Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menggantung Harapan di Tengah Kesulitan

Pemberlakuan tatanan baru tak langsung menggerakkan kinerja pelaku usaha.

2 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Seorang pramuniaga merapikan sepatu yang akan dijual di pusat perbelanjaan Tunjungan Plaza, Surabaya, Jawa Timur, 29 Mei 2020. ANTARA/Zabur Karuru

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Industri sepatu sudah lebih dulu merasakan pahitnya pagebluk sejak Januari .

  • Hasil produksi menyambut Lebaran menumpuk di pabrik.

Jauh sebelum wabah virus Covid-19 menyebar di Indonesia, industri sepatu sudah lebih dulu merasakan pahitnya imbas pagebluk tersebut. Lonceng bahaya sudah berbunyi sejak awal tahun karena pasokan bahan baku mulai tidak lancar, khususnya dari Cina, negara episenter corona. Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengatakan pemilik pabrik sudah putar otak meski dengan biaya lebih mahal sekalipun, demi bisa terus berproduksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sejak medio Januari hingga awal Maret kami sudah berupaya lebih, mulai mencari sumber pasokan lain, ada tambahan biaya percepatan pengiriman logistik, hingga kenaikan harga,” ujar Firman kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Firman tak menyangka persoalan bahan baku baru permulaan. Berita pasien pertama virus corona pada awal Maret lalu jadi pukulan berikutnya. Hasil produksi untuk menyambut lonjakan permintaan Lebaran berujung tumpukan di sudut-sudut pabrik. Statistik penjualan retail tak bergerak akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) membuat produksi tak bergerak dari pabrik, meski sudah dipesan.

Penyelesaian sisa pesanan ekspor ternyata hanya bertahan hingga Mei lalu. Setelah itu, belum ada pesanan lagi. Saat ini, ribuan karyawan sudah banyak dirumahkan, kontrak tidak diperpanjang, hingga adanya pemutusan hubungan kerja (PHK).

Wacana tatanan baru atau “new normal” belum mampu menggerakkan industri untuk segera berproduksi. Pabrik, kata Firman, butuh waktu tiga bulan ke depan apabila garis “start” tatanan baru dimulai bulan ini.

Gangguan permintaan produk industri sejalan dengan anjloknya kunjungan pusat belanja. Wakil Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Alphonzus Widjaja mencatat jumlah kunjungan sudah amblas hingga 90 persen akibat Covid-19. Pusat belanja dibebani kewajiban memutus mata rantai penyebaran virus dengan menutup operasional nyaris 100 persen. Penyewa, karyawan, dan mitra kerja kena imbas akibat tutupnya sejumlah mal.

Pada kondisi tersebut, Alphonzus mengatakan efisiensi menjadi jalan satu-satunya. Sejauh ini, PHK menjadi opsi paling akhir. Menurut dia, roda ekonomi perlu segera dipulihkan karena kas perusahaan makin menipis. “Kami memperkirakan jumlah pengunjung ke pusat belanja baru akan normal kembali setelah vaksin ditemukan.”

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran mengatakan setiap keputusan bepergian bagi sejumlah pelancong sejatinya disertai rencana perjalanan. Tatanan baru yang digadang-gadangkan pemerintah hanya akan jadi gelembung hampa bagi industri pariwisata jika regulasi pemerintah tidak konsisten dan berkesinambungan. Kerugian yang ditanggung setelah sebagian besar hotel dan restoran tutup akan berlanjut jika pemerintah menutup akses perjalanan sama sekali.

Setidaknya sudah 6,03 juta tenaga kerja harus dirumahkan dan juga sudah ada penutupan bisnis di berbagai sektor, dari pariwisata, jasa angkutan, hingga otomotif. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Kamdani mencontohkan industri pariwisata yang tutup sebanyak 1.700 hotel sejak Maret lalu. “Apabila PSBB terus berlangsung kami sudah memprediksikan napas dunia usaha banyak yang hanya bertahan sampai bulan ini,” ujar Shinta.

Kepala Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal tak berani memberikan asumsi kapan bencana pandemi berhenti. Pasalnya, hingga saat ini ia belum melihat pola yang tetap dari penambahan kasus yang ada setiap harinya. Yose mengatakan data yang tersaji oleh pemerintah belum merepresentasikan apa-apa.

Yose mengkritik narasi pemerintah soal kebijakan PSBB yang diarahkan untuk pengurangan jumlah kasus paparan virus. Menurut dia, periode tiga bulan lalu seharusnya dimaknai sebagai fase “buying time”, yaitu waktu yang dibeli untuk mempersiapkan kondisi terbaik menghadapi pandemi, termasuk ledakan kasus sekalipun. Apabila menunggu PSBB berakhir, biaya ekonominya terlalu tinggi. “Hingga tiga bulan ini saja belum ada testing (pengujian) yang diakselerasi. Seharusnya tiga bulan ini ada persiapan yang lebih jauh,” katanya.


Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus