Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Joko, petugas pompa Waduk Pluit, Jakarta Utara, tak mengira air berkecepatan 30 meter kubik atau 30 ton per detik dari Kali Cideng itu bakal menghantam waduk yang ia jaga Kamis siang dua pekan lalu. Saat itu pukul 13.00. Ia bersama sembilan petugas pompa lain belum lama melepas ketegangan setelah sepanjang 12 jam memaksa pompa waduk menguras air hingga ketinggian 65 sentimeter di bawah permukaan laut akibat hujan deras semalaman.
Tak dinyana, bah yang datang dari arah Menteng, Jakarta Pusat, itu justru membuat Joko dan kawan-kawan kian sibuk. Sungai Cideng dan sembilan sungai lain yang bermuara di waduk itu menerima limpahan dari Kanal Banjir Barat yang jebol di Latuharhary, Menteng. Tanggul di tempat itu robek sepanjang 75 meter pada pukul 09.30. Air sampai di Pluit tiga setengah jam kemudian.
Joko, yang sudah menjaga pompa air waduk selama 32 tahun, tak habis pikir tujuh pompa yang ia geber sejak dinihari keok oleh waduk siang itu. Muka air dengan cepat bergerak naik 25 sentimeter. "Pompa sudah mentok, tapi air naik terus," ujar pria 54 tahun ini kepada Tempo, Selasa pekan lalu.
Terus melonjak, ketinggian air melampaui titik nol. Bahkan kenaikan air Waduk Pluit kali ini mencapai 275 sentimeter. Angka ini memecahkan rekor kenaikan tertinggi, yaitu 135 sentimeter, yang terjadi pada 2007. Ketika itu, air laut masuk ke waduk akibat jebolnya tanggul laut di Kampung Gedong Pompa di utara waduk. "Ini rekor air waduk tertinggi sepanjang sejarah," katanya.
Rekor di papan meter air itu segera saja menciptakan horor bagi kawasan Pluit, yang memiliki luas 7,7 kilometer persegi dengan 218 rukun tetangga. Sebanyak 4.466 rumah dihajar banjir dengan ketinggian satu-dua meter lebih. Rumah-rumah di permukiman elite di barat waduk serta rumah-rumah penduduk miskin yang menyesaki tepi timur dan utara waduk terbenam. Sudah lebih dari sepekan banjir itu tak kunjung surut. Pluit pun menjadi daerah banjir terparah pada awal tahun ini.
Di hampir seluruh wilayah DKI, air memang menggenang. Kawasan bisnis seperti Jalan Sudirman dan Thamrin lumpuh. Istana Negara terendam. Sebanyak 24 orang tewas. Di Plaza UOB, Sudirman, air ibarat tsunami yang menyapu tiga basement dan menewaskan dua pekerja. Gubernur DKI Joko Widodo menyatakan kerugian Jakarta akibat banjir mencapai Rp 20 triliun. Jakarta pun berstatus darurat banjir.
Drama di rumah pompa Waduk Pluit yang ditempati Joko dan kawan-kawan itu menunjukkan nasib Pluit bergantung pada tiga hal: waduk, tanggul, dan pompa air. Banjir di kawasan yang berada di bawah permukaan laut dan Kali Muara Karang—merupakan pecahan Kanal Banjir Barat—itu pada 1985, 1997, 2002, dan tahun ini tersebab oleh tiga hal tersebut.
Waduk mulai dibangun pada 1965. Tujuannya menjadi tempat parkir air dari Kali Cideng yang tertahan ke laut ketika sedang pasang. Genangan air dari wilayah Jatibaru, Taman Sari, Mangga Besar, dan Kali Beton juga ditampung di waduk ini. Melalui pompa berdaya besar, air tersebut disedot dan dibuang ke laut.
Peran waduk ini sangat vital. Menurut Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Ery Basworo, bila kapasitasnya berkurang dan terjadi luapan air, dampaknya tidak hanya dirasakan kawasan sekitar waduk. "Tapi juga kawasan Kota. Termasuk daerah sepanjang Hayam Wuruk dan Gajah Mada serta Istana Negara," kata Ery.
Waduk yang selesai dibangun pada 1981 dengan kapasitas 2,5 juta meter kubik itu ternyata sarat masalah. Menurut Wakil Kepala Dinas Pekerjaan Umum Jakarta Tardjuki, kedalaman waduk kini tinggal 4 meter, dari semula 10 meter. Karena tak diawasi, luas waduk ini menciut dari 80 hektare menjadi 65 hektare. "Sekitar 10 ribu keluarga mendiami tepi waduk," ujarnya.
Meluapnya Waduk Pluit dan tingginya curah hujan sepanjang Kamis itu membuat dua rumah pompa di waduk ini kelebihan beban. Maklum, kemampuan pompa membuang air hanya 34 meter kubik per detik ke laut. Kecepatan ini tak sebanding dengan kecepatan air yang datang ke waduk. Tak ayal, air meluap dan menenggelamkan satu rumah pompa yang memiliki empat unit mesin.
Joko kemudian menghubungi petugas PLN untuk memutus aliran listrik rumah pompa agar kerusakan pompa tak kian parah. "Pompa bisa meledak jika listrik tak dimatikan," katanya. Tanpa aliran listrik, petugas pompa berupaya menyalakan pompa dengan genset. Sayang, ruang genset ikut terendam air setinggi betis. Petugas pompa pun hanya bisa mengandalkan rumah pompa terakhir, yang berisi tiga mesin dengan kapasitas masing-masing enam meter kubik, yang dipakai bergantian untuk memindahkan air waduk ke laut.
Warga di perumahan kawasan mewah Pluit Permai, Pluit Indah, dan Pluit Sakti, di sisi barat Waduk Pluit, sebenarnya memiliki tiga pompa. Tapi kapasitas tiga pompa itu terlalu kecil untuk bisa menguras genangan air melewati tanggul ke Kali Muara Karang.
Apa yang menyebabkan tanggul Kanal Barat jebol? Tardjuki menjelaskan, ruas di bawah jembatan layang Kuningan menuju Jalan H O.S. Cokroaminoto itu memang bagian tanggul yang paling rendah. Pada bagian bawahnya ditancapkan paku bumi. Sedangkan bagian atasnya cuma dibeton dengan batu kali dan semen.
Ketika pintu air Manggarai dibuka, air langsung memenuhi Kanal Barat. Luapan air melimpah dan mengikis permukaan tanggul. Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum Mohammad Hasan menunjuk keberadaan pilar jembatan layang dan tiang baliho iklan sebagai biang keladi. Pilar itu berdiri sekitar lima meter dari tepi kanan Kanal Barat. Air yang menabrak pilar terlempar ke tepi kanal. "Lama-kelamaan tepian kanal tak mampu menahan empasan air yang terus-menerus." Embusan angin yang mengenai tiang baliho, kata Hasan, membuat struktur tanah di bawah tanggul jadi labil.
"Kontraktor yang membangun jembatan tak mengembalikan kembali konstruksi tanggul tersebut," ujar Pitoyo Subandrio, mantan Kepala Balai Besar Ciliwung-Cisadane. Tahun depan, kata dia, pemerintah pusat akan meninggikan turap tanggul sepanjang Kanal Barat.
Tak ingin melempar kesalahan kepada orang lain, Gubernur Jokowi menilai jebolnya tanggul itu akibat aparatnya kurang mengawasi kondisi seluruh tanggul Kanal Barat. "Manajemen kontrolnya lemah," ujar Jokowi.
Di atas Hagglunds, kendaraan amfibi milik Palang Merah Indonesia, yang mengelilingi perumahan Pluit yang masih terendam air pada Selasa pekan lalu, Tjhi Fat Khiong mencoba mengenang masa-masa indah ketika membeli rumah di Rukun Warga 17, Kelurahan Pluit, pada 1982. "Lingkungannya segar dan prospeknya bagus," kata Khiong, yang sebelumnya tinggal di Mangga Dua.
Bagi sejumlah orang, Pluit dianggap membawa hoki karena letaknya diibaratkan sebagai perut naga. Sedangkan Kelapa Gading adalah kepala naga dan Kamal Muara ekor naga.
Ketika itu, kata Khiong, belum ada Mega Mall Pluit (kini berganti menjadi Pluit Village), Mal Emporium Pluit, Pluit Junction, dan proyek reklamasi untuk membangun kawasan permukiman Pantai Mutiara. Bunyamin Ramto, Wakil Gubernur Jakarta 1984-1988, menyebutkan Mega Mall Pluit berdiri di atas danau tempat penangkaran buaya dan wisata air. "Seharusnya tidak boleh berdiri karena mengurangi lahan terbuka hijau," ujarnya. Perubahan fungsi lain terjadi pada jalur hijau di Jalan Pluit Putra dan Putri, yang dijejali restoran dan toko tanaman.
"Pembangunan yang marak di utara Jakarta menjadi penyebab utama amblesan tanah," ujar Robert M. Delinom, peneliti Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Tanah di daerah Pluit dan Muara Baru, misalnya, kata anggota peneliti Jakarta Coastal Defence Strategy, Heri Andreas, rata-rata turun 10-15 sentimeter per tahun. Pada 2000-2010, rata-rata amblesan tanah sedalam 1,6 meter.
Robert menunjukkan gambar salah satu menara di Museum Bahari, dekat Pasar Ikan. Menara itu terlihat miring mirip Menara Pisa di Italia. Menurut dia, amblesan terjadi di gedung Museum Bahari yang dibangun pada zaman Belanda.
Heri juga membandingkan foto mes Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap Tanjung Priok pada 1977 dengan hasil jepretannya pada 2011. "Secara kasatmata terlihat penurunan tanah hingga dua meter lebih sepanjang 34 tahun," kata dosen Institut Teknologi Bandung itu.
Dengan kondisi tanah yang kian turun, waduk yang semakin mengkeret, dan ancaman rob tersebut, Pluit jelas membutuhkan upaya ekstra. Kementerian Pekerjaan Umum, misalnya, tengah menyiapkan rencana pembangunan tanggul raksasa (great sea wall) di lepas pantai Jakarta Utara sepanjang 35 kilometer dengan biaya Rp 50 triliun.
Tapi Erwin Irawan, Ketua RT 16 RW7 Kelurahan Pluit, lebih ingin pemerintah DKI memperhatikan upaya-upaya konkret saat ini, seperti perbaikan pompa dan waduk. "Bayangkan, di musim hujan, waduk meluap. Di musim kering, waduk bisa ditanami sayur-sayuran oleh warga," ujarnya. "Ini kan enggak benar."
Untung Widyanto, Anton William, Mahardika, Erwin Prima, Ahmad Fikri, Anwar Siswadi
Jebol Latuharhary, Tumpah di Pluit
KAWASAN Pluit terendam untuk beberapa pekan ke depan akibat luapan air Waduk Pluit pada Kamis pagi dua pekan lalu. Gara-garanya adalah jebolnya tanggul Kanal Banjir Barat di Jalan Latuharhary, sehingga waduk yang dibikin selama 16 tahun itu menerima debit air dua kali daya tampungnya. Sebanyak 4.466 rumah tenggelam. Berikut ini kronologi tenggelamnya Pluit. l ANTON WILLIAM , YS
Rumah Pompa
RUMAH POMPA 1 (GEDUNG TENGAH)
RUMAH POMPA 2 (GEDUNG BARAT)
POMPA PORTABEL DINAS PEKERJAAN UMUM
POMPA PORTABEL BALAI BESAR WILAYAH SUNGAI CILIWUNG-CISADANE
POMPA MEGA MALL PLUIT
Tiga Meter Di Bawah Laut
Monas : 2 meter dpl, 0 meter dpl
Pluit : -2 meter dpl, 1+meter, air pasang
Kronologi Tenggelamnya Pluit
KAMIS, 17 JANUARI, PUKUL 01.00
PUKUL 07.30, PINTU AIR MANGGARAI SIAGA I
PUKUL 09.30
Tanggul Latuharhary jebol sepanjang 75 meter dan setinggi 1 meter. Debit air keluar 50-75 m3 per detik.
PUKUL 15.00
JUMAT, 18 JANUARI, PUKUL 07.00
PUKUL 13.00
WADUK MELATI LUMPUH.
Luas:
Kedalaman:
Daya tampung:
10.000 ribu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo