Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Pemerintah kota di DKI Jakarta mulai kewalahan membendung pedagang kaki lima (PKL) yang terus bermunculan di banyak tempat di Ibu Kota. Wakil Wali Kota Jakarta Pusat, Irwandi, misalnya, mengatakan masalah PKL di wilayahnya seperti tak pernah habis. Setiap kali pemerintah kota menertibkan PKL di satu tempat, bakal bermunculan PKL baru di tempat lain. "Sudah menjamur di mana-mana," kata Irwadi kepada Tempo kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Irwandi, sejak dulu PKL memang berusaha memanfaatkan trotoar dan bahkan badan jalan. Pemerintah DKI telah berupaya menertibkan para pelapak itu agar tidak mengganggu pejalan kaki dan kendaraan yang lalu lalang. Caranya, antara lain, dengan menempatkan PKL di sejumlah lokasi sementara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebagian besar lokasi sementara itu, menurut Irwandi, berada di trotoar dan jalanan. Sebab, tidak mudah mencari tempat yang bisa disewa dengan harga terjangkau. Di trotoar yang sudah ditentukan sebagai lokasi sementara, pemerintah memuat aturan agar PKL berbagi tempat dengan pejalan kaki. Aturan itu, misalnya, diberlakukan di Jalan Sabang, Jakarta Pusat; di Rawamangun, Jakarta Timur; serta di Jalan Melawai, Jakarta Selatan.
Masalahnya, Irwandi mengakui, pertambahan jumlah PKL di Ibu Kota lebih cepat daripada pertambahan lokasi sementara yang bisa disediakan pemerintah. "Lokasi sementara yang kami bangun baru menampung sekitar 40 persen dari total PKL yang ada," kata dia.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI Jakarta, Prasetio Edi, belakangan ini berkali-kali mempersoalkan maraknya kembali PKL di trotoar dan jalan di sejumlah wilayah di Ibu Kota. Dia, misalnya, menyebutkan pelapak yang mulai banyak ditemukan di pusat kota, seperti kawasan Monumen Nasional dan Bundaran Hotel Indonesia. Dia juga mempertanyakan status PKL yang berjualan makanan di Jalan Sabang, Jakarta Pusat.
Berdasarkan pantauan Tempo, pelapak juga memadati pusat kota seperti di Jalan Medan Merdeka Timur, yang hanya berjarak ratusan meter dari Gedung Balai Kota. Para pelapak biasanya membawa gerobak ke lokasi menjelang malam. Jumlah PKL di sana bisa berlipat-lipat ketika Stasiun Gambir sedang ramai oleh penumpang kereta.
Irwandi tak menampik soal banyaknya PKL di Jalan Medan Merdeka Selatan. Dia memastikan pelapak di sana bukan binaan pemerintah kota. Menurut Irwandi, kebanyakan pelapak di sekitar Stasiun Gambir merupakan pedagang makanan keliling yang tidak menetap di satu tempat. "Mereka biasanya keliling. Eh, kok ada yang rame. Berhenti di situ. Entar mereka jalan lagi," kata Irwandi.
Hendrik, pedagang nasi goreng, mengaku tak memiliki izin berjualan di sekitar kawasan Monumen Nasional. Dia biasanya kucing-kucingan dengan petugas Satuan Polisi Pamong Praja yang melakukan razia. "Namanya cari makan. Soalnya di sini kan rame sopir dan penumpang," ujar dia.
Kepala Dinas Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Perdagangan DKI Jakarta, Adi Ariantara, mengatakan PKL memang diperbolehkan menggelar lapak di trotoar asalkan bersifat sementara. Lokasinya pun harus sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah kota atau kabupaten. "Lokasi bisa digunakan secara sementara dengan catatan sesuai hasil kajian," tutur dia. AVIT HIDAYAT
Pedagang Kopi Keliling Beromzet Rp 1 Juta
Fauzi sudah delapan tahun menjadi pedagang kopi keliling di kawasan Bundaran Hotel Indonesia. Rabu sore lalu, ia kembali mengayuh sepeda untuk berjualan di jantung Ibu Kota itu. "Nanti makin malam makin banyak pengunjung, apalagi kalau malam Minggu, penuh orang," kata Fauzi.
Teguran dari petugas Satuan Polisi Pamong Praja, kata Fauzi, sudah menjadi makanan sehari-hari. Petugas sering menyebut sepeda yang dia gunakan untuk berjualan kopi mengganggu kendaraan yang lalu lalang. Biasanya, ketika ditegur, Fauzi akan berpindah dulu ke lokasi lain. Ketika petugas sudah pergi, Fauzi datang lagi.
Fauzi bercerita bahwa dia bertahan berjualan di sekitar Bundaran HI karena penghasilannya yang lumayan. Saban malam, Fauzi mengaku bisa menjual berpuluh-puluh gelas kopi dan minuman saset lainnya. Rata-rata pendapatan kotor dia sekitar Rp 300 ribu per malam. Dia pun mengklaim omzet jualan kopinya bisa meningkat tajam sampai Rp 1 juta kala malam Minggu tiba.
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta Prasetio Edi Marsudi sebelumnya mempersoalkan penjual kopi keliling di sekitar Bundaran Hotel Indonesia. Hal itu, kata dia, membuat semakin banyak orang berdatangan ke kawasan tersebut. Akibatnya, banyak pot tanaman yang rusak karena terinjak-injak.
Pekan lalu, Fauzi mengetahui ada sejumlah pot tanaman hias yang pecah di sekitar Bundaran HI. Tapi, menurut dia, pot itu bukan rusak karena terinjak, melainkan tertabrak kendaraan yang mengalami kecelakaan.
Fauzi hanya bisa pasrah jika pemerintah DKI akhirnya melarang dia berjualan di sekitar Bundaran HI. Dia bersedia pindah bila pemerintah menyediakan lapak khusus bagi pedagang kopi. "Tapi tergantung, rame apa enggak tempatnya," tutur dia. RYAN DWIKY | AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo