Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Sepatu Polio Buatan Bamboe

Penderita polio, bisa dinormalkan dengan latihan tekun. tetapi alat bantu bukan obat. Bamboe telah mencobakan alat buatannya.

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA lahir, Yulianti Lestari adalah bayi mungil yang sehat. Dokter anak, langganan keluarganya, juga tidak pernah meragukan adanya suatu kelainan dalam pertumbuhan anak itu. Tapi, di saat si kecil mulai belajar jalan, Nyonya Una Setiawati, sang ibu, merasa waswas. Anaknya yang keenam ini pincang. Bukan itu saja. Hasil sinar X di RS Borromeus, Bandung, menunjukkan tulang pinggulnya (coxae) agak mencuat ke luar. Semakin banyak Yulianti mempergunakan kakinya, tulang itu makin menonjol karena desakan tulang paha (femur) yang mulai berfungsi. Dan ketika menginjak 5 tahun -- usia memasuki Taman Kanak-kanak -- Yulianti tak sanggup berjalan. Anak itu terserang polio. Berbagai upaya dilakukan: ke dokter, ke sinshe, dukun, tusuk jarum, atau siapa saja yang menurut cerita, bisa menyembuhkan. Hasilnya nihil, meskipun tubuhnya semakin gemuk. Bahkan tangannya mulai melemah. Sampai suatu hari, seorang tukang listrik, tetangga keluarga anak itu, menganjurkan pergi ke George Hendrik Bamboe, bekas pegawai RS Borromeus. Bertubuh kecil tapi tegap, laki-laki berusia 52 tahun ini, pernah kuliah di THS (kini ITB). Ketika masih bekerja di RS Borromeus ia menjabat kepala Bidang Teknik. Bamboe pernah 5 tahun tinggal di Kanada. Di sana, katanya, ia sempat mengambil kursus tentang orthotherapy (penyembuhan cacat tubuh lewat alat bantu), prototherapy (terapi dengan protese, alat ganti anggota tubuh yang cacat) dan physiotherapy (cara penyembuhan otot-otot yang lumpuh). Kursus-kursus tersebut diambilnya malam hari, karena siang hari dia bekerja di perusahaan yang memproduksi peralatan untuk orang cacat badan. Karena perawatan Bamboe inilah, Yulianti, kini 14 tahun, sekarang sedang belajar berjalan. Sepatu berikut brace (alat penguat sampai ke pangkal paha) selesai dibuat dalam satu minggu. Harganya Rp 180.000. Kemudian korset, agar bahu yang miring bisa tegak kembali, sekaligus menormalkan kembali tulang panggul yang menonjol. Selain itu ada pula kursi roda khusus dengan demikian Yulianti dapat memutar sendiri roda kursinya. Setiap kali memutar roda kursi berarti latihan gerakan tangan dan korset otomatis menekan tulang panggul yang bandel. Peralatan tambahan ini berharga Rp 240.000 -- boleh dicicil. Selain itu, karena kaki Yulianti selalu kesemutan, Bamboe menganjurkan agar merendamnya di air sepanas mungkin (sebatas ia tahan) dan kemudian, setelah 15 menit, mencelupkannya di air dingin. Kini, Yulianti dapat "menyeberangi" pipa sepanjang 2,5 meter. "Saya berlatih dua kali sehari," ujar Yulianti yang kini bisa bangkit dari tempat tidurnya. Bisa membaca dan menulis dari hasil "sekolah" di rumah, Yuli kini bisa mengetik dan menyulam. "Faktor kecerdasan pasien dan perhatian keluarga, sangat menentukan dalam terapi ini," kata Bamboe. Sambil memperlihatkan buku catatan, "pasien" Bamboe sudah mencapai ratusan. Tapi yang kini aktif dalam perawatannya, ada sekitar 25 orang. Selain pembayaran boleh dicicil, Bamboelah yang mendatangi yang sakit. Bukan sebaliknya. Alat bantu buatan Bamboe bisa dari alumunium, kayu, kulit atau fibre glass disesuaikan dengan kemampuan penderita. Penderita lain, Hendra, misalnya. Ketika berusia 11 bulan, terserang infeksi dan suhu badannya tinggi. Sembuh. Tapi sampai berusia 21 bulan, tak pandai merangkak. Dokter mengatakan Hendra terkena polio, kemudian dianjurkan ke YPAC (Yayasan Penderita Anak Cacat) Bandung. Kaki kiri Hendra tak bisa digerakkan dan bentuknya lebih kecil ketimbang yang kanan. Dan Bamboe, ayah dari enam anak ini, telah membuatkan alat bantu untuk Hendra, "yang bisa mengalami fisioterapi 24 jam," kata Bamboe. Hasilnya cukup menggembirakan. Selama 6 bulan berobat pada Bamboe, Hendra, kini 6 tahun, sudah bisa berjalan kaki sendiri ke alun-alun Bandung yang jaraknya 2 km dari rumahnya. Setiap 10 hari, Hendra harus berkonsultasi dengan Bamboe. Hendra memang penderita polio ringan. Tidak seperti Henny Rustini yang pada 1981, menolak masuk SMP karena malu tak bisa memakai sepatu. Sejak berusia 1 tahun, Henny tidak bisa berjalan normal. Bukan alas kaki yang dilekatkan ke tanah, melainkan punggung telapak kakinya. Selain itu, kedua telapak kakinya tidak bisa menghadap ke depan, melainkan menghadap ke dalam. Selama hampir 14 tahun, punggung kaki itu dijadikan alas berjalan, sehingga mengeras dan membenjol sebesar telur bebek. Haji Mahruf Winata, ayah Henny dan punya anak sembilan anak, cukup puyeng. Karena selain Henny, kakaknya, Tatang Koswara, juga pernah menderita cacat yang sama. Tapi ketika Tatang duduk di kelas III SD, sembuh sendiri. Tetapi Imas Siti Andi ya, adik Henny, juga menderita hal sama seperti Henny. Kini sudah mulai bisa berjalan sendiri, setelah memakai alat bantu bikinan Bamboe. Bamboe sendiri mengaku, "Saya bukan mengobati penyakit itu, tapi membantu dengan alat saya." Penyembuhan kaki pengkor (clubfoot) ini harus diawasi sampai batas pertumbuhan tulang. "Kalau tidak cermat, bisa kembali lagi," kata dr. Soelarto Reksoprodjo, 47 tahun, ketua PABOI (Perkumpulan Ahli Bedah Ortopedi Indonesia). Menurut Soelarto, penderita polio di Indoncsia diperkirakan 14 setiap 1.000 orang. Ahli bedah ortopedi ini mengeluh kekurangan tenaga. Mereka yang mempunyai keahlian bedah tulang ini baru 30 orang. Dan biasanya setiap penderita polio memerlukan seorang perawat khusus untuk melatih dan memberikan obat. Soelarto menilai alat yang dibuat -- seperti buatan Bamboe -- sebagai sarana semata. "Dan sarana itu bukan berarti bisa menyembuhkan," ujarnya mengingatkan. Karena itu Bamboe yang mempunyai "bengkel" dan berkarya sendiri, secara legal memang sebetulnya tak diizinkan ber"praktek". "Sebagai paramedis, dia harus bekerja di bawah pengawasan dokter," ujar dr. Nagar Rasyid ahli bedah ortopedi di Bandung. RS Borromeus, tempat Rasyid bertugas, memang memesan alat bantu dari Bamboe. Tapi, tanpa menyebutkan alasan, Bamboe menolak bekerja sama dengan RS itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus