Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH perahu kayu bercat hijau, panjang sembilan meter dan lebar dua meter, buang sauh di tanggul laut Muara Baru, Jakarta Utara. Bergoyang-goyang bersama ombak, di sanalah Jono bersama istri, 10 anak, dan 17 cucunya tinggal sejak Jumat dua pekan lalu. Luberan Waduk Pluit merendam rumahnya di Kampung Gedong Pompa, di sisi waduk terbesar di Jakarta itu.
Nelayan 63 tahun itu tidak menduga akan berumah di atas ombak. Pada Kamis dua pekan lalu, hujan turun lebat. Rumahnya terendam semata kaki. Namun tak ada alasan untuk cemas. Sebab, air akan surut dalam sehari. Namun keesokan harinya air justru naik hingga sebetis, padahal hujan turun ringan saja.
Jono tahu penyebabnya setelah petugas gedung pompa datang. "Katanya, pompa mati dan air akan naik," ujarnya.
Joko, salah seorang petugas pompa Waduk Pluit, mengungkapkan semua pompa di Waduk Pluit pada saat itu sudah kewalahan menguras air. Padahal di waduk tersebut ada tujuh pompa, di dua rumah pompa.
Rumah pompa pertama di gedung barat memiliki tiga pompa berkapasitas pembuangan air masing-masing enam meter kubik per detik. Pompa ini dibangun pada 2004 dan bisa bekerja meski terendam. Motor pompa berada di ketinggian 4-5 meter dari lantai bawah.
Rumah pompa kedua berada di gedung tengah dan memiliki empat pompa dengan kapasitas empat meter kubik per detik, yang diletakkan di dasar lantai bawah. Rumah pompa ini didirikan pada 1980-an. Ada satu rumah pompa lagi yang didirikan saat itu, tapi kini sudah rata dengan tanah.
Ketujuh pompa sanggup membuang air laut 34 meter kubik—hampir setara dengan enam tangki truk bahan bakar minyak—per detik. Toh, kerja pompa masih kalah cepat oleh jumlah air yang digelontorkan ke dalam waduk, sekitar 70 meter kubik per detik. "Jika dipakai menguras air hujan saja, pompa masih kuat," ujar Joko. "Tapi air bukan hanya dari langit."
Tambahan air itu berasal dari tengah Jakarta. "Tanggul Kanal Banjir Barat di tepi Jalan Latuharhary jebol," kata Wakil Kepala Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta Tardjuki. "Jika tanggul tersebut tidak bobol, Pluit aman."
Waktu itu, kanal sedang menerima limpahan air Kali Ciliwung yang meluap di luar kebiasaan. Di pintu air Manggarai, ketinggian air tercatat 1.030 sentimeter. Ini lebih tinggi 80 sentimeter dari batas siaga I.
Tanggul Latuharhary adalah tanggul terendah di sepanjang kanal. Air kanal pun meloncati tanggul. Masalahnya, tanggul tersebut dibuat dari batu kali yang diikat dengan semen. Sedangkan di sisi luar, dindingnya ditopang tanah urukan. Menurut Tardjuki, tanah seperti ini bisa digerus air dengan mudah. Saat tanah itu habis, tanggul melawan sendirian dorongan air. Akibatnya, tanggul jebol sepanjang 75 meter. Waktu itu sekitar pukul 09.30. "Debitnya 50-75 meter kubik."
Air kanal lalu masuk ke Sungai Cideng-Sumenep yang memotong Jalan Thamrin. "Inilah penyebab tenggelamnya Bundaran Hotel Indonesia dan Jalan Thamrin," ujar Kepala Badan Informasi Geospasial Asep Karsidi.
Lewat peta kontur, terlihat bahwa air kanal kemudian masuk ke Waduk Melati di samping Grand Indonesia. Dari waduk itu, air dialirkan lagi ke Kali Cideng. Nah, kali ini bermuara di Waduk Pluit. Air kanal tiba di Waduk Pluit pada siang hari, sebesar 30 meter kubik per detik.
Tardjuki memperkirakan jumlah air yang menggelontor ke Waduk Pluit pada saat itu sekitar 70 meter kubik per detik atau dua kali daya buang pompa. Alhasil, keesokan harinya waduk berdaya tampung 2,2 juta meter kubik itu sudah penuh air. "Sisa airnya meluber ke Pluit, Muara Karang, dan Muara Baru," kata Tardjuki.
Menurut Joko, air mulai meluber ke perumahan di sekitar waduk pada Jumat sore. Mula-mula air keluar melalui Jembatan Tiga, mengalir ke Mal Emporium Pluit, lalu ke Pluit Village, dan berakhir di Muara Karang. Di kawasan Muara Baru, banjir menjadi setinggi leher orang dewasa pada Jumat malam. Pantai Indah Kapuk, yang terletak lebih ke barat, tak ikut terendam karena air terhalang tanggul Kali Karang.
"Pada puncaknya, tinggi air Waduk Pluit mencapai 275 sentimeter," ujar Joko. Angka ini merupakan rekor ketinggian air waduk. Rekor sebelumnya dipegang oleh banjir akibat bobolnya tanggul penahan gelombang laut di Kampung Gedong Pompa pada 2007. Ketika itu, ketinggian air waduk mencapai 135 sentimeter.
Agar kejadian serupa tak terulang, menurut Tardjuki, Sungai Ciliwung harus segera direvitalisasi. "Agar sungai tak mengalami kelebihan beban aliran," katanya. Di daerah tengah, misalnya, arus Kali Ciliwung harus dipecah sebagian ke Kanal Banjir Timur melalui penyodetan.
"Pengerukan Waduk Pluit bukan lagi jawaban terbaik," ujarnya. Waduk Pluit terakhir dikeruk pada 2005. Kini waduk sudah dangkal lagi. Kedalamannya tinggal 2-3 meter dari semula 10 meter. Masalahnya, dana yang dibutuhkan untuk mengeruk waduk mencapai triliunan rupiah. Padahal upaya ini juga bukan tanpa risiko.
Pengerukan waduk, kata Tardjuki, bisa menambah tekanan terhadap tanggul ombak yang berada di sisi utara waduk. "Jika perbedaan dasar waduk dan gelombang pasang terlalu tinggi, tanggul bisa jebol. Ini masalah baru lagi."
Toh, revitalisasi Waduk Pluit tetap perlu. Rumah pompa baru, misalnya, perlu dibangun. Kabarnya, Japan International Cooperation Agency telah berkomitmen mengucurkan hibah pembangunan rumah pompa senilai Rp 175 miliar hingga 2014. Bantaran waduk juga perlu ditata ulang.
"Sekitar 25 persen sudah beralih menjadi permukiman warga liar," kata Koordinator Pengerukan Waduk Pluit Haryanto. Di sanalah sekitar 10 ribu keluarga tinggal. Akibatnya, luas waduk berkurang 15 hektare.
Jono belum memutuskan apakah ia akan menjauh dari sisi waduk. Namun Rusmawati, warga Taman Burung, Pluit Timur, memilih pindah ke rumah susun sewa Marunda bersama 66 keluarga lain. Alasannya, "Dulu adanya kompor minyak dan tak punya kulkas, di sini saya dapat kulkas sama kompor gas," ujarnya. Gratis.
Anton William, Jayadi Supriadin, Istman M.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo