Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pemimpin miskin

Pemimpin negeri miskin selalu jumpa dalam suasana mewah. kemelaratan negeri mereka yang menempati bagian dunia selatan hilang oleh adat utara yang makmur. negara kaya bagian mereka adalah standard.

22 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI dunia yang sempit ini, negeri-negeri miskin saling bertemu di pesta koktail.Mungkin di sebuah kota di Eropa. Mungkin di salah sebuah kota besar Dunia Ketiga. Tapi selalu dalam gedung berpengatur udara, dengan karpet lembut dan kolam renang cemerlang. What would you like to drink, Sir? Gin & tonic? Vodka? Scotch & Whisky? Ah, yes, Of course, Bloody Marry. Para delegasi itu tak merasa bersalah. Mereka tak merasa aneh bila sembari berapi-api tentang kemelaratan dunia bagian "Selatan", mereka sedang mengikuti "adat" dunia bagian "Utara" yang makmur. Tidak apa-apa. bukan? Angka kepadatan penduduk. kekurangan gizi, kemelaratan daerah pedesaan, semua bisa ditelaah di situ. Sementara itu disentri sampah, tangis anak yang peyot, bapak yang nganggur, bau kakus umum yang bumpet, sawah ladang yang dirampas, dan lain-lain, dan lain-lain, jauh nun di sana. Sebab begitulah agaknya tatacara yang tengah berlaku: di dunia yang sempit ini, negeri-negeri miskin hanya bisa saling bertemu di pesta koktail. Itulah standard international, orang berkata.Mungkin tak pernah betul-betul dipikirkan, bahwa kata "internasional" di situ agak aneh. Sama anehnya bila kita berbicara tentang sebuah hotel, atau bumbu masak, atau penyair,yang bertaraf 'internasional'. Sebab "taraf internasional" di situ, sadar atau tak sadar, ditentukan oleh apa yang didesakkan oleh negeri-negeri kaya, mungkin sejak jauh-jauh hari. "Taraf internasional" tak pernah kita bayangkan sebagai taraf yang ditentukan oleh standard Tanganyika dengan standard Indonesia, atau ukuran Equador dengan Vietnam. Bahasa memang menunjukkan kebingungan bangsa. Kebingungan itu mungkin ciri zaman kita juga:ketika para pemimpin Dunia Ketiga nampaknya mencoba melawan oligarki negeri-negeri kaya, tapi sementara itu mereka sendiri ngiler menginginkan posisi itu. Dulu pun mereka, anak jajahan, tak boleh masuk kamar bola yang hanya buat tuan-tuan kolonialis dan mereka berontak. Tapi adakah mereka berontak melawan ketidak-adilan itu, atau berontak untuk bisa masuk kamar bola? Mungkin mereka tak tahu lagi. "Revolusi" mereka beres sudah, sebelum jelas buat siapa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus