Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pausnya ikan paus

Ahli biolog a.s, roger payne, melakukan penelitian bioacousticks terhadap ikan paus, yaitu studi tentang bagaimana binatang tersebut memanfaatkan suaranya.(sel)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESEPIAN mencekam Teluk Massachusetts. Seekor ikan paus mengambang di bawah lunas perahu motor yang ditumpangi biolog Amerika Serikat Roger Payne dan kawan-kawan. Tidak jauh dari perahu yang terapung tenang itu, tiga ekor ikan paus berpunuk mendadak muncul, di sisi kiri dan kanan, ke permukaan laut. Panjang badan ikan-ikan paus itu 40 kaki lebih -- empat kaki lebih panjang dari perahu Payne. Masing-masing ikan itu berbobot sekitar 50 ton. "Jika mereka menyeruduk, jangan pikir panjang lagi, langsung terjun ke laut," bisik Payne kepada Natalie Angler. "Jika tubuhnya menimpa perahu ini, kita dan perahu akan remuk berkeping-keping," sambungnya. Natalie pucat pasi. Wartawati cantik ini memang orang baru di perahu itu. Ia mengikuti Payne dan kawan-kawannya untuk membuat cerita bagi majalah Discover- terbitan April lalu. Tiba-tiba suasana yang mencekam itu koyak oleh semburan-semburan air. Dua ekor ikan paus menyeruak ke permukaan dengan mulut menganga lebar. Di dalam mulut kedua makhluk laut raksasa itu tampak sejibun udang kril. Dan lidah yang berwarna jingga itu, ya ampun, lebih lebar dari tempat tidur king size. Di seputar mulutnya berjumbai misai penapis. Air laut mendadak meluncur masuk ke dalam mulut yang menganga itu dan kemudian mengatup. Lalu paus berpunuk itu menyuruk lagi ke dalam laut. Tapi ikan paus yang lain segera nongol. Agak jauh di sisi kiri, paus dari jenis berbintik putih mengepakkan ekornya di permukaan air -- suaranya ribut benar. "Rasa takut berbaur dengan ketakjuban," tulis Natalie. Di sekitar perahu tampak selusin ikan paus. Orang-orang di perahu memekik, tertawa, menahan napas, terkesima. Namun tidak ada yang melebihi kebahagiaan Payne. "Ia malah tampak lebih tenteram dikelilingi makhluk laut raksasa itu," tutur Natalie. "Banyak orang enggan mengakui, betapa fantastisnya pengalaman berada di antara ikan-ikan paus," kata Payne. "Saya sendiri, terus terang, benar-benar sudah gandrung pada makhluk berlendir itu. Mereka tampak lembut, seperti segumpal awan yang memintas." Sudah 15 tahun Payne membuntuti ikan paus, mencatat, dan memberikan kuliah-kuliah mengenai mamalia itu. Ia mengamati paus bermain, cekcok, bercumbu dan bergumul, merawat anak-anak, dan pelbagai tingkah laku lain dalam masyarakat mereka. Payne, 48 tahun, melakukan penelitian bioacousticks studi tentang bagaimana binatang itu memanfaatkan suaranya. Beberapa tahun lalu ia sudah mengumpulkan fakta bahwa beberapa paus -- jenis sirip punggung, biru, minkes, dan seis -- berkemungkinan mengirimkan sinyal-sinyal berfrekuensi rendah sejauh ratusan, bahkan ribuan mil kepada sesamanya. Umpamanya mengabarkan lokasi makanan, kesediaan kontak seksual, dan hal-hal penting lainnya. Ini menandakan beberapa paus tidak hidup menggerombol pada satu tempat tersendiri. Melainkan meliputi kawasan luas yang mengandung sumber makanan, di lautan tertentu. "Jalur ini terbagi buat dua ratusan ribu paus," tutur Payne. Kegandrungan Payne terhadap paus telah berkembang menjadi semacam semangat suci menentang pembantaian binatang itu. Karya ilmiah dan kuliah-kuliah yang diberikannya di berbagai tempat telah membantu terwujudnya kampanye "menyelamatkan ikan paus." Musim panas lalu, Komisi Ikan Paus Internasional (The International Whaling Commission) mengadakan pemungutan suara untuk menangguhkan penangkapan ikan paus dengan tujuan komersial? Ini berlaku sejak akhir 1968. Bagaimanapun, Peru, Norwegia, Uni Soviet, Jepang, negeri pemburu ikan paus terbesar, mengancam untuk tidak mempedulikan aturan tersebut. Payne tidak kalah gigih. Ia mendesak Amerika Serikat supaya menanggapi perangai negeri-negeri yang 'sok tahu' itu: jika mereka benar-benar melakukan kehendaknya, potong saja hak penangkapan ikan mereka di perairan Amerika Serikat. Thomas Eisner, biolog dari Universitas Cornell, menilai usaha Payne menciptakan konservasi tersebut sebagai prestasi. "Roger mengajak semua orang untuk menyelamatkan satwa liar. Ia juga mengajak kita menghargai kemurnian alam dengan penuh pengertian," kata Eisner. Payne sendiri setiap waktu seperti tidak jemu-jemunya menerangkan sikapnya. "Jika kita menghancurkan alam," tutur Payne, "kita akan menerima kutukan, hidup di dalam dunia yang membosankan, yang kita ciptakan sendiri." Dan ia tidak tanggung-tanggung dalam mendukung usahanya itu. Tanpa kenal istirahat ia melakukan perjalanan -- dan penelitian, tentu saja -- ke pojok-pojok dunia yang senyap. Lebih dari satu dekade lalu, ia dan istrinya, Katy, 46 tahun, -- yang juga antusias terhadap urusan ikan paus -- menghabiskan waktu beberapa bulan dalam setahun di Pantagonia, kawasan pantai yang kasar dan berbukit di Argentina. Empat anak mereka meninggalkan sekolah dan ikut melakukan penelitian di tempat paus jenis right -- termasuk famili Balaenidae, kepala melengkung, panjang tubuh antara 6-18 meter, yang hidup di laut dingin. Payne juga telah melakukan perjalanan ke Alaska, Socorro, Afrika, dan ke sebuah pulau mungil lepas pantai Baja, California. Musim semi ini ia akan keluyuran ke Lautan Hindia, dari Oman ke Srilangka, terus menuju Seychelles -- untuk menekuni paus jenis sperm. Yang ini termasuk famili Physeteridae, bermoncong bundar dan besar, panjang 19 meter, mulutnya sempit, dan hidup di lautan tropik. Hanya yang jantan dan sudah berumur tinggal di laut dingin. Meski spesialisasi penelitiannya tetap mengenai paus jenis right, Payne tak segan mengalihkan perhatian untuk menekuni jenis yang lain. Dari yang berpunuk, berkepala melengkung, bersirip, sampai ke jenis sperm. "Setiap jenis mempunyai permasalahan sendiri-sendiri," katanya. "Cara untuk mempelajarinya bukanlah dengan hanya mengetahui satu segi kecil tiap species. Melainkan dengan mencari gambaran yang lebih gamblang dan luas." Akhir tahun 1960-an, sewaktu Payne menetapkan untuk melakukan studi langsung di lingkungan tempat binatang ini hidup. Ia merupakan orang pertama -- tak ada seorang pun peneliti yang mendahuluinya. Pengenalan yang minim selama ini mengenai ikan paus berasal dari sosok yang sudah terkapar. Umur yang betina, misalnya, secara sembarangan di tentukan hanya berdasarkan goresan-goresan di indung telurnya. "Ketika saya mulai," tutur Payne, "ada tiga orang mengatakan kepada saya bahwa meneliti dengan cara seperti yang saya kehendaki sangat merepotkan." Tapi itu tak mempengaruhi pendiriannya. "Pernyataan yang berbau ketakutan itu bagi saya tak berarti." Ia pun hengkang dari pekerjaannya di New York Zoological Society. Lalu mulai menjadi pengajar tamu pada Universitas Rockefeller di Manhattan. Ia, bersama keluarga, melakukan perjalanan ke Pantagonia pada 1970. Di sana ia mendapatkan suatu peristiwa yang kebetulan sekali menolong pengamatannya: sekumpulan paus right sedang berloncatan di teluk. Masing-masing nampak berbeda, pola benjolan putih di seputar lubang penyemprot air (di punggung paus) memiliki ciri sendiri-sendiri. Payne dengan sigap memotret mereka, kemudian menyusun hasilnya dalam album yang berisi ratusan gambar. Ia mengamati setiap 'individu'. Sejak itu Payne dan beberapa ahli cetologi (cabang zoologi yang berurusan dengan ikan paus) mendapatkan species paus memiliki ciri-ciri individu yang karakteristik. Sehingga para peneliti tidak mengalami kesulitan untuk menganalisanya sebagai salah satu anggota suatu species. Yang berpunuk bisa ditentukan segera dengan melihat bercak putih pada cupingnya (di punggung). Paus jenis pembunuh dapat kita kenali lewat sirip perutnya. Dengan begini, "studi untuk mengenali mereka tak perlu harus dengan menyentuhnya," kata Payne. Nyanyian pertama yang ia dengar dari binatang ini bukan datang dari yang berpunuk, tapi disenandungkan oleh jenis right. "Busyet. Seumur hidup baru kali itu saya mendengar suara yang benar-benar aneh dan sableng," tutur Payne. "Saya putar berkali-kali dalam berbagai kesempatan. Kemudian saya bisa menyimpulkan bahwa suara right tampaknya lebih memelas ketimbang yang dihasilkan oleh jenis berpunuk." Payne dan kelompoknya termasuk orang-orang serumah sering memutar nyanyian paus berpunuk, yang direkam oleh seorang ahli akustik dari Bermuda. Katy, sang istri, mengungkapkan pengalaman mendengarkan "lagu alamiah" dari lautan itu: "Rasanya seperti membuka tirai dan menikmati kenyamanan ujung dunia." Payne mulai merekam sendiri dari jenis berpunuk -- berturut-turut di Atlantik dan Pasifik. Saat itu ia amati betul siapa yang bernyanyi dan kenapa. "Ini tampaknya jantan," katanya, setelah mendapatkan sebuah lolongan. "Rasanya ia meratapi gangguan yang menimpa wilayah hidupnya." Dan pejantan yang bersenandung murung itu, hampir tanpa gerak sedikit pun -- kecuali sesekali menggoyangkan kepala mengikuti irama lagunya. Suara berisik kadang-kadang dimunculkannya lewat mulut yang mengulum udara. Dalam suatu acara untuk mencari dukungan melestarikan mereka, Payne memperdengarkan hasil rekamannya itu. Respon masyarakat membuatnya senang. "Saya lihat, beberapa orang bahkan meneteskan air mata," katanya. "Saya pikir, nyanyian binatang berpunuk ini berkaitan dengan mitos Siren dalam Odissey." Tidak seperti burung, belalang, dan makhluk bernyanyi lainnya, humpback (si bungkuk yang seperti menggendong punuk) secara reguler mengubah nyanyiannya," kata Katy. Ia dan suaminya menganalisa ratusan pita rekaman, yang dibuat bertahun-tahun. Semua pejantan dalam suatu kelompok, menurut mereka, mengubah lagu mereka secara bersamaan, not demi not. "Mereka saling mendengarkan rupanya," kata Katy. "Masing-masing memang menyendiri ketika bernyanyi, tapi tetap menguping temannya." Selama 22 tahun menekuni, pasangan Payne tak menemukan adanya melodi yang berulang. "Ini berarti bahwa ikan paus, di samping manusia, termasuk pencipta komposisi musik juga," begitu Katy menyimpulkan. Hasil rekaman pasangan pengamat paus ini kemudian laku pula bagi beberapa musisi, di antaranya Judi Collins dan Pete Seeger. Nyanyian dari laut itu mereka sisipkan dalam lagu-lagu mereka. Tentu kesibukan Payne tidak hanya merekam. Beberapa bulan dalam setahun, ia suka juga menyendiri sambil mengamat-amati right yang berkepala melengkung itu. Mahluk berbobot 40 ton ini rupanya luwes juga bercanda. "Si right menghabiskan waktu barjam-jam hanya untuk luntang-lantung dan langenan bersama anaknya. Dan Anda bayangkan, semua gerak binatang raksasa itu berlangsung dalam slow-motion," cerita Payne, terkagum-kagum. "Sesekali si bayi meluncur menggelitik ekor induknya, dan kemudian -- setelah membalikkan punggung -- sang emak dengan gemas menyergap dan mendekapnya. Segera setelah itu, mereka menegangkan ekor, hingga mencuat di permukaan air, seolah-olah menjadikannya layar." Fantastis. Oleh karena itu, meskipun sudah bertahun-tahun tak henti-hentinya berurusan dengan ikan paus, "Payne selalu terkesima sendiri oleh hasil penemuannya," tulis Natalie. Kegilaannya pada kehidupan alam yang liar, tapi cantik dan penuh daya pikat itu, bisa ditelusuri ke masa kecilnya di New York. Waktu itu, "saya gemar menengadah ke langit. Di sanalah tempat satu-satunya Anda bisa menemukan hal-hal yang bukan bikinan manusia," cerita Payne. Ia berurusan sembilan tahun -- dan baru merampungkan sekolah di Dalton School, Manhattan -- ketika keluarganya pindah ke Murray Hill, New Jersey, kawasan yang dikelilingi alam liar. "Suasana di situ, yang selama ini luput dari perhatian sungguh menakjubkan. Dan saya tumbuh menjadi orang yang fanatik terhadap alam. "Tapi ia, waktu itu, belum berpikir untuk menjadi ahli biologi. Malah ingin menjadi insinyur -- seperti ayahnya yang bekerja pada perusahaan Bell Telephone. Ibunya seorang violis dan guru musik. Berkeinginan menyaingi ibunya, Payne, tekun berlatih memainkan cello. Di musim panas ia bergabung ke dalam perkemahan musik. Dan di rumah ia mengisi waktu luangnya dengan memainkan Beethoven -- secara kuartet bersama teman-temannya. Akhir masa sophomore (tahun kedua di universitas) di Harvard, ia mesti menentukan bidang studi utama untuk pelajaran tahun-tahun berikutnya. Ini yang menentukan karirnya. "Ketika menghadapi pilihan dalam formulir pengisian, yah, saya pilih saja biologi. Biasanya orang-orang memutuskan hal penting dalam hidupnya saat terdesak dan tak ada pilihan lain. Tapi toh saya kemudian tak berubah sikap." Penelitiannya yang serius di lapangan ini adalah mengenai kelelawar: bagaimana mereka mendeteksi arah datangnya suara. Lepas dari Harvard ia menempuh pendidikan pasca sarjana di Cornell University. "Untuk topik disertasi, saya buru-buru memilih burung hantu sebelum orang lain mengambilnya. Saya pikir ia merupakan burung yang paling memikat di dunia," kata Payne. Di Cornell itulah ia ketemu Katy Boynton, mahasiswa pasca sarjana yang sedang mendalami musik dan biologi. "Roger merupakan figur yang romantik," kata Katy mengenang perkenalannya yang pertama. "Waktu itu, ia sering berputar-putar di kampus dengan sepeda sambil menenteng cello. Saya menyukai musik yang ia mainkan. Saya kesengsem sama dia." Mereka menikah pada 1960. Empat tahun kemudian mendapatkan empat orang anak: John, Holly, Laura, dan Sam. Pasangan Payne dan Katy lalu membeli rumah di daerah pertanian di Lincoln, Massachusetts -- 20 mil dari teluk tempat ikan paus berpesta pora. Sewaktu masih baru di situ Payne belum tertarik pada ikan paus sampai suatu kejadian di pantai New England mengguncangkan hidupnya. Di pantai itu ia menemukan seekor porpoise (mirip lumba-lumba dengan panjang sekitar 183 cm) -- salah satu tipe ikan paus -- terkapar. Mayat ini sudah rusak dan lubang penyemprot airnya (di punggung) tersumbat. "Saya pikir mesti ada cara yang lebih konstruktif untuk berkomunikasi dengan saudara kita dari laut ini," kata Payne menyesali kejadian itu. Sekali lagi ia mengubah haluan penelitiannya. Dan keputusan di akhir 1960-an -- untuk menggeluti ikan paus -- tampaknya mantap benar di hatinya. Buntutnya suatu sukses. Ken Norris, ahli biologi laut di Universitas California di Santa Cruz, mengomentari Payne. "Karyanya, jika kita sudah membacanya, terbukti super. Tak kurang merupakan hasil yang paling inovatif selama ini," kata Ken. Payne pun menjanjikan untuk mencetak hasil penelitiannya lebih banyak. Bersama kolega dan para mahasiswanya, Payne telah menulis makalah-makalah yang bersifat teknis -- akan terbit dalam tahun ini. Payne sudah mendapatkan banyak bantuan untuk penelitian ikan paus. Sebuah sekolah, sekaligus laboratorium, ia dirikan di gudang rumahnya yang di Lincoln itu. Di sini bekerja lima-enam orang ahli biologi -- di antara mereka kebanyakan baru lepas dari college. Payne juga mendirikan stasiun observasi di Pantagonia. Mahasiswa-mahasiswa bergabung dengannya dalam perjalanan penelitian ke situ. Banyak, yang setelah memperoleh latihan di tempat Payne, kemudian mengembangkan karir sendiri dalam bidang biologi lautan. Semangat menentang perusakan alam sudah merupakan perang salib bagi Payne. Hidup nyaman, menempati rumah warna putih bergaya Victoria, di lingkungan alam yang liar dan segar, ia pun merasa jengah. "Rumah ini sudah terlalu 'berbudaya' buat saya," katanya. Ia lebih kerasan mengelana dan hidup di lingkungan ikan paus. Akibat keresahan ini, ia mengalami kesulitan untuk diam di tempat dan menulis makalah ilmiah yang sesuai dengan kehendak profesi. Banyak kritik menimpanya. Namun yang mengerti betul pribadi Payne, akan memaklumi "kegagalan" semacam ini. Thomas Eisner, ahli dari Cornell misalnya. "Dia itu anarkis," kata Thomas, "tapi anarkis yang konstruktif. Dan bisa jadi satu-satunya -- di antara dua atau tiga ilmuwan yang paling menarik di masa kini." Bagaimanapun makalah-makalah Payne, masih paling banyak dibaca dan didiskusikan dalam bidangnya. Sementara sikap Payne sendiri biasa-biasa saja. "Saya ini orang yang suka menangguh-nangguhkan urusan saja," katanya mengenai dirinya sendiri. Barangkali betul: untuk menangguhkan mulai berlakunya izin pembantaian ikan paus, ia telah rela menunda urusan "tata krama" profesi ilmiahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus