MEMASUKI restoran itu, suasana alam Minangkabau terasa sekali.
Ruangan, tempat duduk, dekorasi, semua ditata bergaya Minang.
Pelayan yang dengan gesit membawa setumpuk piring di kedua
tangannya berpakaian hitam-hitam berdestar khas Minang pula.
Masih dilengkapi lagi dengan gonjong-gonjong rumah adat di
bagian rak makanan dan suara musik yang mengalun dari salung,
rebab, dalam lagu pop Minang.
Restoran Natrabu di Jalan Sabang, Jakarta, ini baru saja ditata
dengan semangat "mengembalikan citra rumah makan Minang
seutuhnya". Kedengarannya begitu melambung. Tetapi Rahimi Sutan,
pemilik usaha ini, sangat bersungguh-sungguh. Langkahnya untuk
mewujudkan angan-angannya ini begitu pasti. 16 restoran sejenis
di Jakarta, pertengahan Maret lalu, dikumpulkannya.
Lahirlah Armindo (Asosiasi Restoran Minang Indonesia). "Pada
mulanya Armindo didirikan untuk ikut menggalakkan pariwisata,
menyambut bebas visa bagi turis asing," kata Rahimi Sutan, 56
tahun, kepada Yulia S. Madjid dari TEMPO. "Setelah Armindo
berusia 2 bulan, banyak hal yang perlu ditata -- kami ingin
membantu pengembangan restoran Minang," tambah Rahimi Sutan,
ketua Armindo.
Sambutan pengusaha Minang cukup baik. Sudah 50 restoran di
Jakarta mencatatkan diri jadi anggota Armindo. Mcnurut Hashuda,
pemilik Restoran Roda yang duduk sebagai ketua I Armindo, sudah
tiba saatnya untuk melestarikan usaha orang Minangkabau yang
khas ini.
Ahli sosiologi dari Universitas Andalas Padang, Dr. Muchtar
Naim, menyambut gembira lahirnya Armindo di Jakarta. "Saya
setuju, kalau memang akan mengembalikan citra Minang. Bagus
sekali," kata Muchtar Naim bersemangat. Ia berharap, setelah
Armindo melebarkan sayapnya ke seluruh pelosok Indonesia,
kekhasan rumah makan Minang tetap terpelihara sebagaimana
aslinya.
Yang mana itu? Ternyata bukan hanya yang bisa dilihat
sehari-hari -- seperti penataan piring berbentuk piramide di rak
makan dan pelayan lelaki yang gesit dengan belasan piring di
kedua tangannya. Ciri khas rumah makan Minang menyangkut juga
masalah pengelolaan, sistem penggajian karyawan, dan pengawasan
modal. Muchtar Naim yang bulan lalu mengadakan penelitian di 15
restoran Minang di Padang, berkesimpulan, keaslian itu belum
sepenuhnya pudar.
Rumah makan Minang, pada mulanya merupakan usaha rumah tangga.
Pada perkembangan usahanya kemudian, muncul pekerja-pekerja yang
tidak mengenal istilah "buruh" dan "majikan". Karena itu tidak
dikenal istilah gaji. Yang ada, pembagian keuntungan yang merata
setelah diketahui berapa besar laba. Biasanya dilakukan setiap 3
bulan sekali. Asas kekeluargaan sangat menonjol dan kuat sekali.
Muchtar Naim menilai, sistem ini adalah contoh nyata pelaksanaan
pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945.
Sistem pembagian kerja tidak diatur secara kaku. Semua orang
bisa mengerjakan apa saja. Kesibukan di restoran Minang adalah
kesibukan yang mengalir. Kasir bisa turun membenahi meja atau
menumpuk piring di lengannya untuk melayani pengunjung. Pelayan
yang tadi membersihkan meja, bisa duduk di belakang kasir
menerima uang. Jadi sesungguhnya tak ada jabatan kasir, pelayan,
tukang masak yang tetap. Sistem pengelolaan terbuka, begitu
Muchtar Naim menamakannya. Hasil penjualan setiap hari diketahui
seluruh karyawan. "Demikian terbukanya, sehingga pengawasan
seperti tidak ada. Mereka bekerja saling mengingatkan dan saling
mengkontrol," kata Muchtar Naim.
Rumah makan Minang tidak menggunakan tenaga kerja wanita.
Menurut ahli sosiologi yang segera menyusun hasil penelitiannya
itu, ini menyangkut akar budaya masyarakat Minang. Lelaki
Minang, kata Muchtar, melihat wanita yang bekerja akan segera
teringat ibunya, dan ini menimbulkan perasaan kasihan. Selera
makannya jadi hilang. Di samping itu, wanita yang bertugas
sebagai pelayan dinilai kurang gesit dan bisa "memecah perhatian
orang yang makan". Bermacam-macam pikiran timbul. "Padahal,
rumah makan, bagi orang Minang, memang hanya untuk makan,"
lanjut Muchtar.
Jika ada usaha mengembalikan citra restoran Minang ke bentuk
"aslinya", Muchtar Naim mengusulkan dua hal penting. Bagian yang
terlihat di permukaan dan bagian yang tersembunyi. Yang dimaksud
permukaan adalah ciri khas masakannya yang rada pedas. Sistem
pelayanan yang serba cepat dan tidak membedakan pengunjung.
"Semua mendapat porsi yang sama," katanya. Sedangkan bagian yang
tersembunyi adalah sistem pengelolaannya. Sistem ini bahkan
perlu ditularkan ke restoran non-Minang.
Rahimi Sutan dan kawan-kawannya sependapat dengan Muchtar.
Pelayanan dengan kereta dorong, misalnya, dianjurkan untuk tidak
dipakai. Rumah Makan Natrabu yang dipimpin Rahimi di Jalan
Sabang itu, tetap tak mempekerjakan karyawan wanita. Pernah
seorang pejabat di bidang pariwisata menganjurkan agar RM
Natrabu yang banyak dikunjungi turis asing itu mengubah sistem
pelayanannya, meniru pelayanan di hotel-hotel. Rahimi Sutan
menolak karena tak sesuai dengan "adat Minang".
Haji Hashuda, 63 tahun, pemilik Restoran Roda di Jakarta, bahkan
punya ide yang lebih menengok ke belakang lagi. "Di Minang
dikenal dengan makan bajamba, saya sedang memikirkan pelayanan
seperti itu," katanya. Makan bajamba adalah makan bersama dalam
satu piring besar tanpa menggunakan sendok dan garpu.
Di Restoran Beringin, menurut pemiliknya, Zainal Djumil,
karyawan wanita mulai masuk. "Tetapi tugasnya terbatas memberi
air minum saja. Itu pun cuma siang hari," kata Zainal. Yang
lain-lain, menurut dia, tetap "memakai tradisi Minang", sampai
sistem upah bagi hasil setiap 3 bulan.
Yang menarik, ternyata restoran Minang yang dikelola orang
non-Minang juga menerapkan "tradisi Minang" sampai ke bagian
yang "tersembunyi". Di Denpasar, Bali, ada 7 restoran Minang,
hanya 2 buah dikelola orang Minang. Rumah Makan Gumarang,
misalnya, pemiliknya keturunan Arab. Pelayannya yang juga
cekatan menumpuk 14 piring di tangan, semua asli Bali. "Kami
menerima gaji 3 bulan sekali dengan sistem bagi keuntungan,"
kata Ketut Wirta salah seorang karyawannya. Ia tahu sistem
pengelolaan ini merupakan "adat Minang" dan 21 karyawan
non-Minang di sana merasa sistem ini baik. "Kalau pengunjung
ramai, kami terima lebih. Semuanya terbuka -- dan yang dituntut
kejujuran," katanya. Wayan Ruja, yang kini pimpinan pengelola
Rumah Makan Raya, juga di Denpasar, bahkan ikut terjun memasak.
Ilmu masakan Padang itu diperolehnya lewat buku dan pergaulan.
Hanya saja ia tak begitu ahli menumpuk 14 piring di lengannya
sekaligus. Manajemen yang dipakai juga "dari Minang".
Banyak rumah makan yang mencantumkan embel-embel Minang atau
Padang pada papan namanya, tapi dikelola oleh orang non-Minang.
Di Medan, dari 10 restoran Minang, separuhnya dimiliki keturunan
Cina. Cuma tak jelas, apakah mereka juga menerapkan "sistem
Minang" karena tertutup untuk diwawancarai. Menurut Haji
Bachtar, 43 tahun, (yang asli Minang), pemilik Restoran Garuda
Medan, restoran Minang yang dikelola nonpri itu hanya
"mengatasnamakan Minang, ciri masakannya sudah lari."
Garuda milik Bachtar dengan ketat melestarikan adat Minangkabau,
bukan saja yang tampak di permukaan tapi sampai menyeluruh.
Karyawannya diambil dari pemuda putus sekolah setempat, tak ada
hubungan keluarga dengan pemiliknya. Upahnya bagi hasil. "Setiap
2 bulan sekali kami membagi keuntungan," kata Bachtar.
"Percuma buka restoran Padang tanpa menampilkan kekhasan
Padang," ujar Nazaruddin, pemilik Restoran Antika di Surabaya.
Di sini ciri khas Minang menyeluruh diberlakukan, sampai
pengajian Al Quran diputar lewat kaset setiap malam Jumat.
Namun di Yogyakarta dan Bandung untuk sekadar contoh saja, rumah
makan Padang bertebaran dengan pelayanan yang disesuaikan dengan
situasi setempat. Rumah Makan Padang "Basamo" di Yogya hanya
berupa kios berukuran 4 x 4 meter. Tidak ada pelayan yang sibuk
atau kertas panjang untuk menjumlah harga makanan. Pengunjung
datang dan menunjuk lauk yang disukai. Cukup dengan satu piring
saja. Pemiliknya, Ny. Mariana mengurus "warung Padang" itu
dibantu 4 anaknya yang semua putri. "Kalau mau menuntut
pelayanan khas Padang sih bisa saja, tapi kan rumit," ujar
Yustina, salah satu anak Ny. Mariana.
Penyesuaian juga terjadi di Pontianak, di Restoran Purnama.
"Masakan disesuaikan tidak terlalu pedas," kata Safri, kelahiran
Pariaman, pemilik restoran itu. Namun restoran bertingkat 3 itu
menyediakan "Ruang Baselo", ruang makan bersila seperti
kebiasaan di Sumatera Barat, satu upaya untuk tak jauh lari dari
adat Minang.
Dapat dibayangkan, betapa sulitnya nanti "mengembalikan citra
Minang seutuhnya" pada restoran masakan Minang di pelbagai kota.
Menyadari hal itu, Ketua Armindo, Rahimi Sutan, punya gagasan
untuk memisahkannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama,
diberi nama Rumah Makan Minang yang menjunjung tinggi "keaslian
adat Minang" dan dikelola asli Minang. Kelompok kedua, Rumah
Makan Padang, yang menjual masakan Minang tanpa harus tunduk
kepada "adat Minang". Kelompok terakhir ini tak bisa masuk
Armindo. "Kalau dia memasang nama Minang harus tahu tradisi
Minang dan bersendikan ajaran Al Quran dan Hadist," kata Rahimi
Sutan.
Lebih jelasnya barangkaii seperti yang diucapkan Muslim Anwar,
pemilik Restoran Bundo Kanduang di Denpasar. "Banyak yang
mencatut nama Minang. Restoran Minang, juru masak sampai
pemotong ayam tak boleh orang lain agama," kata Muslim.
Maksudnya karena Restoran Minang bersendikan Al Quran, ayam
harus dipotong secara Islam.
Gagasan Haji Hashuda menjadi menarik. Kalau Armindo yang
dipimpinnya sudah kuat, penertiban akan dilakukan mencontoh
Malaysia. "Setiap rumah makan Minang punya lisensi yang menjamin
semua yang disajikan tidak diharamkan Islam," kata Hashuba.
Sedang untuk orang Minang yang karena modal belum mampu membawa
restorannya ke "tradisi Minang seutuhnya", akan diberikan kredit
lewat Koperasi Armindo. Sebelum proses itu ia hanya berhak
memakai nama "Padang" -- seperti pula restoran dengan sajian
sejenis yang dikelola orang non-Minang. Terserah mau pilih
Minang atau Padang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini