SARJAN Sampurena, Sangiang Panisia, Anece Panisia dan
Minca Wentian adalah penduduk tak terkenal dari pulau Sangir dan
Talaud. Mereka mendadak jadi bahan berita koran asing dan
dalam negeri.Mereka itulah penmpang yang selamat dari perahu
motor yang mengalami malapetaka antara pulau Sangir dan Talaud
setelah hampir 2 bulan terapung-apung di laut. Kisahnya begini:
Subuh itu, ujung Pebruari yang lalu, beberapa orang berangkat
dengan sebuah perahu motor berukuran 48 PK di pantai pulau
Sangir Besar. Lima di antara mereka orang dewasa. Di sela-sela
mereka tiga anak kecil yang berumur antara 3 sampai 6 tahun.
Bungkusan yang dikepit masing-masing anggota rombongan berisi
pakaian di samping bekal sehari perjalanan. Perahu motor
itu--milik Departemen Pendidikam dan Kebudayaan menuju pulau
Talaud yang berbatasan dengan Pilipina. Sangiang, 23 tahun,
bersama Sarjan, suaminya, Watri dan Anece--anak mereka - berniat
menjenguk orang tua di Talaud. Itu kunjungan pertama kalinya
sesudah menikah lima tahun lalu. "Selama ini saya ikut suami
saya Sarjan yang jadi nelayan di Sangir Besar", kata Sangiang
kepada Syahrir Wahab dari TEMPO pekan lalu. Ke empat penumpang
lain adalah keluarga Sangiang sendiri - Mince (sepupu), Kim
(anak Mince), Maria (6 tahun) dan Sanggar Budiman (25 tahun).
Mereka juga hendak menjenguk keluarga di Talaud.
Setelah kedelapan penumpang siap mengatur tempat dalam perahu
motor kedua awak perahu, Thomas (28 tahun dan Olding (20
tahun), pun mulai memanaskan mesin. Jarak Sangir - Talaud
biasanya ditempuh dalam sehari penuh. Tapi kedua awak perahu
tersebut agaknya lupa memeriksa tangki minyak sebelum berangkat.
Arus lautan Pasifik yang deras itu memperlambat gerak maju
perahu mereka. Dan ini berarti untuk menempuh sisa jarak ke
Talaud dibutuhkan bahan bakar lebih banyak dari hari-hari biasa.
Malapetaka itupun terjadilah, lebih kurang dua jam perjalanan
sebelum mencapai pulau itu. Mesin motor tiba-tiba berhenti.
Kehabisan balan bakar.
Pulau Talaud yang semula nampak wujudnya, kini lenyap dari
pandangan mata. Sementara itu matahari tenggelam. Malam pertama
itu mereka tidak tahu lagi ke mana perahu motor itu terbawa
arus. Sisa bekal sudah habis. Dan mereka nampaknya sepakat untuk
menerima nasib. Ombak yang menggunung diikuti ritme yang
menyeramkan mengayun-ayunkan perahu kecil itu. Air menyirami
penumpang. Sebanyak air yang ditimba dari perut perahu--dengan
gotong royong - sebanyak itu pula yang masuk kembali. "Sejak
itu kami tidak menghiraukan barang bawaan lagi", kata Sangiang
mengingat peristiwa itu. Masing-masing berusaha bertahan untuk
tidak terlempar ke luar akibat serangan gelombang.
Hari-hari selanjutnya mereka hanya mengisi perut dengan makan
ikan mentah dan minum air asin dari lautan Teduh yang berwarna
hitam dan dalamnya ribuan kaki itu. Korban pun tak terelakkan.
Kim Padang, baru 5 tahun. jadi korban pertama pada hari
kesembilan. Kelaparan. Sanggar Budiman membacakan doa sebelum
anak itu dibuang ke laut. Merasa bahwa satu demi satu di antara
mereka yang sisa akan mengalami hal serupa, penglepasan anak itu
tidak diiringi tangis. Juga tidak oleh Mince Wentian, ibu
kandungnya sendiri.
Tapi ketika mereka melihat tiga iringan kapal berbendera Jepang
menghampiri, harapan timbul lagi. Mereka melambai-lambaikan
tangan meminta pertolongan. "Ketika itu sudah sebulan kami di
tengah laut", tutur Sangiang. "Jumlah kami juga masih sembilan
orang", tambahnya.
Ketiga kapal Jepang itu mendekati perahu mereka. "Kami
berteriak-teriak sambil menangis meminta pertolongan mereka",
Sangiang menceritakan kembali perjalamannya dengan mata yang
berkaca-kaca. Tapi bukannya menolong, tiga kapal itu melanjutkan
perjalanan setelah mengitari tiga kali perahu mereka.
"Kalau waktu itu kami ditolong mungkin tidak sebanyak itu yang
meninggal", kata Sangiang pula. Anaknya Watri meninggal beberapa
hari sesudah kepergian kapal Jepang itu. Suaminya Sarjan
membacakan doa menurut agama Islam (selain Sangiang dan Sarjan,
penumpang lainnya beragama Kristen) dan selanjutnya anak itu
dijatuhkan ke laut. Tiga hari kemudian Sanggar Budiman mengalami
nasib serupa. Dalam dua minggu berikutnya, Maria Lalimbat (6
tahun) dan kedua awak perahu--Thomas dan Olding --
berturut-turut meninggal. Keempat mayat itu diturunkan ke laut
selalu didahului dengan sembahyang yang dipimpin Anece Panisia,
adik Sangiang. Satu-satunya mayat yang dikafani adalah Maria,
karena ketika itu kebetulan membawa serta kain putih. Hingga
mereka ditemukan kapal Hsin Hai no. 12 dari Taiwan,
masing-masing yang hidup bertanya-tanya pada diri sendiri siapa
lagi yang bakal menyusul jadi korban.
Kapal Taiwan itulah yang mengangkut ke empat orang yang masih
hidup itu. "Perasaan kami sedih sekali ketika itu, mengingat
keenam korban lainnya" kata Sangiang. Mereka lalu disuguhi teh
panas, roti yang banyak dan bubur beras. "Kami makan
sedikit-sedikit karena perut terasa perih dan lagipula bibir
pecah-pecah karena kering". Dua minggu mereka dirawat di rumah
sakit Taiwan sebelum diterbangkan kembali oleh pesawat Mandala
ke Jakarta. Minggu ini mereka pulang ke kampung setelah
ditampung di perwakilan Pemerintah Daerah Sulawesi Utara di
Jakarta selama seminggu. Selama di rumah sakit di Taipei lebih
kurang 20 orang pelaut-pelaut Indonesia--umumnya berasal
dari-Sangir dan Sulawesi Utara - mengunjungi mereka dan
mengajak jalan-jalan di ibukota Taiwan itu. Tidak ketinggalan
seorang pelaut Jepang yang bernama Sasaki mengantarkan
buah-buahan ke rumah sakit. Sang Jepang yang isterinya orang
Toraja dan bermukim di Ambon itu sempat juga menyatakan rasa
malu dan permintaan maaf atas perlakuan awak kapal Jepang itu.
"Kami jangan disamakan dengan mereka", kata Sasaki memohon
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini