KETIKA lahir, Yulianti Lestari adalah bayi mungil yang sehat.
Dokter anak, langganan keluarganya, juga tidak pernah meragukan
adanya suatu kelainan dalam pertumbuhan anak itu. Tapi, di saat
si kecil mulai belajar jalan, Nyonya Una Setiawati, sang ibu,
merasa waswas.
Anaknya yang keenam ini pincang. Bukan itu saja. Hasil sinar X
di RS Borromeus, Bandung, menunjukkan tulang pinggulnya (coxae)
agak mencuat ke luar. Semakin banyak Yulianti mempergunakan
kakinya, tulang itu makin menonjol karena desakan tulang paha
(femur) yang mulai berfungsi. Dan ketika menginjak 5 tahun --
usia memasuki Taman Kanak-kanak -- Yulianti tak sanggup
berjalan. Anak itu terserang polio.
Berbagai upaya dilakukan: ke dokter, ke sinshe, dukun, tusuk
jarum, atau siapa saja yang menurut cerita, bisa menyembuhkan.
Hasilnya nihil, meskipun tubuhnya semakin gemuk. Bahkan
tangannya mulai melemah.
Sampai suatu hari, seorang tukang listrik, tetangga keluarga
anak itu, menganjurkan pergi ke George Hendrik Bamboe, bekas
pegawai RS Borromeus. Bertubuh kecil tapi tegap, laki-laki
berusia 52 tahun ini, pernah kuliah di THS (kini ITB). Ketika
masih bekerja di RS Borromeus ia menjabat kepala Bidang Teknik.
Bamboe pernah 5 tahun tinggal di Kanada. Di sana, katanya, ia
sempat mengambil kursus tentang orthotherapy (penyembuhan cacat
tubuh lewat alat bantu), prototherapy (terapi dengan protese,
alat ganti anggota tubuh yang cacat) dan physiotherapy (cara
penyembuhan otot-otot yang lumpuh). Kursus-kursus tersebut
diambilnya malam hari, karena siang hari dia bekerja di
perusahaan yang memproduksi peralatan untuk orang cacat badan.
Karena perawatan Bamboe inilah, Yulianti, kini 14 tahun,
sekarang sedang belajar berjalan. Sepatu berikut brace (alat
penguat sampai ke pangkal paha) selesai dibuat dalam satu
minggu. Harganya Rp 180.000. Kemudian korset, agar bahu yang
miring bisa tegak kembali, sekaligus menormalkan kembali tulang
panggul yang menonjol.
Selain itu ada pula kursi roda khusus dengan demikian Yulianti
dapat memutar sendiri roda kursinya. Setiap kali memutar roda
kursi berarti latihan gerakan tangan dan korset otomatis menekan
tulang panggul yang bandel. Peralatan tambahan ini berharga Rp
240.000 -- boleh dicicil. Selain itu, karena kaki Yulianti
selalu kesemutan, Bamboe menganjurkan agar merendamnya di air
sepanas mungkin (sebatas ia tahan) dan kemudian, setelah 15
menit, mencelupkannya di air dingin.
Kini, Yulianti dapat "menyeberangi" pipa sepanjang 2,5 meter.
"Saya berlatih dua kali sehari," ujar Yulianti yang kini bisa
bangkit dari tempat tidurnya. Bisa membaca dan menulis dari
hasil "sekolah" di rumah, Yuli kini bisa mengetik dan menyulam.
"Faktor kecerdasan pasien dan perhatian keluarga, sangat
menentukan dalam terapi ini," kata Bamboe. Sambil memperlihatkan
buku catatan, "pasien" Bamboe sudah mencapai ratusan. Tapi yang
kini aktif dalam perawatannya, ada sekitar 25 orang. Selain
pembayaran boleh dicicil, Bamboelah yang mendatangi yang sakit.
Bukan sebaliknya.
Alat bantu buatan Bamboe bisa dari alumunium, kayu, kulit atau
fibre glass disesuaikan dengan kemampuan penderita.
Penderita lain, Hendra, misalnya. Ketika berusia 11 bulan,
terserang infeksi dan suhu badannya tinggi. Sembuh. Tapi sampai
berusia 21 bulan, tak pandai merangkak. Dokter mengatakan Hendra
terkena polio, kemudian dianjurkan ke YPAC (Yayasan Penderita
Anak Cacat) Bandung. Kaki kiri Hendra tak bisa digerakkan dan
bentuknya lebih kecil ketimbang yang kanan.
Dan Bamboe, ayah dari enam anak ini, telah membuatkan alat bantu
untuk Hendra, "yang bisa mengalami fisioterapi 24 jam," kata
Bamboe. Hasilnya cukup menggembirakan. Selama 6 bulan berobat
pada Bamboe, Hendra, kini 6 tahun, sudah bisa berjalan kaki
sendiri ke alun-alun Bandung yang jaraknya 2 km dari rumahnya.
Setiap 10 hari, Hendra harus berkonsultasi dengan Bamboe.
Hendra memang penderita polio ringan. Tidak seperti Henny
Rustini yang pada 1981, menolak masuk SMP karena malu tak bisa
memakai sepatu. Sejak berusia 1 tahun, Henny tidak bisa berjalan
normal. Bukan alas kaki yang dilekatkan ke tanah, melainkan
punggung telapak kakinya. Selain itu, kedua telapak kakinya
tidak bisa menghadap ke depan, melainkan menghadap ke dalam.
Selama hampir 14 tahun, punggung kaki itu dijadikan alas
berjalan, sehingga mengeras dan membenjol sebesar telur bebek.
Haji Mahruf Winata, ayah Henny dan punya anak sembilan anak,
cukup puyeng. Karena selain Henny, kakaknya, Tatang Koswara,
juga pernah menderita cacat yang sama. Tapi ketika Tatang duduk
di kelas III SD, sembuh sendiri. Tetapi Imas Siti Andi ya, adik
Henny, juga menderita hal sama seperti Henny. Kini sudah mulai
bisa berjalan sendiri, setelah memakai alat bantu bikinan
Bamboe. Bamboe sendiri mengaku, "Saya bukan mengobati penyakit
itu, tapi membantu dengan alat saya."
Penyembuhan kaki pengkor (clubfoot) ini harus diawasi sampai
batas pertumbuhan tulang. "Kalau tidak cermat, bisa kembali
lagi," kata dr. Soelarto Reksoprodjo, 47 tahun, ketua PABOI
(Perkumpulan Ahli Bedah Ortopedi Indonesia). Menurut Soelarto,
penderita polio di Indoncsia diperkirakan 14 setiap 1.000 orang.
Ahli bedah ortopedi ini mengeluh kekurangan tenaga.
Mereka yang mempunyai keahlian bedah tulang ini baru 30 orang.
Dan biasanya setiap penderita polio memerlukan seorang perawat
khusus untuk melatih dan memberikan obat. Soelarto menilai alat
yang dibuat -- seperti buatan Bamboe -- sebagai sarana semata.
"Dan sarana itu bukan berarti bisa menyembuhkan," ujarnya
mengingatkan.
Karena itu Bamboe yang mempunyai "bengkel" dan berkarya sendiri,
secara legal memang sebetulnya tak diizinkan ber"praktek".
"Sebagai paramedis, dia harus bekerja di bawah pengawasan
dokter," ujar dr. Nagar Rasyid ahli bedah ortopedi di Bandung.
RS Borromeus, tempat Rasyid bertugas, memang memesan alat bantu
dari Bamboe. Tapi, tanpa menyebutkan alasan, Bamboe menolak
bekerja sama dengan RS itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini