Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pemerintah Dinilai Kurang Mengevaluasi Sistem Pendidikan

Anggaran pendidikan meningkat setiap tahun, tapi tidak disertai penyerapan yang tepat sasaran.

14 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Siswa mengikuti ujian nasional berbasis komputer tingkat SMA dan sederajat di SMKN 29 Jakarta, Senin, 2 April 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Penerapan sistem pendidikan nasional tanpa evaluasi yang memadai dipandang sebagai akar masalah buruknya mutu pendidikan. Pengamat pendidikan dari Center of Education Regulation and Development Analysis, Indra Charismiadji, mengatakan banyak program pendidikan yang tidak berhasil karena pemerintah lalai mengevaluasinya. "Program yang lama belum dievaluasi, bikin program baru lagi," kata Indra kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Persoalan di bidang pendidikan, menurut dia, antara lain mutu pendidikan yang rendah, kurikulum, dan angka putus sekolah. Indra mengatakan mutu pendidikan saat ini masih tertinggal dibanding negara lain. Survei Programme for International Student Assessment (PISA) pada 2015 menunjukkan Indonesia berada di peringkat ke-62 dari 70 negara yang diteliti. Lalu menurut hasil penelitian World Education Forum, Indonesia berada di urutan ke-69 dari 76 negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temuan United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) lebih memprihatinkan lagi. Sesuai dengan temuan lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam urusan pendidikan ini, dari 1.000 siswa di Indonesia, hanya satu yang memiliki minat baca serius.

Hasil survei terbaru Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga menunjukkan kondisi serupa. Misalnya, sebanyak 77,13 persen siswa memiliki nilai matematika yang kurang bagus, lalu 46,83 persen siswa kurang membaca, dan 73,61 siswa kurang menguasai sains.

Indra mengatakan evaluasi yang minim itu merembet ke masalah lain. Misalnya, pemerintah terus meningkatkan dana pendidikan setiap tahun untuk mengangkat mutu pendidikan, tapi tidak disertai penyerapan anggaran yang tepat sasaran. Sebagian besar anggaran justru digunakan untuk membayar gaji guru yang jumlahnya terus bertambah. Di sisi lain, "Alokasi anggaran untuk pengembangan inovasi pendidikan sangat minim,” katanya.

Hasil ujian siswa SMP setiap tahun juga cenderung menurun. Misalnya, pada tahun ajaran 2014/2015, rata-rata nilai ujian nasional 61,81. Tahun ajaran berikutnya menjadi 58,61. Pada tahun ajaran 2017, angkanya hanya 51,1. Kondisi serupa juga terjadi pada siswa tingkat SMA dan SMK. Penerapan program wajib sekolah 12 tahun juga dipertanyakan. Angka partisipasi murni nasional atau anak usia sekolah yang bersekolah di tingkat SD hanya 97,14 persen pada 2017 dan SMA sekitar 60,16 persen.

Pengamat pendidikan dari Universitas Multimedia Nusantara, Doni Koesoema, mengatakan kondisi tersebut mencerminkan bahwa pemerintah belum serius menjalankan program wajib belajar 12 tahun. Di samping masalah ini, Doni menyinggung kurikulum SMA dan SMK yang tidak terkonsep dengan baik. Indikasinya, kata dia, sebagian besar lulusan SMK kalah bersaing oleh lulusan SMA dalam mencari kerja. Penyebabnya, kurikulum SMK dipenuhi banyak teori sehingga lulusannya tidak siap bekerja.

Persoalan lain adalah urusan siswa putus sekolah yang belum terpecahkan. Doni mengatakan pemerintah belum berhasil membawa siswa putus sekolah untuk kembali bersekolah. "Ketika pemerintah daerah sudah dapat data tapi tidak bisa melakukan apa-apa karena anaknya enggak mau sekolah lagi," kata Doni.

Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hamid Muhammad, mengatakan tidak mengetahui urusan evaluasi sistem pendidikan nasional. Ia mengatakan bagian penelitian dan pengembangan di Kementerian yang bertugas mengevaluasinya. "Di sana kan ada pusat penilaian pendidikan, saya tidak tahu apa sudah dilakukan atau tidak. Tapi evaluasi dan implementasinya mereka yang lakukan,” katanya. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Totok Suprayitno, tidak merespons ketika dihubungi Tempo.

ARKHELAUS WISNU | MAYA AYU PUSPITASARI


Masih Banyak Masalah Pendidikan

Sejumlah program kerja Presiden Joko Widodo dalam memajukan dunia pendidikan mendapat apresiasi. Program itu di antaranya Kartu Indonesia Pintar, penguatan anggaran, dan penindakan kasus kekerasan di dunia pendidikan. Meski demikian, masih banyak pekerjaan rumah, antara lain menyangkut mutu pendidikan yang tertinggal dibanding negara lain dan angka putus sekolah yang masih tinggi.

Masalah pendidikan:
- Program-program dalam sistem pendidikan nasional tidak dievaluasi dengan baik.
- Mutu program, termasuk kualitas pengajar, serta sarana dan prasarana perlu ditingkatkan.
- Tugas pokok dan fungsi antarlembaga pelaksana pendidikan nasional belum cukup jelas.
- Banyak sarana dan prasarana pendidikan yang belum memenuhi standar layanan minimal.
- Tata kelola guru butuh perbaikan.
- Akses pendidikan belum terbuka sepenuhnya.
- Angka partisipasi murni nasional (anak usia sekolah yang bersekolah) belum 100 persen.
- Anggaran pendidikan belum dikelola dengan baik.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus