Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Salero minang atau padang di...

Usaha mengembalikan citra restoran minang ke bentuk aslinya, sebagai langkah, dibentuk armindo (asosiasi restoran minang indonesia). dr. muchtar naim, ahli sosiologi meneliti manajemennya. (pan)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI restoran itu, suasana alam Minangkabau terasa sekali. Ruangan, tempat duduk, dekorasi, semua ditata bergaya Minang. Pelayan yang dengan gesit membawa setumpuk piring di kedua tangannya berpakaian hitam-hitam berdestar khas Minang pula. Masih dilengkapi lagi dengan gonjong-gonjong rumah adat di bagian rak makanan dan suara musik yang mengalun dari salung, rebab, dalam lagu pop Minang. Restoran Natrabu di Jalan Sabang, Jakarta, ini baru saja ditata dengan semangat "mengembalikan citra rumah makan Minang seutuhnya". Kedengarannya begitu melambung. Tetapi Rahimi Sutan, pemilik usaha ini, sangat bersungguh-sungguh. Langkahnya untuk mewujudkan angan-angannya ini begitu pasti. 16 restoran sejenis di Jakarta, pertengahan Maret lalu, dikumpulkannya. Lahirlah Armindo (Asosiasi Restoran Minang Indonesia). "Pada mulanya Armindo didirikan untuk ikut menggalakkan pariwisata, menyambut bebas visa bagi turis asing," kata Rahimi Sutan, 56 tahun, kepada Yulia S. Madjid dari TEMPO. "Setelah Armindo berusia 2 bulan, banyak hal yang perlu ditata -- kami ingin membantu pengembangan restoran Minang," tambah Rahimi Sutan, ketua Armindo. Sambutan pengusaha Minang cukup baik. Sudah 50 restoran di Jakarta mencatatkan diri jadi anggota Armindo. Mcnurut Hashuda, pemilik Restoran Roda yang duduk sebagai ketua I Armindo, sudah tiba saatnya untuk melestarikan usaha orang Minangkabau yang khas ini. Ahli sosiologi dari Universitas Andalas Padang, Dr. Muchtar Naim, menyambut gembira lahirnya Armindo di Jakarta. "Saya setuju, kalau memang akan mengembalikan citra Minang. Bagus sekali," kata Muchtar Naim bersemangat. Ia berharap, setelah Armindo melebarkan sayapnya ke seluruh pelosok Indonesia, kekhasan rumah makan Minang tetap terpelihara sebagaimana aslinya. Yang mana itu? Ternyata bukan hanya yang bisa dilihat sehari-hari -- seperti penataan piring berbentuk piramide di rak makan dan pelayan lelaki yang gesit dengan belasan piring di kedua tangannya. Ciri khas rumah makan Minang menyangkut juga masalah pengelolaan, sistem penggajian karyawan, dan pengawasan modal. Muchtar Naim yang bulan lalu mengadakan penelitian di 15 restoran Minang di Padang, berkesimpulan, keaslian itu belum sepenuhnya pudar. Rumah makan Minang, pada mulanya merupakan usaha rumah tangga. Pada perkembangan usahanya kemudian, muncul pekerja-pekerja yang tidak mengenal istilah "buruh" dan "majikan". Karena itu tidak dikenal istilah gaji. Yang ada, pembagian keuntungan yang merata setelah diketahui berapa besar laba. Biasanya dilakukan setiap 3 bulan sekali. Asas kekeluargaan sangat menonjol dan kuat sekali. Muchtar Naim menilai, sistem ini adalah contoh nyata pelaksanaan pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sistem pembagian kerja tidak diatur secara kaku. Semua orang bisa mengerjakan apa saja. Kesibukan di restoran Minang adalah kesibukan yang mengalir. Kasir bisa turun membenahi meja atau menumpuk piring di lengannya untuk melayani pengunjung. Pelayan yang tadi membersihkan meja, bisa duduk di belakang kasir menerima uang. Jadi sesungguhnya tak ada jabatan kasir, pelayan, tukang masak yang tetap. Sistem pengelolaan terbuka, begitu Muchtar Naim menamakannya. Hasil penjualan setiap hari diketahui seluruh karyawan. "Demikian terbukanya, sehingga pengawasan seperti tidak ada. Mereka bekerja saling mengingatkan dan saling mengkontrol," kata Muchtar Naim. Rumah makan Minang tidak menggunakan tenaga kerja wanita. Menurut ahli sosiologi yang segera menyusun hasil penelitiannya itu, ini menyangkut akar budaya masyarakat Minang. Lelaki Minang, kata Muchtar, melihat wanita yang bekerja akan segera teringat ibunya, dan ini menimbulkan perasaan kasihan. Selera makannya jadi hilang. Di samping itu, wanita yang bertugas sebagai pelayan dinilai kurang gesit dan bisa "memecah perhatian orang yang makan". Bermacam-macam pikiran timbul. "Padahal, rumah makan, bagi orang Minang, memang hanya untuk makan," lanjut Muchtar. Jika ada usaha mengembalikan citra restoran Minang ke bentuk "aslinya", Muchtar Naim mengusulkan dua hal penting. Bagian yang terlihat di permukaan dan bagian yang tersembunyi. Yang dimaksud permukaan adalah ciri khas masakannya yang rada pedas. Sistem pelayanan yang serba cepat dan tidak membedakan pengunjung. "Semua mendapat porsi yang sama," katanya. Sedangkan bagian yang tersembunyi adalah sistem pengelolaannya. Sistem ini bahkan perlu ditularkan ke restoran non-Minang. Rahimi Sutan dan kawan-kawannya sependapat dengan Muchtar. Pelayanan dengan kereta dorong, misalnya, dianjurkan untuk tidak dipakai. Rumah Makan Natrabu yang dipimpin Rahimi di Jalan Sabang itu, tetap tak mempekerjakan karyawan wanita. Pernah seorang pejabat di bidang pariwisata menganjurkan agar RM Natrabu yang banyak dikunjungi turis asing itu mengubah sistem pelayanannya, meniru pelayanan di hotel-hotel. Rahimi Sutan menolak karena tak sesuai dengan "adat Minang". Haji Hashuda, 63 tahun, pemilik Restoran Roda di Jakarta, bahkan punya ide yang lebih menengok ke belakang lagi. "Di Minang dikenal dengan makan bajamba, saya sedang memikirkan pelayanan seperti itu," katanya. Makan bajamba adalah makan bersama dalam satu piring besar tanpa menggunakan sendok dan garpu. Di Restoran Beringin, menurut pemiliknya, Zainal Djumil, karyawan wanita mulai masuk. "Tetapi tugasnya terbatas memberi air minum saja. Itu pun cuma siang hari," kata Zainal. Yang lain-lain, menurut dia, tetap "memakai tradisi Minang", sampai sistem upah bagi hasil setiap 3 bulan. Yang menarik, ternyata restoran Minang yang dikelola orang non-Minang juga menerapkan "tradisi Minang" sampai ke bagian yang "tersembunyi". Di Denpasar, Bali, ada 7 restoran Minang, hanya 2 buah dikelola orang Minang. Rumah Makan Gumarang, misalnya, pemiliknya keturunan Arab. Pelayannya yang juga cekatan menumpuk 14 piring di tangan, semua asli Bali. "Kami menerima gaji 3 bulan sekali dengan sistem bagi keuntungan," kata Ketut Wirta salah seorang karyawannya. Ia tahu sistem pengelolaan ini merupakan "adat Minang" dan 21 karyawan non-Minang di sana merasa sistem ini baik. "Kalau pengunjung ramai, kami terima lebih. Semuanya terbuka -- dan yang dituntut kejujuran," katanya. Wayan Ruja, yang kini pimpinan pengelola Rumah Makan Raya, juga di Denpasar, bahkan ikut terjun memasak. Ilmu masakan Padang itu diperolehnya lewat buku dan pergaulan. Hanya saja ia tak begitu ahli menumpuk 14 piring di lengannya sekaligus. Manajemen yang dipakai juga "dari Minang". Banyak rumah makan yang mencantumkan embel-embel Minang atau Padang pada papan namanya, tapi dikelola oleh orang non-Minang. Di Medan, dari 10 restoran Minang, separuhnya dimiliki keturunan Cina. Cuma tak jelas, apakah mereka juga menerapkan "sistem Minang" karena tertutup untuk diwawancarai. Menurut Haji Bachtar, 43 tahun, (yang asli Minang), pemilik Restoran Garuda Medan, restoran Minang yang dikelola nonpri itu hanya "mengatasnamakan Minang, ciri masakannya sudah lari." Garuda milik Bachtar dengan ketat melestarikan adat Minangkabau, bukan saja yang tampak di permukaan tapi sampai menyeluruh. Karyawannya diambil dari pemuda putus sekolah setempat, tak ada hubungan keluarga dengan pemiliknya. Upahnya bagi hasil. "Setiap 2 bulan sekali kami membagi keuntungan," kata Bachtar. "Percuma buka restoran Padang tanpa menampilkan kekhasan Padang," ujar Nazaruddin, pemilik Restoran Antika di Surabaya. Di sini ciri khas Minang menyeluruh diberlakukan, sampai pengajian Al Quran diputar lewat kaset setiap malam Jumat. Namun di Yogyakarta dan Bandung untuk sekadar contoh saja, rumah makan Padang bertebaran dengan pelayanan yang disesuaikan dengan situasi setempat. Rumah Makan Padang "Basamo" di Yogya hanya berupa kios berukuran 4 x 4 meter. Tidak ada pelayan yang sibuk atau kertas panjang untuk menjumlah harga makanan. Pengunjung datang dan menunjuk lauk yang disukai. Cukup dengan satu piring saja. Pemiliknya, Ny. Mariana mengurus "warung Padang" itu dibantu 4 anaknya yang semua putri. "Kalau mau menuntut pelayanan khas Padang sih bisa saja, tapi kan rumit," ujar Yustina, salah satu anak Ny. Mariana. Penyesuaian juga terjadi di Pontianak, di Restoran Purnama. "Masakan disesuaikan tidak terlalu pedas," kata Safri, kelahiran Pariaman, pemilik restoran itu. Namun restoran bertingkat 3 itu menyediakan "Ruang Baselo", ruang makan bersila seperti kebiasaan di Sumatera Barat, satu upaya untuk tak jauh lari dari adat Minang. Dapat dibayangkan, betapa sulitnya nanti "mengembalikan citra Minang seutuhnya" pada restoran masakan Minang di pelbagai kota. Menyadari hal itu, Ketua Armindo, Rahimi Sutan, punya gagasan untuk memisahkannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama, diberi nama Rumah Makan Minang yang menjunjung tinggi "keaslian adat Minang" dan dikelola asli Minang. Kelompok kedua, Rumah Makan Padang, yang menjual masakan Minang tanpa harus tunduk kepada "adat Minang". Kelompok terakhir ini tak bisa masuk Armindo. "Kalau dia memasang nama Minang harus tahu tradisi Minang dan bersendikan ajaran Al Quran dan Hadist," kata Rahimi Sutan. Lebih jelasnya barangkaii seperti yang diucapkan Muslim Anwar, pemilik Restoran Bundo Kanduang di Denpasar. "Banyak yang mencatut nama Minang. Restoran Minang, juru masak sampai pemotong ayam tak boleh orang lain agama," kata Muslim. Maksudnya karena Restoran Minang bersendikan Al Quran, ayam harus dipotong secara Islam. Gagasan Haji Hashuda menjadi menarik. Kalau Armindo yang dipimpinnya sudah kuat, penertiban akan dilakukan mencontoh Malaysia. "Setiap rumah makan Minang punya lisensi yang menjamin semua yang disajikan tidak diharamkan Islam," kata Hashuba. Sedang untuk orang Minang yang karena modal belum mampu membawa restorannya ke "tradisi Minang seutuhnya", akan diberikan kredit lewat Koperasi Armindo. Sebelum proses itu ia hanya berhak memakai nama "Padang" -- seperti pula restoran dengan sajian sejenis yang dikelola orang non-Minang. Terserah mau pilih Minang atau Padang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus