SIDANG parlemen itu berlangsung di bawah hujan peluru golongan
Muslim Kiri. Mereka berusaha mencegah terpilihnya Elias Sarkis.
Tapi dengan suara 66 lawan nol, para anggota parlemen Libanon
yang bersidang di sebuah villa di kaki bukit, akhirnya berhasil
memilih Sarkis sebagai pengganti Sulaiman ranjieh. Dukungan
memang diperoleh Sarkis, 52 tahun, dari pihak kanan. Tapi
golongan kiri, yang dulu dengan gigih mendesak turunnya Franjieh
dari jabatan kepresidenan, secara terang-terangan menentang
presiden baru yang juga penganut Kristen Maronit itu. "Ini tidak
sesuai dengan kehendak rakyat Libanon", begitu Kamal Jumblat,
pemimpin golongan kiri, mengomentari pilihan parlemen itu. Dan
tentu saja Suria juga jadi sasaran kecaman Jumblat.
Jauh sebelum Franjieh terpaksa mengundurkan diri, ketika perang
saudara mulai berkecamuk bulan April tahun silam, golongan
Muslim kiri sudah dengan terang-terangan menuntut perubahan
sosial politik di Libanon. Sejak negeri laut tengah itu merdeka
dari Perancis di tahun 1943, golongan Kristen Maronit yang
waktu itu jumlahnya memang mengatasi jumlah penduduk
Islam--mendominir sebagian besar posisi penting di bidang
politik, sosial dan ekonomi. Kini golongan Muslim kiri menuntut
perubahan yang seimbang dengan kemajuan dan jumlah mereka yang
telah mengatasi jumlah orang-orang Maronit. Tapi Jumblat sendiri
seorang sosialis didikan Perancis, yang mempelajari tokoh-tokoh
mistik Kristen sementara ia sendiri berasal dari keluarga Islam
menginginkan sebuah Libanon yang poiiknya tak terbagi-bagi
menurut kotak agama. Untuk maksud itulah maka golongan Muslim
menuntut digantinya Franjieh dengan seorang presiden yang suka
melihat perubahan. Politikus Kristen Maronit yang berfikiran
maju, Raymond Edde, merupakan pilihan golongan Islam untuk
jabatan presiden.
Mudah Diatur
Tapi harapan golongan Muslim itu tetap jadi harapan saja hingga
kini. Semua itu merupakan akibat langsung dari campur tangan
Suria dalam perang saudara Libanon. Presiden Hafe Assad yang
sejak beberapa waktu akhir-akhir ini secara terus-menerus
menyibukkan diri dengan berbagai macam usaha mengatasi
pertumpahan darah di negara tetangganya, secara terang-terangan
bersimpati kepada Elias Sarkis, bujangan yang kini masih juga
menjabat Gubernur Bank Negara Libanon. Pilihan ini mengejutkan
golongan Muslim, sebab bagi mereka Sarkis adalah tokoh misterius
yang sejak kegagalannya memenangkan jabatan kepresidenan di
tahun 1970, telah menjauhkan diri dari politik. Terhadap pilihan
itu, para peninjau di Beirut nampaknya cenderung melihat Hafe
Assad sebagai tidak mau mengambil risiko, "karena itu mendukung
orang yang mudah diatur".
Tapi justru karena Elias Sarkis orang yang lemah itulah maka
krisis tidak kunjung memperlihatkan tanda-tanda bakal
rampung.Dan rupanya Assad juga tahu ini. Terbukti dengan makin
mengalirnya pasukan-pasukan Suria ke dalam wilayah Libanon.
Menurut laporan yang tersiar dari Beirut pekan silam, pada hari
pemilihan presiden, 8- Mei, sekitar 4 ribu tentara Suria
memasuki libanon. "Ini berarti bahwa di negeri ini sudah ada 15
ribu pasukan resmi Suria", kata seorang diplomat di Beirut.
Kekatan Suria ternyata lebih besar dari hanya sekedar pasukan
resmi itu. Sebab sejumlah besar gerilyawan Palestina dari
kelompok Al Saiqa, yang mendapat dukungan Suria ada pula
beroperasi di Libanon.
Memang keadaan bisa mempersatukan "kawan-kawan" secara aneh.
Suria yang terkenal kiri dan amat radikal itu ternyata malah
mendukung golongan Kristen Kanan dan menentang golongan Muslim
Kiri. Semua ini, begitu sumber-sumber Suria, dilakukan oleh
Assad guna mencegah campur tangan Israel di Libanon. Pihak
Damaskus ketakutan bahwa jika golongan Muslim Kiri menang,
mereka bisa saja melakukan tindakan-tindakan provokasi yang
dapat mengundang keterlibatan Israel. Sementara itu Suria masih
belum siap dengan sebuah perang baru, terbukti dengan kesediaan
Damaskus untuk kesekian kalinya memperpanjang izin kehadiran
pasukan penyanggah PBB di Golan.
Suria - Zionis?
Alasan Suria itu tidak seluruhnya benar. Suria sejak lama memang
ingin meluaskan pengaruhnya ke negara tetangga. Karena itulah
maka para mahasiswa Arab di Praha melancarkan demonstrasi anti
Suria pekan silam. Sembari menduduki kedutaan selama beberapa
jam, 120 mahasiswa Arab itu juga menuduh Suria melakukan campur
tangan di Libanon dengan 'kecenderungan melaksanakan
rencana-rencana Amerika Serikat dan Zionis Israel" Yang jelas,
Washington memang ada mengirim Duta Besar Dean Brown sebagai
penengah di Beirut. Konon diplomat Amerika ini amat bersimpati
terhadap kebijaksanaan Presiden Hafez Assad.
Assad bukan cuma mendapatkan simpati Amerika, dalam urusan
Libanon, sejumlah besar negara Sosialis juga mendukungnya. Tapi
serentak dengan itu pertumpahan daran juga makin menjadi-jadi.
Beberapa saat setelah terpilihnya Sarkis, Hotel Carlton, tempat
tinggal sementara presiden yang masih bujangan itu, mendapat
serangan hebat. Empat orang gerilyawan Palestina dari kelompok
Saiqa tewas seketika di depan hotel. Di samping korban yang
sudah 18 ribu jiwa sejak bulan April tahun silam, setiap harinya
kini orang masih terus terbunuh akibat pertempuran yang
berkecamuk di berbagai penjuru Libanon. "Kami telah menyerukan
perang rakyat semesta", kata Kamal Jumblat. Dan yang juga dalam
posisi sulit adalah Yasser Arafat. Sebab makin lama makin banyak
saja anggota gerilyawan Palestina yang menggabung pada golongan
Muslim Kiri lantaran keyakinan mereka bahwa Suria justru
menjalankan kebijaksanaan yang menguntungkan Israel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini