Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERAMBUT gondrong dengan perawakan ramping, pria dengan tinggi kira-kira 175 sentimeter itu berdiri membelakangi massa di dekat jalan layang Slipi, Jakarta Barat, pada Rabu, 22 Mei lalu. Menghadap ke barikade polisi yang jauhnya sekitar 100 meter, dia mendekap kedua tangannya di dada, dengan salah satu tangan memegang pistol. Berjarak sekitar 11 meter dari lokasi pria itu, Harun Al Rasyid tiba-tiba roboh.
Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya Komisaris Besar Suyudi Ario Seto mengatakan ciri-ciri pria dengan penutup wajah itu diperoleh dari keterangan sejumlah saksi mata. Kepada polisi, para saksi menyebutkan pria tersebut langsung berjalan ke kerumunan massa setelah Harun tersungkur. “Posisi orang yang diduga menembak itu berada di dekat ruko flyover Slipi,” ujar Suyudi, Jumat, 5 Juli lalu.
Di tubuh Harun, 15 tahun, ditemukan luka tembak dari pangkal lengan kiri bagian atas. Proyektil menembus dada kanan dan bersarang di otot ketiak sebelah kanan. Hasil uji balistik Pusat Laboratorium Forensik menunjukkan peluru di jasad Harun berkaliber 9 x 17 milimeter dengan enam alur ke kanan. Karakteristik proyektil itu identik dengan Glock 42, pistol semi-otomatis buatan Austria. Polisi menyebutkan pistol itu tak dipakai personel polisi ataupun tentara.
Identifikasi terduga penembak dan uji balistik peluru di tubuh siswa kelas VII SMP Assa’adatul Abadiyah di Tanjung Duren, Jakarta Barat, itu mulai menyingkap penyebab kematiannya yang semula berkabut. Teman Harun berinisial ATS bercerita bahwa dia diajak Harun melihat demonstrasi di Slipi. Mengendarai sepeda motor milik ATS sejauh enam kilometer dari kawa-san Duri Kepa, Jakarta Barat, keduanya menuju lokasi unjuk rasa. Mereka lalu membaur dengan massa hingga malam hari dan ikut kocar-kacir ketika kerusuhan meletus. “Saya terpisah dengan Harun akibat gas air mata,” ucap ATS, 15 tahun.
Malam itu, ATS tak bertemu dengan Harun lagi sehingga memutuskan pulang sendirian. Harun kemudian ditemukan Dede Gunawan, yang masih mengenal keluarganya, dalam kondisi bersimbah darah. Awalnya, Dede tak tahu bahwa sosok yang digotongnya ke ambulans adalah Harun. Seingatnya, saat itu celana pendek Harun berlumur darah. Ketika mengobrol dengan sopir ambulans Rumah Sakit Dharmais, barulah Dede sadar bahwa bocah yang baru dia tolong adalah Harun.
Dede menjelaskan, ketika kericuhan kembali pecah pada malam hari, jarak antara polisi dan massa cukup jauh. Polisi beberapa kali menembakkan gas air mata ke arah massa. “Tak sempat terjadi kontak fisik,” kata Dede.
Berjarak sekitar dua kilometer dari lokasi Harun tewas, jenazah Adam Nooryan, 19 tahun, ditemukan di dekat jembatan Jatibaru, Tanah Abang. Adam, yang belum genap dua bulan bekerja sebagai barista di sebuah kedai kopi di Pluit, Jakarta Utara, tertembak di dada bagian tengah, sekitar empat sentimeter di bawah puting. Setelah menembus tubuh, proyektil itu pecah menjadi tiga bagian dan menembus punggung kiri Adam.
Ayah Adam, Nur Warsito, menyebutkan anaknya tak pamit kepadanya ketika pergi ke Tanah Abang pada 22 Mei sekitar pukul 03.00. “Dia penasaran dengan demonstrasi,” ujar Nur, 42 tahun.
Kepada Nur Warsito, teman-teman Adam bercerita, ketika sampai di Tanah Abang, mereka hanya menonton unjuk rasa. Saat mereka memutuskan pulang, ada satu teman Adam yang tertinggal di sekitar jembatan Jatibaru. Adam berinisiatif menjemput sahabatnya dengan berjalan kaki. Rupanya, Adam masuk ke titik kerusuhan.
Detik-detik kematian Adam disaksikan seorang pria bernama Rozak yang sempat bertakziah ke rumah orang tua Adam di Tambora, Jakarta Barat. Kepada Nur Warsito, Rozak mengatakan Adam sempat menolongnya, yang terjerembap di aspal. “Abang enggak kenapa-kenapa, kan?” kata Nur menirukan ucapan Adam kepada Rozak. Adam mengulurkan tangan kanan ke Rozak dan membungkukkan badan. Menurut cerita Rozak kepada Nur, belum sempat berdiri tegap, Adam tiba-tiba ambruk. “Rozak minta tolong pengemudi ojek online mengantar Adam ke rumah sakit,” tutur Nur.
Sekitar pukul 04.30, ibunda Adam, Yuliana, ditelepon teman Adam bernama Rian. Ia mengabarkan Adam berada di Rumah Sakit Umum Daerah Tarakan, Jakarta Pusat. Nur Warsito dan Yuliana bergegas ke sana dan menemukan Adam terbaring di ruang gawat darurat dengan alat medis masih menempel di tubuh meski sudah tak bernyawa. Tangis keduanya pecah. Satu-satunya penjelasan dokter yang diingat Nur adalah penyebab kematian sang anak. “Peluru tajam dari jarak dekat,” ujar dokter sebagaimana ditirukan Nur.
Setelah kematian Adam, Nur Warsito bercerita, sedikitnya tiga kali polisi datang ke rumahnya. Polisi bertanya tentang kronologi tewasnya Adam dan menyita telepon seluler Adam bermerek Xiaomi 4X dan menukarnya dengan seri 6A yang harganya lebih murah. Ihwal permintaan dari polisi untuk menandatangani sejumlah dokumen, termasuk surat pernyataan tak menuntut kematian Adam, Nur enggan membenarkan informasi tersebut. “Anda sudah tahu jawabannya,” katanya.
Massa mengangkut korban bentrokan di KS Tubun, Jakarta, 22 Mei 2019. TEMPO/Muhammad Hidayat
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo menjelaskan, polisi tak lazim menyorongkan surat pernyataan kepada keluarga korban agar tak menuntut. Menurut dia, penyidik selalu bertanggung jawab terhadap kasus yang sedang ditangani. “Jika ada kejanggalan, silakan melapor ke Komnas HAM, Ombudsman, dan Divisi Propam Polri,” ujar Dedi.
Tak semua korban tewas pada kerusuhan 22 Mei karena ditembak. Muhammad Reza, 23 tahun, terbunuh setelah kepalanya dihantam benda tumpul yang menyebabkan perdarahan subdural, cedera berat akibat pembuluh di otak pecah. Menurut polisi, Reza masih siuman saat digotong ke teras Kepolisian Resor Jakarta Barat. Tapi ia sudah masuk fase koma setiba di Rumah Sakit Bhayangkara R.S. Soekanto di Kramat Jati, Jakarta.
Ibunda Reza, Yanti, bercerita bahwa anaknya pamit untuk ikut acara sahur di jalan sekitar pukul 04.00 pada hari kerusuhan. Reza waktu itu mengenakan baju koko putih, celana jins hitam, dan kupluk putih. “Sahur di sana,” kata Yanti, 55 tahun, menirukan ucapan anaknya, yang tak merinci lokasi tujuan.
Ketika kerusuhan di Petamburan pecah dan tayang di televisi, Yanti baru teringat pada Reza, yang tak berkabar sejak pamitan. Pada pukul 08.00, ia menelepon anaknya. “Nak, di mana?” ujar Yanti.
“Reza di Petamburan, Mak. Enggak bisa keluar dan pulang karena ramai,” kata Reza.
Suara Yanti langsung bergetar. “Astagfirullah. Segera pulang, Nak,” tutur Yanti. Telepon terputus. Pada saat mereka mengobrol di telepon, titik kerusuhan sudah bergeser ke jalan layang Slipi dan Cideng di Tanah Abang.
Setelah percakapan itu, telepon seluler Reza tak bisa dihubungi. Tiga hari tak ada kabar, Yanti memutuskan mencari keberadaan anaknya di Rumah Sakit Bhayangkara. Pada Sabtu, 25 Mei itu, dokter menjelaskan kepada Yanti bahwa Reza tewas karena luka di bagian kepala. “Saya melihat sekitar matanya juga memar,” kata Yanti.
Menurut Yanti, Reza bekerja membantu ayahnya berjualan air mineral galon. Sesekali dia bergabung dalam pengajian di dekat rumah. Meski demikian, Yanti meyakini Reza tak pernah masuk organisasi tertentu, seperti Front Pembela Islam. Ia tak menemukan atribut kelompok itu di lemari pakaian Reza. “Hanya ada tato di badannya yang belum lama dibuat,” ujar Yanti.
RAYMUNDUS RIKANG, ANDITA RAHMA, INGE KLARA, GANGSAR PARIKESIT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo