Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kolaborasi Melawan Pembungkaman Berekspresi

SAFENet akan mendampingi korban represi di ranah digital agar tidak menyurutkan keberanian masyarakat dalam berekspresi.

21 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Salah satu situs media sosial berisikan tentang RUU Cipta Kerja, 20 Oktober 2020. Tempo/Ijar Karim

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi SAFENet, Ika Ningtyas, mengatakan represi dari negara bukanlah alasan bagi kelompok pro demokrasi untuk bungkam ataupun mundur dari upaya mengkritik kebijakan pemerintah.

  • Ia mengatakan lembaganya bersama berbagai elemen tak akan goyah oleh berbagai serangan siber untuk membungkam kritikan terhadap pemerintah di media sosial.

  • SAFENet akan mendampingi korban represi di ranah digital agar tidak menyurutkan keberanian masyarakat dalam berekspresi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), Ika Ningtyas, mengatakan represi dari negara bukanlah alasan bagi kelompok pro demokrasi untuk bungkam ataupun mundur dari upaya mengkritik kebijakan pemerintah. Ia menuturkan, lembaganya bersama berbagai elemen tak akan goyah oleh berbagai serangan siber untuk membungkam kritik terhadap pemerintah di media sosial. “Kalau kami takut dan diam, pelaku akan menang dan kondisi akan semakin memburuk ke depan,” kata Ika, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia berpendapat, represi di ranah digital bertujuan menebar teror dan rasa takut, sehingga tak ada lagi kritik terhadap pemerintah. Represi itu berupa doxing, peretasan, hingga kriminalisasi dengan pasal-pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Karena itu, kata Ika, SAFENet akan berupaya mendampingi korban represi di ranah digital agar tidak menyurutkan keberanian masyarakat dalam berekspresi. “Ini bukan hanya kerja SAFENet sendiri. Kami harus berkolaborasi dengan banyak pihak,” ujarnya.

Berdasarkan pantauan SAFENet, terjadi peningkatan tajam jumlah kasus kriminalisasi di ranah digital dalam satu tahun periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sejak awal tahun hingga bulan ini, angka kriminalisasi yang terpantau mencapai 59 kasus. Angka ini naik dua kali lipat dibanding pada tahun lalu yang hanya 24 kasus. Paling umumnya, korban disangkakan dengan UU ITE.

Data SAFEnet menunjukkan terjadi pergeseran korban kriminalisasi di media sosial. Tahun lalu, korban terbanyak berasal dari kalangan aktivis dan jurnalis. Namun kali ini masyarakat sipil yang banyak menjadi korban, yakni mencapai 44 orang. “Mereka dari kalangan swasta, ibu rumah tangga, tukang tambal ban, dan buruh harian. Mereka dipermasalahkan karena dianggap mengunggah konten yang tidak akurat,” kata Ika.

Menurut Ika, sebagian besar korban mengalami misinformasi atau mereka tidak mengetahui kebenaran informasi yang disebarkan. Ia menyarankan agar kasus seperti ini seharusnya cukup diselesaikan dengan literasi dan edukasi agar kesalahan tidak terulang. “Orang-orang itu tidak layak dipidana karena mereka tidak sengaja. Kecuali mereka melakukan disinformasi, yaitu mereka tahu itu salah tapi sengaja menyebarkan,” ucapnya.

Senada dengan Ika, anggota lembaga kajian demokrasi Public Virtue Institute, Anita Wahid, mengatakan pemerintah cenderung memaksakan kemauan dan mengabaikan suara publik dalam setahun terakhir. Masyarakat yang tidak sependapat diberi label sebagai pihak yang tidak paham, tidak mengerti maksud pemerintah, hingga disinformasi. “Negara itu enggak bisa melihat ada suara-suara yang murni ingin mengingatkan, bukan ingin menjatuhkan pemerintah, tapi ingin memperlihatkan ada pendapat yang berbeda,” kata putri mantan presiden Abdurrahman Wahid ini.

Adapun dosen ilmu komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, Gilang Desti Parahita, menduga represi meningkat dalam setahun terakhir karena penguasa belum terbiasa menerima perbedaan pandangan politik dengan mengutamakan argumentasi yang rasional. “Yang punya kuasa merepresi kebebasan berpendapat. Ini harus ditolak,” kata Gilang.

Pakar komunikasi digital dari Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, berpendapat bahwa terjadi peningkatan penggunaan media sosial. Pemerintah, misalnya, menggunakan media sosial sebagai sarana berbisnis, bersosialisasi, dan berpolitik. Kemudian eskalasi publik yang menggunakan media sosial juga meningkat. Namun peningkatan tersebut tak diimbangi dengan literasi dan edukasi yang baik sehingga berita bohong lebih mudah tersebar dibanding kritik yang membangun. “Jadi, ini siklus aksi-reaksi,” ujarnya.

 

SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA) | MAYA AYU PUSPITASARI


KOLABORASI MELAWAN PEMBUNGKAMAN BEREKSPRESI

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus