Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELURU itu menembus punggung kiri di bawah belikat, melewati jantung, lalu bersarang di tulang dada Abdul Aziz. Waktu persis kematiannya pada 22 Mei lalu itu tak diketahui. Tapi, setelah roboh di depan Rumah Sakit Pelni di kawasan Petamburan, Jakarta Barat, pemuda asal Pandeglang, Banten, itu dibawa ke rumah sakit tersebut, sebelum akhirnya diboyong ke Rumah Sakit Bhayangkara R.S. Soekanto, Jakarta Timur.
Jarak dari Rumah Sakit Pelni ke Asrama Brigade Mobil di Petamburan, yang menjadi titik kerusuhan di kawasan itu, sekitar 250 meter. Karena letaknya cukup jauh dari lokasi bentrokan antara massa dan penghuni asrama, polisi menyimpulkan Aziz ditembak “orang tak dikenal”. “Dengan jarak tembak tak terlalu jauh, kurang-lebih 30 meter,” kata Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Komisaris Besar Suyudi Ario Seto, Jumat, 5 Juli lalu.
Proyektil di tubuh Aziz berukuran 5,56 x 45 milimeter. Berdasarkan hasil uji balistik, peluru melesat dengan berputar ke kanan. Di dalam laras senjata api yang memuntahkan peluru tersebut, terdapat delapan galangan dan delapan dataran. Galangan dan dataran adalah gurat yang ditinggalkan peluru saat ditembakkan.
Dalam paparannya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, polisi menyebutkan ada dua senjata yang identik dengan hulu peluru tersebut, yakni AK-101 dan Olympic Arms. Kepada Tempo, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan senjata tersebut AK-101 dan AR-15.
Menurut Dedi, AK-101 merupakan senjata yang kerap dipakai polisi dan Tentara Nasional Indonesia. Tapi Dedi mengklaim AK-101 yang dipakai sejumlah personel Polri pada saat kerusuhan tak menembakkan peluru yang tertanam di tubuh Aziz. “Dari 147 senjata yang diperiksa, alurnya non-identik dengan AK-101 yang dipakai anggota,” katanya.
Seorang warga yang terluka mendapat perawatan saat bentrokan antara polisi dan massa di Jalan K.S. Tubun, Jakarta, 22 Mei 2019. ANTARA/Sigid Kurniawa
Bahtiar Alamsyah, 22 tahun, juga diduga ditembak dari jarak dekat. Tak diketahui waktu kematiannya, ia ditemukan tergeletak di seberang Rumah Sakit Pelni, di depan pompa bensin. Berdasarkan hasil autopsi yang diperoleh Tempo, Bahtiar tewas akibat ditembak dengan peluru yang melubangi bagian leher kiri dan menembus ke bagian pipi kanan—seolah-olah dia ditembak dari bawah.
Peluru dan senjata yang digunakan pembunuhnya belum ketahuan. Dari empat korban tewas yang ditemukan di kawasan Petamburan, proyektil hanya ditemukan di tubuh Abdul Aziz.
Sehari-hari, Aziz anggota Front Pembela Islam di tempat asalnya. Ia tak bekerja, tapi mondok di sebuah pesantren di Kuningan, Jawa Barat. Menurut Suryati, yang mengaku adik Aziz, abangnya berangkat ke Jakarta pada 21 Mei. “Bilangnya mau reuni ke Monas,” ujar Suryati. Setelah itu, ia pamit kepada ibu-bapaknya. “Orang tua cuma bisa doain.”
Sebagaimana Aziz, Bahtiar anggota FPI. Di lingkungannya di Batuceper, Tangerang, ia dikenal sebagai anak baik-baik. Ia mengajari anak-anak karate dan mengaji. Sepulang bekerja di Bandar Udara Soekarno-Hatta pada 21 Mei, ia berangkat ke Jakarta menyusul rekan-rekannya yang bermaksud memprotes hasil pemilihan presiden.
Keluarga Bahtiar enggan membicarakan lagi kematiannya. Pada Selasa, 2 Juli lalu, seorang perempuan berinisial E yang mengaku sebagai bibi Bahtiar mengatakan orang tua Bahtiar menolak menemui siapa pun yang bertamu ke sana. “Pintu sudah tertutup untuk siapa saja yang bertanya soal almarhum,” ujar perempuan berkerudung itu.
●●●
PADA Muhammad Reyhan Fajari, 16 tahun, peluru melubangi pelipis kiri dan menembus tengkoraknya. Tak ada hulu peluru yang tertinggal untuk diidentifikasi. Reyhan bersama MR dan tiga kawan lain bermaksud menonton kerusuhan di depan Asrama Brimob dari mulut Jalan Petamburan IV, yang berjarak sekitar 50 meter. Menghabiskan malam itu di Masjid Al-Istiqomah di Jalan Petamburan V, tak jauh dari tempat tinggalnya, mereka hendak menunggu sahur sambil mengikuti rapat organisasi remaja masjid.
Sekitar pukul 03.00, MR mendengar tembakan beberapa kali. Salah satu peluru mengenai Reyhan, yang ada di sebelah MR. Karena gelap, MR tak tahu dari mana arah peluru. Tapi, saat itu, mereka sedang menghadap ke arah asrama. Pada jam itu, massa di depan Asrama Brimob mulai membakar sejumlah mobil. Massa pun melempari penghuni asrama dengan batu dan bom molotov.
Ketika masih di masjid, MR mengaku mendengar teriakan bahwa kampungnya diserang. Ini juga yang memancing dia, Reyhan, dan kawan-kawannya mendekat ke Asrama Brimob. “Ada yang berteriak katanya kampung kami diserang,” ucapnya. Seorang petugas keamanan yang sedang berjaga di sekitar lokasi pada saat kejadian juga mendengar pekikan tersebut. “Massa berteriak, ‘Ayo serang, jangan mundur demi keadilan’,” ujar anggota satpam itu.
Warga Jalan Petamburan V, Karyono, mengatakan sempat diberi tahu ketua rukun warga, Herlani Matsani, bahwa ada serangan ke kampung mereka. “RW kasih informasi ada serangan dari Brimob. Makanya, dia suruh jagain,” ujar Karyono.
Herlani membantah mengatakan hal tersebut. Ia berdalih bahwa seruan itu berasal dari massa yang tak dia kenal. “Saya juga dengar massa teriak-teriak itu. Saya justru merintahin setiap ketua RT untuk berjaga,” katanya.
Satu jam sebelum Reyhan roboh, Ibrahim Joao Sadjab terjaga setelah pintu ruangannya di markas Detasemen Gegana, yang bersebelahan dengan Asrama Brimob, digedor-gedor anaknya buahnya. Komandan Subdetasemen Kimia, Biologi, dan Radioaktif Gegana Kepolisian Daerah Metro Jaya itu bergegas ke Jalan K.S. Tubun Raya, jalan utama di Petamburan. “Pas saya lari ke depan, massa sudah berkumpul di sisi kanan melempar batu ke arah kami,” ujar Ibrahim.
Dengan pasukan kurang dari 30 orang, Ibrahim bersama anak buahnya yang tersisa itu berusaha menghalau perusuh. Mereka memberikan tembakan peringatan, tapi tak manjur membubarkan massa. Orang-orang malah makin mengerumuni asrama. Sekitar pukul 03.00, Ibrahim melihat sebuah mobil yang terparkir di dekat Asrama Brimob dibakar massa. “Mobil pertama yang dibakar itu Kijang milik anggota Polsek. Saya lihat massa membakar dengan melempar bom molotov,” tuturnya.
Di seberang Asrama Brimob, orang berkerumun di gang-gang yang menghadap langsung ke asrama. Ibrahim mengatakan massa terus melempari polisi dengan batu, kaca, dan bom molotov serta melepaskan panah beracun.
Orang-orang yang menggimbung itu tak hanya berasal dari Jakarta. Sehari sebelum kerusuhan pecah, mereka berdatangan dan menginap di sejumlah masjid di Petamburan. Menurut Karyono dari Petamburan V, massa dari luar Jakarta itu berkumpul di Masjid Al-Barokah di Petamburan IV dan Masjid Al-Istiqomah di Petamburan V. Warga Petamburan yang lain mengatakan, pada 21 Mei, orang dari luar Petamburan berkumpul di Masjid Al-Islah, yang berada di dekat markas FPI.
Karena banyak orang yang tak dikenal, Karyono bersama teman-temannya berjaga di Gang Petamburan V mulai pukul 23.30 di ujung tanggal 21 Mei itu. Saat itulah Karyono kerap ditanyai orang-orang dari luar Petamburan ihwal arah menuju Asrama Brimob. Menurut Karyono, penampilan mereka beragam. “Ada yang pakai kaus atau kemeja, ada juga yang pakai baju putih sambil bawa tas ransel,” katanya.
●●●
WIDIANTO Riski Ramadan terkapar di depan Masjid An-Nur, sekitar 800 meter ke arah utara dari Asrama Brimob. Pelajar sekolah menengah kejuruan itu dibawa ke Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta, pada 22 Mei pukul 08.35 dalam kondisi tak bernyawa. Tak ada peluru tertinggal di tubuhnya. Hasil autopsi menunjukkan peluru menembus bagian tengah lehernya, di bawah jakun, dan keluar dari punggung bagian kiri dekat punuk.
Riski pergi diam-diam selepas subuh dari rumah neneknya di Palmerah, sekitar 3,5 kilometer dari Masjid An-Nur. Liani, bibinya, masih bisa menghubungi Riski sekitar pukul setengah tujuh pagi. Setengah jam kemudian, telepon selulernya tak bisa lagi dihubungi. Seorang kawannya kemudian datang ke rumah membawa kabar duka. “Ngabarin kalau Riski tertembak berdarah-darah. Katanya, tertembaknya di dada, ternyata di tenggorokan, langsung mati di tempat,” ujar Liani.
Polisi mengatakan periferi penanganan kerusuhan sekitar 100 meter—diukur dari jarak antara polisi dan massa. Tiga korban tewas di Petamburan berada di luar area itu. Tapi Reyhan roboh di dekat Asrama Brimob, yang saat itu mencekam. Waktu itu, polisi menyiramkan peluru untuk menghentikan rusuh. MR, sahabat Reyhan, mengatakan mereka sedang menghadap ke arah asrama.
Orang tua Muhammad Reyhan Fajari di rumahnya di Petamburan, Jakarta. TEMPO/Hussein Abri Dongoran
Setelah hari terang, polisi mulai mengendalikan situasi di sekitar Asrama Brimob. Polisi membuat kerumunan kocar-kacir. Pasukan mulai menyisir area di luar 100 meter dan masuk ke gang-gang kecil di Petamburan untuk mencari perusuh. Agak siang, kerusuhan bergeser ke jalan layang Slipi, yang tak jauh dari Petamburan.
Riki, 30 tahun, warga Petamburan V, tertembak di paha saat ia berada di sebuah gang kecil di Petamburan V. Dibawa ke Rumah Sakit TNI Angkatan Laut Mintohardjo, ia selamat. Menurut NI, ibu Riki, anaknya dituduh sebagai perusuh karena berkeliaran di gang dekat lokasi kerusuhan. “Riki lagi nyari anaknya, tapi malah dibilang perusuh. Perusuh dari mana? Anak saya kan enggak bawa parang,” ujar NI.
Berbarengan dengan penyisiran polisi itulah Widianto Riski tewas. Seperti Riski, Muhammad Reza tewas setelah hari terang. Reza masih menerima panggilan telepon ibunya pada pukul delapan pagi dan mengabarkan masih terjebak di Petamburan. “Reza di Petamburan, Mak. Enggak bisa keluar dan pulang karena ramai,” kata Reza kepada Yanti, ibunya. Setelah itu, Yanti menemukan jasad Reza di Rumah Sakit Bhayangkara milik Polri dengan kepala cedera berat karena dihantam benda tumpul. Belum diketahui di mana persisnya Reza tewas.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Dedi Prasetyo mengatakan polisi tak menggunakan peluru tajam karena sudah memprediksi perusuh akan menciptakan martir. Polisi sedang memburu seorang pria bernama Yogi Nugraha. “Pelaku diduga adalah orang yang turut menggerakkan massa untuk melakukan penyerangan ataupun pembakaran,” ujar Dedi.
Ibrahim Joao Sadjab membantah satuannya menggunakan peluru tajam untuk melumpuhkan massa di depan asrama. Menurut Ibrahim, ia telah mendapat perintah dari atasannya untuk mengganti peluru tajam dengan peluru karet dalam menghalau kerumunan.
Bertugas sebagai anggota pasukan antiteror, personel Gegana memang dilengkapi dengan senjata tajam. Hanya, kata Ibrahim, pada 21-22 Mei itu peluru tajam sama sekali tak digunakan. “Tidak ada peluru tajam,” ujarnya. Hari itu, menurut Ibrahim, untuk menghalau kerumunan di Petamburan, polisi menghabiskan sekitar 7.000 peluru karet.
●●●
SETELAH kerusuhan reda, sejumlah anggota keluarga korban mengaku ikhlas dan tak mau memperpanjang persoalan ini. Agus Salim, ayah Reyhan, mengatakan tak akan menuntut apa-apa atas tewasnya anak keduanya itu. Beberapa waktu lalu, Agus mengaku mendapat santunan dari polisi. Menurut dia, polisi memberikan duit Rp 1 juta sebanyak tiga kali: sepekan setelah kematian, 10 hari setelah kematian, dan menjelang 40 hari kematian.
Kepada Agus, polisi mengatakan, jika butuh apa-apa, ia bisa menghubungi mereka lagi. “Kalau perlu bantuan, gitu katanya,” ujar Agus. Ia mengatakan sudah rela atas kepergian anaknya. “Biar tenang saja. Kami sudah ikhlas.” Ibunda Reza, Yanti, juga mengungkapkan polisi memberinya sejumlah uang dalam amplop. Yanti enggan menyebut jumlahnya. “Sekadar uang takziah,” ucapnya. “Saya sudah rida atas kepergian anak saya.”
Dedi mengatakan belum mendengar kabar bahwa polisi memberikan santunan kepada keluarga korban. Menurut dia, jika benar begitu, hal tersebut merupakan “bentuk dari human interest”, bukan untuk meredam tuntutan keluarga korban.
DEVY ERNIS, HUSSEIN ABRI DONGORAN, RAYMUNDUS RIKANG, STEFANUS PRAMONO, LANI DIANA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo