rupanya," kata Katy. "Masing-masing memang
menyendiri ketika bernyanyi, tapi tetap menguping temannya."
Selama 22 tahun menekuni, pasangan Payne tak menemukan adanya
melodi yang berulang. "Ini berarti bahwa ikan paus, di samping
manusia, termasuk pencipta komposisi musik juga," begitu Katy
menyimpulkan. Hasil rekaman pasangan pengamat paus ini kemudian
laku pula bagi beberapa musisi, di antaranya Judi Collins dan
Pete Seeger. Nyanyian dari laut itu mereka sisipkan dalam
lagu-lagu mereka.
Tentu kesibukan Payne tidak hanya merekam. Beberapa bulan dalam
setahun, ia suka juga menyendiri sambil mengamat-amati right
yang berkepala melengkung itu. Mahluk berbobot 40 ton ini
rupanya luwes juga bercanda. "Si right menghabiskan waktu
barjam-jam hanya untuk luntang-lantung dan langenan bersama
anaknya. Dan Anda bayangkan, semua gerak binatang raksasa itu
berlangsung dalam slow-motion," cerita Payne, terkagum-kagum.
"Sesekali si bayi meluncur menggelitik ekor induknya, dan
kemudian -- setelah membalikkan punggung -- sang emak dengan
gemas menyergap dan mendekapnya. Segera setelah itu, mereka
menegangkan ekor, hingga mencuat di permukaan air, seolah-olah
menjadikannya layar." Fantastis.
Oleh karena itu, meskipun sudah bertahun-tahun tak
henti-hentinya berurusan dengan ikan paus, "Payne selalu
terkesima sendiri oleh hasil penemuannya," tulis Natalie.
Kegilaannya pada kehidupan alam yang liar, tapi cantik dan penuh
daya pikat itu, bisa ditelusuri ke masa kecilnya di New York.
Waktu itu, "saya gemar menengadah ke langit. Di sanalah tempat
satu-satunya Anda bisa menemukan hal-hal yang bukan bikinan
manusia," cerita Payne. Ia berurusan sembilan tahun -- dan baru
merampungkan sekolah di Dalton School, Manhattan -- ketika
keluarganya pindah ke Murray Hill, New Jersey, kawasan yang
dikelilingi alam liar. "Suasana di situ, yang selama ini luput
dari perhatian sungguh menakjubkan. Dan saya tumbuh menjadi
orang yang fanatik terhadap alam. "Tapi ia, waktu itu, belum
berpikir untuk menjadi ahli biologi. Malah ingin menjadi
insinyur -- seperti ayahnya yang bekerja pada perusahaan Bell
Telephone.
Ibunya seorang violis dan guru musik. Berkeinginan menyaingi
ibunya, Payne, tekun berlatih memainkan cello. Di musim panas ia
bergabung ke dalam perkemahan musik. Dan di rumah ia mengisi
waktu luangnya dengan memainkan Beethoven -- secara kuartet
bersama teman-temannya.
Akhir masa sophomore (tahun kedua di universitas) di Harvard, ia
mesti menentukan bidang studi utama untuk pelajaran tahun-tahun
berikutnya. Ini yang menentukan karirnya. "Ketika menghadapi
pilihan dalam formulir pengisian, yah, saya pilih saja biologi.
Biasanya orang-orang memutuskan hal penting dalam hidupnya saat
terdesak dan tak ada pilihan lain. Tapi toh saya kemudian tak
berubah sikap." Penelitiannya yang serius di lapangan ini adalah
mengenai kelelawar: bagaimana mereka mendeteksi arah datangnya
suara.
Lepas dari Harvard ia menempuh pendidikan pasca sarjana di
Cornell University. "Untuk topik disertasi, saya buru-buru
memilih burung hantu sebelum orang lain mengambilnya. Saya pikir
ia merupakan burung yang paling memikat di dunia," kata Payne.
Di Cornell itulah ia ketemu Katy Boynton, mahasiswa pasca
sarjana yang sedang mendalami musik dan biologi. "Roger
merupakan figur yang romantik," kata Katy mengenang
perkenalannya yang pertama. "Waktu itu, ia sering berputar-putar
di kampus dengan sepeda sambil menenteng cello. Saya menyukai
musik yang ia mainkan. Saya kesengsem sama dia." Mereka menikah
pada 1960. Empat tahun kemudian mendapatkan empat orang anak:
John, Holly, Laura, dan Sam.
Pasangan Payne dan Katy lalu membeli rumah di daerah pertanian
di Lincoln, Massachusetts -- 20 mil dari teluk tempat ikan paus
berpesta pora. Sewaktu masih baru di situ Payne belum tertarik
pada ikan paus sampai suatu kejadian di pantai New England
mengguncangkan hidupnya.
Di pantai itu ia menemukan seekor porpoise (mirip lumba-lumba
dengan panjang sekitar 183 cm) -- salah satu tipe ikan paus --
terkapar. Mayat ini sudah rusak dan lubang penyemprot airnya (di
punggung) tersumbat. "Saya pikir mesti ada cara yang lebih
konstruktif untuk berkomunikasi dengan saudara kita dari laut
ini," kata Payne menyesali kejadian itu. Sekali lagi ia mengubah
haluan penelitiannya. Dan keputusan di akhir 1960-an -- untuk
menggeluti ikan paus -- tampaknya mantap benar di hatinya.
Buntutnya suatu sukses. Ken Norris, ahli biologi laut di
Universitas California di Santa Cruz, mengomentari Payne.
"Karyanya, jika kita sudah membacanya, terbukti super. Tak
kurang merupakan hasil yang paling inovatif selama ini," kata
Ken. Payne pun menjanjikan untuk mencetak hasil penelitiannya
lebih banyak. Bersama kolega dan para mahasiswanya, Payne telah
menulis makalah-makalah yang bersifat teknis -- akan terbit
dalam tahun ini.
Payne sudah mendapatkan banyak bantuan untuk penelitian ikan
paus. Sebuah sekolah, sekaligus laboratorium, ia dirikan di
gudang rumahnya yang di Lincoln itu. Di sini bekerja lima-enam
orang ahli biologi -- di antara mereka kebanyakan baru lepas
dari college. Payne juga mendirikan stasiun observasi di
Pantagonia. Mahasiswa-mahasiswa bergabung dengannya dalam
perjalanan penelitian ke situ. Banyak, yang setelah memperoleh
latihan di tempat Payne, kemudian mengembangkan karir sendiri
dalam bidang biologi lautan.
Semangat menentang perusakan alam sudah merupakan perang salib
bagi Payne. Hidup nyaman, menempati rumah warna putih bergaya
Victoria, di lingkungan alam yang liar dan segar, ia pun merasa
jengah. "Rumah ini sudah terlalu 'berbudaya' buat saya,"
katanya. Ia lebih kerasan mengelana dan hidup di lingkungan ikan
paus.
Akibat keresahan ini, ia mengalami kesulitan untuk diam di
tempat dan menulis makalah ilmiah yang sesuai dengan kehendak
profesi. Banyak kritik menimpanya. Namun yang mengerti betul
pribadi Payne, akan memaklumi "kegagalan" semacam ini. Thomas
Eisner, ahli dari Cornell misalnya. "Dia itu anarkis," kata
Thomas, "tapi anarkis yang konstruktif. Dan bisa jadi
satu-satunya -- di antara dua atau tiga ilmuwan yang paling
menarik di masa kini."
Bagaimanapun makalah-makalah Payne, masih paling banyak dibaca
dan didiskusikan dalam bidangnya. Sementara sikap Payne sendiri
biasa-biasa saja. "Saya ini orang yang suka menangguh-nangguhkan
urusan saja," katanya mengenai dirinya sendiri. Barangkali
betul: untuk menangguhkan mulai berlakunya izin pembantaian ikan
paus, ia telah rela menunda urusan "tata krama" profesi
ilmiahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini