Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sebuah keluarga, diantara gelombang

Kisah keluarga yang hampir 2 bulan terapung di laut karena kapal motor yang mereka tumpangi kehabisan bahan bakar antara sangir-talaud. beberapa orang meninggal sebelum diselamatkan kapal taiwan. (nas)

22 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARJAN Sampurena, Sangiang Panisia, Anece Panisia dan Minca Wentian adalah penduduk tak terkenal dari pulau Sangir dan Talaud. Mereka mendadak jadi bahan berita koran asing dan dalam negeri.Mereka itulah penmpang yang selamat dari perahu motor yang mengalami malapetaka antara pulau Sangir dan Talaud setelah hampir 2 bulan terapung-apung di laut. Kisahnya begini: Subuh itu, ujung Pebruari yang lalu, beberapa orang berangkat dengan sebuah perahu motor berukuran 48 PK di pantai pulau Sangir Besar. Lima di antara mereka orang dewasa. Di sela-sela mereka tiga anak kecil yang berumur antara 3 sampai 6 tahun. Bungkusan yang dikepit masing-masing anggota rombongan berisi pakaian di samping bekal sehari perjalanan. Perahu motor itu--milik Departemen Pendidikam dan Kebudayaan menuju pulau Talaud yang berbatasan dengan Pilipina. Sangiang, 23 tahun, bersama Sarjan, suaminya, Watri dan Anece--anak mereka - berniat menjenguk orang tua di Talaud. Itu kunjungan pertama kalinya sesudah menikah lima tahun lalu. "Selama ini saya ikut suami saya Sarjan yang jadi nelayan di Sangir Besar", kata Sangiang kepada Syahrir Wahab dari TEMPO pekan lalu. Ke empat penumpang lain adalah keluarga Sangiang sendiri - Mince (sepupu), Kim (anak Mince), Maria (6 tahun) dan Sanggar Budiman (25 tahun). Mereka juga hendak menjenguk keluarga di Talaud. Setelah kedelapan penumpang siap mengatur tempat dalam perahu motor kedua awak perahu, Thomas (28 tahun dan Olding (20 tahun), pun mulai memanaskan mesin. Jarak Sangir - Talaud biasanya ditempuh dalam sehari penuh. Tapi kedua awak perahu tersebut agaknya lupa memeriksa tangki minyak sebelum berangkat. Arus lautan Pasifik yang deras itu memperlambat gerak maju perahu mereka. Dan ini berarti untuk menempuh sisa jarak ke Talaud dibutuhkan bahan bakar lebih banyak dari hari-hari biasa. Malapetaka itupun terjadilah, lebih kurang dua jam perjalanan sebelum mencapai pulau itu. Mesin motor tiba-tiba berhenti. Kehabisan balan bakar. Pulau Talaud yang semula nampak wujudnya, kini lenyap dari pandangan mata. Sementara itu matahari tenggelam. Malam pertama itu mereka tidak tahu lagi ke mana perahu motor itu terbawa arus. Sisa bekal sudah habis. Dan mereka nampaknya sepakat untuk menerima nasib. Ombak yang menggunung diikuti ritme yang menyeramkan mengayun-ayunkan perahu kecil itu. Air menyirami penumpang. Sebanyak air yang ditimba dari perut perahu--dengan gotong royong - sebanyak itu pula yang masuk kembali. "Sejak itu kami tidak menghiraukan barang bawaan lagi", kata Sangiang mengingat peristiwa itu. Masing-masing berusaha bertahan untuk tidak terlempar ke luar akibat serangan gelombang. Hari-hari selanjutnya mereka hanya mengisi perut dengan makan ikan mentah dan minum air asin dari lautan Teduh yang berwarna hitam dan dalamnya ribuan kaki itu. Korban pun tak terelakkan. Kim Padang, baru 5 tahun. jadi korban pertama pada hari kesembilan. Kelaparan. Sanggar Budiman membacakan doa sebelum anak itu dibuang ke laut. Merasa bahwa satu demi satu di antara mereka yang sisa akan mengalami hal serupa, penglepasan anak itu tidak diiringi tangis. Juga tidak oleh Mince Wentian, ibu kandungnya sendiri. Tapi ketika mereka melihat tiga iringan kapal berbendera Jepang menghampiri, harapan timbul lagi. Mereka melambai-lambaikan tangan meminta pertolongan. "Ketika itu sudah sebulan kami di tengah laut", tutur Sangiang. "Jumlah kami juga masih sembilan orang", tambahnya. Ketiga kapal Jepang itu mendekati perahu mereka. "Kami berteriak-teriak sambil menangis meminta pertolongan mereka", Sangiang menceritakan kembali perjalamannya dengan mata yang berkaca-kaca. Tapi bukannya menolong, tiga kapal itu melanjutkan perjalanan setelah mengitari tiga kali perahu mereka. "Kalau waktu itu kami ditolong mungkin tidak sebanyak itu yang meninggal", kata Sangiang pula. Anaknya Watri meninggal beberapa hari sesudah kepergian kapal Jepang itu. Suaminya Sarjan membacakan doa menurut agama Islam (selain Sangiang dan Sarjan, penumpang lainnya beragama Kristen) dan selanjutnya anak itu dijatuhkan ke laut. Tiga hari kemudian Sanggar Budiman mengalami nasib serupa. Dalam dua minggu berikutnya, Maria Lalimbat (6 tahun) dan kedua awak perahu--Thomas dan Olding -- berturut-turut meninggal. Keempat mayat itu diturunkan ke laut selalu didahului dengan sembahyang yang dipimpin Anece Panisia, adik Sangiang. Satu-satunya mayat yang dikafani adalah Maria, karena ketika itu kebetulan membawa serta kain putih. Hingga mereka ditemukan kapal Hsin Hai no. 12 dari Taiwan, masing-masing yang hidup bertanya-tanya pada diri sendiri siapa lagi yang bakal menyusul jadi korban. Kapal Taiwan itulah yang mengangkut ke empat orang yang masih hidup itu. "Perasaan kami sedih sekali ketika itu, mengingat keenam korban lainnya" kata Sangiang. Mereka lalu disuguhi teh panas, roti yang banyak dan bubur beras. "Kami makan sedikit-sedikit karena perut terasa perih dan lagipula bibir pecah-pecah karena kering". Dua minggu mereka dirawat di rumah sakit Taiwan sebelum diterbangkan kembali oleh pesawat Mandala ke Jakarta. Minggu ini mereka pulang ke kampung setelah ditampung di perwakilan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara di Jakarta selama seminggu. Selama di rumah sakit di Taipei lebih kurang 20 orang pelaut-pelaut Indonesia--umumnya berasal dari-Sangir dan Sulawesi Utara - mengunjungi mereka dan mengajak jalan-jalan di ibukota Taiwan itu. Tidak ketinggalan seorang pelaut Jepang yang bernama Sasaki mengantarkan buah-buahan ke rumah sakit. Sang Jepang yang isterinya orang Toraja dan bermukim di Ambon itu sempat juga menyatakan rasa malu dan permintaan maaf atas perlakuan awak kapal Jepang itu. "Kami jangan disamakan dengan mereka", kata Sasaki memohon

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus