Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mesir, sepotong dunia yang tua itu, terasa begitu menggetarkan sebelum kami memasukinya. Lebih dari kunjungan ke Amerika, Jerman, atau Jepang, kami serasa akan surut ribuan tahun sebelum Masehi dan bertemu dengan Ramses serta Cleopatra. Memasuki sejarah, seperti kata Cherea dalam lakon Caligula Albert Camus.
”Maaf untuk sebuah pertanyaan yang kedengarannya tolol,” demikian saya tulis dalam e-mail kepada Profesor Fawzi, ”Bagaimana cuaca Kairo pada akhir September saat festival berlangsung?” Maksud saya, agar kami tidak kelebihan atau kekurangan membawa pakaian. ”Dan apakah ada nasi, atau toko Asian food, karena para pemain saya tidak terbiasa makan roti?”
Jawaban yang saya terima menyebutkan Kairo panas, bisa sampai 36 derajat Celsius atau lebih. ”Soal nasi, jangan khawatir, Anda akan menemukannya di dalam hotel,” kata profesor ketua festival itu. Saya lalu memaklumkan kepada semuanya untuk menghindarkan jaket-jaket tebal agar tak sampai overweight, karena properti kami sudah menghabiskan jatah bagasi. Fien, yang berasal dari Padang, kemudian memasak rendang beberapa kilo. Ketika melewati pemeriksaan imigrasi di Kairo, kami dipandu oleh panitia sehingga tak perlu buka koper. Dengan demikian, kami berhasil membawa ”rasa” Indonesia itu ke lembah Sungai Nil.
Begitu menapak di Kairo, kami tertegun. Suasananya, orang-orangnya, tak terasa asing. Nuansa Asianya membuat kami belum merasa di negeri orang. Tidak ada ketegangan ketika melewati duane. Semuanya berjalan akrab, bisa ”diatur” sebagaimana di Jakarta.
”Busnya memang begini,” kata staf dari KBRI yang menjemput kami, menunjuk bus penjemput yang sederhana. ”Nanti jangan terkejut kalau ambil taksi. Semuanya tua dan tidak pakai AC,” dia melanjutkan. Malah, katanya, tak jarang taksi mogok di tengah jalan dan kita terpaksa ikut mendorong supaya tokcer lagi. Kendaraan itu juga boleh distop orang lain sehingga bisa saja kita duduk satu taksi dengan orang yang tak dikenal. ”Kira-kira semacam angkot,” katanya lagi.
Mula-mula kami menganggap itu lelucon. Tetapi pemandangan di jalan segera menjelaskan itu bukan isapan jempol. Saya hampir tak pernah bertemu dengan mobil mewah. Semuanya mobil-mobil tua dan sederhana. Sangat beda dengan Jakarta, yang bersolek di jalanan. Diam-diam kesederhanaan itu mengukir rasa akrab sehingga memberikan kesan ada kesamaan derajat. Jangan-jangan itu upaya untuk membuat seluruh warga Kairo berada dalam kesetaraan.
Karena itu, esoknya saya berencana menyewa taksi keliling kota sebelum acara memadat. Selesai sarapan, saya keluar dari hotel untuk jalan-jalan. Di sekitar hotel tampak beberapa orang bersenjata berjagajaga dalam seragam putih. Ketika saya hendak mengambil gambar, mereka melarang. Untuk menghapus ketegangan, saya mendekat dan memperkenalkan diri. Ternyata orangnya ramah. Mereka mengaku sebagai tentara milisi. Anak-anak muda pada usia tertentu dikenai wajib militer dan tidak bisa menolak. Saya teringat pada Indonesia. Jangankan wajib militer, untuk ronda malam pun orang lebih suka membayar.
Seorang sopir taksi liar mendekati saya dan menawarkan keliling kota hanya dengan 100 pound. ”Ana akan bawa Anda ke pusat-pusat perbelanjaan, pasar tradisional, museum, dan juga piramid, cukup 100 pon saja,” katanya dengan ramah dan mengesankan. Hampir saya terbujuk. Untung salah seorang anggota memanggil saya karena ada yang harus diputuskan. Ketika saya ceritakan soal taksi keliling kota itu, ia tersenyum. ”Hati-hati,” katanya, ”Di sini jangan hanya memikirkan berapa harganya, tapi tipnya. Bisa lebih mahal. Jangan lupa, ini kota wisatawan.”
Di Giza, kawasan piramid paling sohor itu, saya mengalami sendiri bahwa walau memakai label peserta festival, kehadiran saya tetap disikapi sebagai wisatawan. Ketika hendak mengambil gambar, seorang petugas berseragam putih lengkap dengan senjata menghampiri. Dia menunjuk ke sebuah titik yang ditandai dengan besi di pasir. ”Berdiri di situ dan angkat tangan, lalu menunjuk ke bawah,” katanya kira-kira dalam bahasa Arab. Dia meraih kamera saya. Karena orangnya pakai seragam, walau waswas, saya menurut dan berpose menurut yang ia anjurkan. Beberapa kali ia mengambil gambar sampai puas, baru mengembalikan kamera. Ketika saya berterima kasih, dia menanyakan tip. Saya baru sadar, saya sudah mempergunakan jasanya. Terpaksa saya minta maaf sembari menunjukkan kantong kosong. Syukur dia mengerti.
Mau tak mau saya teringat pada Bali. Belakangan banyak wisatawan, khususnya lokal, mulai mengeluh karena orang Bali minta duit waktu dipotret. Para wanita petani yang menyunggi beban di atas kepala di jalan setapak tidak menolak dipotret, tetapi sesudahnya menuntut bayaran. Di Ubud, saya mengalami hal itu. Ada orang yang menuntut pembayaran karena sudut rumahnya masuk ke gambar ketika ada syuting film. Menjadi komersial dan menghadapi pendatang sebagai obyek yang harus dikuras kantongnya barangkali adalah perlawanan balik dari mereka yang sudah dijadikan ”tontonan” oleh industri pariwisata. Menahan erosi budaya akibat maraknya pariwisata memang sulit.
”Kawin juga tidak mudah di sini,” kata seorang rekan Indonesia yang mendampingi kami. ”Anda harus punya pekerjaan bagus, simpanan uang, dan maskawin yang mereka tuntut,” tuturnya. Di Indonesia, maskawin bisa disampaikan secara simbolis saja. Di Mesir, menurut rekan itu, kalau maskawinnya tak konkret berwujud, jangan harap diterima. ”Mereka hanya mau realistis saja, sebab hidup butuh materi. Siapa yang mau hidup miskin sekarang?” tuturnya.
Dia menceritakan pernah ada orang Indonesia yang menikah dengan wanita setempat. Ia diterima baik karena punya pekerjaan yang bagus. Tetapi, begitu berhenti dari pekerjaannya, ia dicampakkan sehingga terpaksa kembali ke Indonesia. Setelah di Indonesia, terkabar ia berhasil kembali mendapat kedudukan. Istrinya dengan tak ragu-ragu memanggil kembali supaya suami malang itu berkumpul lagi dengan keluarganya di Kairo.
”Jadi, walau dibenarkan memiliki istri lebih dari satu di sini,” rekan itu melanjutkan, ”pria tidak bisa seenak perutnya kawin-cerai.” Para wanita di Mesir tahu haknya dan bisa melindungi dirinya sehingga tidak terjadi pelecehan seperti yang banyak ditakutkan. ”Hanya, kalau sudah menikah, wanita di sini kebanyakan menjadi gendut seperti menunjukkan suaminya cukup memberi kemakmuran.”
Saya anggap bagian terakhir informasinya itu lelucon. Tapi memang para wanita berkeluarga terlihat ukurannya banyak yang LLL, sementara yang muda-muda begitu indah tubuhnya. Jadi, pernikahan rupanya terkait erat dengan masalah kesejahteraan. Saya teringat kembali cerita Vladan, seorang aktor yang ikut berpartisipasi dengan kolaborasi saya di Beograd pada tahun lalu. Orang-orang Beograd kalau berlibur banyak yang ke Kairo, karena tinggal menyeberang saja.
Di Kairo, Vladan bertemu dengan seorang gadis yang cantik sekali. ”Hampir saja aku kawin dengan dia,” Vladan berkisah. Kemudian keluarga si gadis datang dan bilang, ”Kalau mau menikahi anak kami, silakan saja, tapi kamu harus mau menanggung kami semuanya”: hampir sepuluh orang anggota keluarga itu. ”Terpaksa aku mundur, karena itu bukan perkawinan lagi, melainkan bunuh diri,” kata Vladan.
Kekeluargaan begitu kental pada penduduk. Dan itu masih terpancar sisanya kepada pendatang. Terasa ada benang silaturahmi dari para sopir atau pemandu wisata yang menyapa kami di jalanan. Bahkan dari pedagang jagung bakar yang mangkal dengan gerobak daruratnya di tengah jembatan Sungai Nil. Ia membawa beberapa orang anaknya yang kecil-kecil, salah satu di antaranya sibuk membaca di bawah meja. Mungkin itu semacam ”sandiwara” biasa, yang juga popular di Jakarta, namun yang jelas tak disertai pemaksaan.
Seorang gadis kecil, sekitar 7 tahun, dengan pakaian bersih nimbrung kami berpose malam-malam di ujung jembatan Sungai Nil. Ia terus membuntuti kami dan memaksa masuk ke dalam frame foto. Mula-mula saya masih menyangka itu semacam spontanitas kekanak-kanakan terhadap orang asing. Ketika kami hendak pergi, ia ternyata meminta uang. Dia tidak menolak ketika kami mengeluarkan uang kecil. Wajahnya begitu cantik. Kalau di Jakarta, dia akan diperebutkan untuk jadi bintang sinetron. Ia begitu terlatih menghadapi turis.
Menilai Kairo hanya dalam satu-dua hari kunjungan permukaan memang mustahil. Di daerah wisata, kejadiannya hampir sama. Tapi yang mendalam pada saya adalah bahwa, di balik semua itu, pancaran hati penduduk negeri terasa hangat. Saya tak merasakan sedang berada dalam kawasan yang berbahaya. Tidak ada diskriminasi sama sekali. Orang-orangnya moderat dan siap menerima pendatang. Mereka mencintai kesenian. Bahkan suara azan pagi yang masuk ke ruang tidur hotel rasanya ramah, singkat, sederhana, namun mendalam.
Berjalan-jalan malam sendirian pun tak perlu ragu-ragu. Aman, seperti di Tokyo saja. Banyak kegiatan di Kairo justru baru mulai setelah larut. Toko-toko masih buka sampai larut malam.
Dari jendela apartemen Atase Kebudayaan dan Pendidikan, saya melihat lapangan kota bermandi cahaya. ”Coba lihat anak-anak itu main bola sampai pagi,” kata Ibu Atase Kebudayaan menunjuk ke lapangan, ”Karena siang udaranya panas, malam hari anak-anak itu bermain sampai pagi setiap malam.”
Teriakan-teriakan anak-anak itu mencuat ke udara. Dan saya mendapatkan semacam perasaan yang aneh, tentang konsep waktu yang berbeda. Kehidupan malam di berbagai kawasan mungkin lebih berarti sebagai kehidupan mesum. Tetapi di Kairo rasanya berbeda. Apa karena belum banyak yang saya ketahui? Atau karena Kairo, Mesir khususnya, walau termasuk negara yang tidak kaya—seperti juga Indonesia—berhasil menahan seluruh amukan globalisasi dengan akar budaya kekeluargaan Timurnya? Sesuatu yang bisa dijadikan contoh dalam mengurangi erosi budaya yang kini semakin memperkosa jatidiri kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo