Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pelaku industri perniagaan berbasis jaringan Internet atau e-commerce menyambut baik rencana pemerintah untuk menarik pajak transaksi online. Langkah itu akan diatur dalam Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian atau omnibus law perpajakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski begitu, mereka juga meminta pemerintah menyasar transaksi non-platform, seperti melalui media sosial yang semakin marak. "Pengenaan pajak dari penjualan online non-platform sangat penting, seperti transaksi melalui WhatsApp, Instagram, atau Facebook," kata Kepala Marketing JDID Mia Fawzia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Mia, pungutan pajak untuk transaksi lewat platform e-commerce sudah berjalan. Dia mengklaim para penjual di platform seperti JDID harus memiliki badan hukum atau nomor pokok wajib pajak (NPWP), sehingga pertanggungjawaban pajaknya jelas. Hal sebaliknya terjadi dalam transaksi online melalui media sosial.
Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idea) Ignatius Untung mengatakan semua anggotanya sepakat untuk menuntut pemerintah juga menarik pajak dari transaksi di media sosial demi keadilan. Menurut dia, platform media sosial bahkan tak masuk dalam klasifikasi izin perdagangan. "Jika mitra e-commerce pindah ke media sosial demi menghindari pajak, akan ada dampak negatif pada industri ini," ujar dia.
Dalam rancangan omnibus law perpajakan, setiap transaksi jual-beli barang dan jasa di semua platform akan dikenai pajak pertambahan nilai (PPN). Platform e-commerce dan media sosial akan diwajibkan untuk mencatat, memotong pajak, dan melaporkan transaksinya.
"Skema itu sudah mencakup semua aspek dalam perdagangan barang dan jasa secara online," kata Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo dalam wawancara dengan tim Tempo, akhir pekan lalu.
Suryo mengakui pemerintah belum menaksir potensi pajak dari e-commerce. Namun, kata dia, ada faktor yang bisa menggambarkan moncernya bisnis ini, yaitu penerimaan pajak sektor transportasi dan pergudangan yang tumbuh 18,7 persen dengan realisasi Rp 50,44 triliun tahun lalu.
Sektor bertumbuh karena maraknya transaksi e-commerce dari dalam dan luar negeri. Bank Indonesia dalam kajiannya memprediksi nilai transaksi e-commerce bisa mencapai belasan triliun rupiah.
Suryo mengatakan menarik PPN dari setiap transaksi barang melalui platform online sebenarnya bukan hal baru dan sudah dilakukan terlebih dulu oleh pebisnis retail. "Dalam perdagangan perorangan seperti di e-commerce, penarikan pajak ini kerap kali tidak efektif. Ini yang ingin kami dorong melalui omnibus law," ujarnya.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Heru Pambudi mengklaim pemerintah akan menertibkan transaksi di media sosial. Dia mengatakan regulasi baru yang menurunkan batas nilai barang dari luar negeri yang kena bea masuk US$ 3 atau Rp 42 ribu bisa menekan transaksi yang kerap dilakukan pedagang online di media sosial.
"Akan ada keadilan, retail konvensional kena pajak dan cukai hampir 50 persen. Sedangkan barang di pedagang online bisa murah karena mereka tak bayar pajak dan bea masuk," katanya. LARISSA HUDA | ANDI IBNU
Membidik Omzet Rp 1.148 Triliun
Potensi Omzet E-Commerce Asia Tenggara
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo